Oleh: Safira Luthfia
Suasana Hening di Tengah Keriuhan Dunia
Kini, fenomena anak tanpa sosok ayah banyak diperbincangkan di beragam media. Istilah ini menggambarkan keadaan di mana anak tumbuh tanpa peran aktif seorang ayah—baik secara fisik maupun emosional. Di Indonesia, jutaan anak mengalami kondisi ini. Mereka mungkin memiliki ayah secara biologis, tetapi kehilangan figur ayah dalam aspek psikologis. Dalam banyak kondisi, ayah memang berada di rumah, tetapi tidak benar-benar hadir dalam kehidupan putra-putrinya.
Kondisi ini tidak muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan konsekuensi dari gaya hidup yang menjauhkan manusia dari fitrahnya. Dalam sistem perekonomian kapitalistik yang mengutamakan aktivitas tanpa henti, banyak ayah terbebani untuk bekerja keras, mengejar target, dan memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Di sisi lain, budaya materi yang dihasilkan oleh sistem sekuler mengukur keberhasilan seorang ayah berdasarkan besarnya pendapatan, bukan seberapa dekat ia dengan anak-anaknya.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika fenomena anak tanpa sosok ayah menjadi hal yang umum terjadi. Banyak anak kehilangan teladan moral, arah hidup, serta rasa aman akibat absennya sosok yang seharusnya menjadi pelindung dan pemimpin dalam keluarga. Ketika kehangatan dalam keluarga digantikan oleh layar gadget dan kesibukan luar, generasi yang tumbuh akan menjadi rapuh—mudah tertekan, kehilangan identitas, dan mencari sosok pengganti di luar rumah.
Penyebab Utama: Sistem Kehidupan yang Tidak Sesuai
Permasalahan fatherless bukanlah sekedar masalah pribadi, tetapi muncul dari sistem kehidupan yang keliru. Sistem kapitalisme-sekuler menjadikan manusia sebagai makhluk ekonomi yang dinilai dari produktivitas dan kemampuan finansial. Para ayah terpaksa bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan keluarga yang seolah tidak ada habisnya, sementara pemerintah tidak menyediakan dukungan ekonomi yang memadai. Akibatnya, banyak ayah kehilangan waktu untuk melaksanakan peranan utamanya sebagai pemimpin, pelindung, dan pendidik keluarga.
Dalam sistem sekuler, individu menanggung semua beban kehidupan sendiri. Negara hanya berfungsi sebagai pengawas pasar, bukan sebagai penjamin kesejahteraan rakyat. Ketika biaya hidup melonjak, pekerjaan tidak layak, dan harga barang terus meningkat, para ayah terpaksa meninggalkan rumah untuk dapat bertahan hidup. Selain itu, budaya liberal yang mengutamakan kebebasan individu mengakibatkan nilai-nilai keluarga semakin pudar. Hubungan antar pasangan dan orang tua dengan anak menjadi renggang karena tidak lagi dibangun atas dasar tanggung jawab, melainkan berdasarkan kepentingan.
Akibatnya, fenomena fatherless tidak hanya disebabkan oleh perceraian atau kehilangan, tetapi juga karena menghilangnya fungsi spiritual dan sosial ayah dalam keluarga. Ayah tidak lagi menjadi teladan moral atau panduan spiritual, melainkan sekadar pencari nafkah. Sementara itu, dalam perspektif Islam, peran ayah jauh lebih penting. Ia adalah penjaga akidah dan karakter anak, yang membentuk keteguhan iman, serta merupakan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Islam Menyediakan Solusi yang Komprehensif
Islam menempatkan keluarga sebagai lembaga utama dalam membentuk kepribadian seseorang. Dalam Al-Qur’an, sosok ayah digambarkan sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan, pendidikan, dan keteladanan moral bagi anak-anaknya. Allah berfirman dalam Surah Luqman yang menggambarkan bagaimana seorang ayah memberikan nasihat kepada anaknya dengan penuh kebijaksanaan dan kasih sayang: "Wahai anaku, dirikanlah shalat, suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah yang mungkar, dan bersabarlah atas apa yang menimpamu..." (QS. Luqman: 17)
Dari cerita ini, Islam menunjukkan bahwa tugas seorang ayah bukan hanya mencari uang, tetapi juga membentuk keimanan dan moralitas pada anak-anak. Oleh karena itu, dalam sistem Islam, para ayah tidak ditinggalkan dalam tekanan ekonomi yang membuat mereka tidak ada di rumah. Negara dalam sistem Islam akan menjamin kebutuhan dasar warganya melalui pengelolaan sumber daya alam berdasarkan syariat, menciptakan lapangan pekerjaan dengan gaji yang wajar, dan memberikan perlindungan sosial yang memberikan rasa aman. Dengan demikian, ayah dapat menjalankan perannya sebagai qawwam secara menyeluruh—bekerja, memimpin, dan mendidik.
Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa masalah anak tanpa ayah bukan hanya isu sosial, tetapi juga dampak dari sistem hidup yang mengabaikan peran agama dan tanggung jawab negara. Hanya dengan kembali pada sistem Islam yang mengedepankan keimanan, tanggung jawab, dan keadilan sosial, peran ayah akan kembali memiliki arti. Di bawah aturan Allah, keluarga akan menjadi tempat berkembangnya generasi yang kuat—yang beriman, berakhlak, dan siap untuk memimpin peradaban.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian. 


 
 
 
 
 
 
0 Komentar