Salah Kelola Tambang, Cermin Buram Tata Kelola Sumber Daya Alam


Oleh: Safira Luthfia

Akar Masalah di Balik Angka Fantastis

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai kerugian negara yang mencapai Rp 300 triliun akibat pengelolaan tambang yang buruk mengungkapkan masalah serius yang selama ini terabaikan dalam sektor pertambangan nasional. Penyerahan enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk hanyalah permulaan dari banyaknya tambang bermasalah di berbagai tempat. Angka 300 triliun tidak hanya mencerminkan kerugian ekonomi, tetapi juga menunjukkan lemahnya pengelolaan sumber daya alam di negara ini.

Isu mengenai tambang ilegal dan kebijakan yang kurang berpihak kepada masyarakat bukanlah hal baru. Selama ini, pemerintah cenderung lebih fokus pada pengaturan izin dan pungutan, sementara pengelolaan diserahkan kepada pihak swasta. Saat ini, ada kebijakan baru yang memperbolehkan koperasi dan UMKM mengelola tambang dan sumur minyak dalam rangka pemerataan ekonomi. Meskipun terdengar baik, kebijakan ini berpotensi menimbulkan masalah baru—karena sebagian besar koperasi tidak memiliki kemampuan teknis atau modal yang cukup. Akhirnya, mereka akan berkolaborasi dengan investor besar, dan tambang masih akan berada di tangan swasta.
Inilah sumber permasalahan yang mendasar: komersialisasi sumber daya alam. Negara hanya berfungsi sebagai pengawas dan pemungut pajak, bukan sebagai pengelola. Akibatnya, kekayaan alam yang seharusnya menjadi hak rakyat menjadi alat untuk meraup keuntungan bagi segelintir orang. 


Kepemilikan Tambang dalam Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, tambang dipandang sebagai milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang tidak boleh dimiliki oleh individu maupun perusahaan. Rasulullah ï·º pernah bersabda: “Kaum muslimin memiliki hak bersama dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Hadis ini menegaskan bahwa semua sumber daya yang dibutuhkan oleh banyak orang—termasuk tambang—tepatnya harus dikelola oleh negara demi kepentingan seluruh rakyat. Negara tidak diperkenankan untuk menjual, memprivatisasi, atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta.

Dalam sistem Islam, hasil dari tambang akan disetorkan ke Baitul Mal dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur tanpa harus bergantung pada pajak rakyat atau utang asing. Prinsip dasarnya jelas: kekayaan alam harus kembali ke seluruh umat, bukan dikuasai oleh individu atau perusahaan.

Dengan demikian, Islam tidak hanya memastikan distribusi hasil tambang yang adil, tetapi juga menjamin pengelolaan yang berkelanjutan. Negara bertindak langsung sebagai pengelola dan juga sebagai penjaga agar tidak terjadi eksploitasi berlebihan yang dapat merusak lingkungan.


Swastanisasi: Perampasan Hak Rakyat

Kebijakan pemerintah yang memungkinkan koperasi dan UMKM mengelola tambang sesungguhnya merupakan bentuk lain dari swastanisasi yang tersembunyi. Di atas kertas, kebijakan ini tampak menguntungkan masyarakat kecil. Namun, secara praktis, koperasi atau UMKM tidak memiliki sumber daya finansial dan teknologi yang cukup. Akibatnya, mereka akan mencari mitra dari kalangan pemilik modal besar, sehingga tambang tetap jatuh ke tangan swasta, hanya saja lewat jalur yang berbeda.

Pandangan dalam ajaran Islam menegaskan bahwa sumber daya seperti tambang bukanlah barang untuk diperjualbelikan, melainkan amanah bagi masyarakat. Tugas negara adalah mengelolanya secara langsung dan mendistribusikan hasilnya demi kebaikan rakyat. Jika tambang diserahkan kepada swasta, berarti negara telah mengabaikan kewajibannya sebagai pelindung dan pengurus rakyat, seperti yang dinyatakan dalam sabda Nabi Muhammad ï·º: "Pemimpin (khalifah) adalah pengurus umat, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya. " (HR. al-Bukhari dan Muslim)


Menuju Sistem Pengelolaan yang Adil

Islam menyediakan solusi yang komprehensif. Dalam politik dan ekonomi Islam, negara memiliki kewajiban untuk menjadi pengelola utama kekayaan publik dan menjamin hasilnya kembali kepada masyarakat. Tidak ada privatisasi, liberalisasi, atau kontrol oleh pihak asing. Semua aspek pengelolaan harus dilakukan sesuai dengan hukum syariat yang berlandaskan pada prinsip keadilan, tanggung jawab, dan kebaikan bersama.

Dengan sistem ini, tambang tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menciptakan keuntungan sosial dan lingkungan. Negara akan mengambil tindakan tegas terhadap pencemaran dan kerusakan alam, karena itu merupakan bagian dari amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat.

Kerugian yang kita alami saat ini seharusnya memberikan sinyal bahwa sistem lama tidak lagi bisa dipertahankan. Hanya dengan kembali kepada aturan Allah, negara ini dapat keluar dari lingkaran kesalahan manajemen dan eksploitasi. Tambang bukanlah milik sekelompok orang, melainkan hak seluruh rakyat—dan tanggung jawab untuk mengelolanya terletak di tangan negara.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar