Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Jaksa Penuntut Umum menuntut Nikita Mirzani hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp2 miliar dalam kasus dugaan pemerasan dan Tindak Pidana Pencucian Uang yang kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2025). Menurut Jaksa Penuntut Umum, terdapat sejumlah faktor yang membuat hukuman terhadap Nikita Mirzani layak diperberat.
"Perbuatan terdakwa merusak nama baik martabat orang lain, perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dalam skala nasional, terdakwa telah menikmati hasil kejahatan, terdakwa tidak bersikap sopan di persidangan, terdakwa berbelit-belit di persidangan, terdakwa tidak mengakui perbuatannya, terdakwa sudah pernah dihukum, terdakwa tidak menghargai jalannya persidangan," beber Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2025). (SUMUT POS, 9/10/2025).
Terlepas dari kasus apa dan siapa yang menjadi terdakwa, masalah ini menjadi sorotan banyak netizen sebab lagi-lagi menunjukkan keadilan di negeri ini masih terpengaruh oleh sikap sopan dan tidaknya saat di persidangan, bukan berat dan ringannya kejahatan.
Tentu kita masih ingat ringannya hukuman seorang koruptor yang menjadi suami seorang artis tersebab perilakunya yang sopan di persidangan. Meskipun pada akhirnya tidak diberlakukan lagi karena viral dan menjadi hujatan banyak netizen. Mungkin hal ini akan berlaku pula pada kasus di atas jika saja lebih banyak netizen yang bersuara.
Rupanya hukum lebih takut pada penilaian manusia dibanding penilaian Penciptanya. Tidak heran, sebab hukum yang dipakai dibangun di atas sistem yang menuhankan HAM, Sistem yang menjauhkan peran Allah SWT. sebagai Maha Pencipta dan Maha Pengatur, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, dialah sistem kapitalisme. Berat dan ringannya sanksi dapat diatur sesuai hawa nafsu manusia.
Berbeda dengan sistem Islam. Menurut sistem peradilan Islam, hanya ada satu kadi (hakim) yang bertanggung jawab dalam setiap perkara. Ia berwenang mengadili perkara yang diadukan dan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Kadi-kadi lainnya hanya berhak membantu dan memberikan masukan jika ia diminta oleh kadi yang memimpin persidangan.
Sanksi Islam hanya dapat dikenakan jika bukti-bukti yang ada secara pasti menunjukkan perbuatan kriminal seseorang dan seluruh syarat terpenuhi, seperti syarat empat orang saksi dalam perkara perzinaan. Jika sedikit saja ada keraguan atas bukti yang diajukan, kasus yang tengah diadili akan dihentikan.
Di bawah sistem peradilan Islam, setiap orang, laki-laki maupun perempuan, muslim maupun nonmuslim, terdakwa maupun tertuduh, berhak untuk mengangkat seseorang untuk mewakilinya.
Sanksi Islam diterapkan tanpa ditunda-tunda dan dilakukan tanpa keraguan. Tidak ada seorang pun yang mendapat sanksi, kecuali setelah mendapatkan vonis pengadilan. Selain itu, berbagai bentuk penganiayaan tidak akan pernah diizinkan.
Di bawah sistem Islam, seorang korban kejahatan berhak memaafkan pelaku kejahatan atau menuntut tanggung jawab (kisas) atas sebuah kejahatan, kecuali sanksi-sanksi hudud yang merupakan hak Allah SWT.
Ada tiga pilar yang selalu menyertai ketika sistem Islam kafah diterapkan dalam segala aspek dalam naungan Khilafah, yaitu keimanan dan ketakwaan individu, opini publik yang memandang buruk maksiat atau kejahatan, serta sanksi tegas oleh negara terhadap tindakan kriminal.
Bagi seorang muslim, keimanan akan mendorong untuk selalu tunduk kepada aturan-Nya. Ketakwaan akan mencegah dari perbuatan-perbuatan kriminal, seperti mencuri, merampok, penyalahgunaan narkoba, dll. Keyakinan seorang muslim kepada akhirat akan membuatnya takut untuk melakukan kejahatan.
Lingkungan masyarakat yang ada dalam negara Islam adalah lingkungan yang mengemban dan menyebarkan nilai-nilai dan perasaan Islam. Perbuatan yang bertentangan dengan Islam dipandang hina. Hal ini akan membentuk opini publik yang menentang segala perbuatan maksiat dan mampu mencegah perbuatan maksiat tersebut.
Ditambah lagi, sanksi tegas yang dimiliki Islam terhadap pelaku kejahatan berfungsi menimbulkan efek jera bagi manusia lain untuk melakukan kejahatan serupa (zawajir) dan menjadi penebus dosa manusia di akhirat (jawabir).
Islam tidak menyerahkan pembuatan hukum kepada hawa nafsu dan keinginan manusia. Pembuatan hukum adalah hak Allah SWT. Sang Pencipta manusia dan Zat yang Maha Mengetahui keadaan manusia.
Allah Swt. berfirman,
قُلْ اِنِّيْ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَكَذَّبْتُمْ بِهٖ ۗ مَا عِنْدِيْ مَا تَسْتَعْجِلُوْنَ بِهٖ ۗ اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗ يَقُصُّ الْحَـقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفٰصِلِيْنَ
"Katakanlah (Muhammad), "Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik." (QS. Al-An’am: 57).
Hanya dengan penerapan sistem Islam, keadilan akan benar-benar ditegakkan. Keputusan peradilan tidak akan terpengaruh oleh sekedar sopan atau tidaknya terdakwa, melainkan benar-benar sesuai syariat Islam.
Jika Indonesia ingin benar-benar merasakan keadilan, maka syarat utamanya adalah mengganti sistem Kapitalisme dengan sistem Islam yang terbukti selama 13 abad menerangi dunia dan memberikan rahmat bagi seluruh alam. Mari bersama-sama kita mewujudkannya!
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar