Bergizi di Slogan, Beracun di Lapangan: Wajah Buram Program MBG


Oleh : Ulianafia

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dicanangkan pemerintah sebagai salah satu program unggulan nasional tahun 2025–2029. Targetnya amat ambisius: lebih dari 80 juta penerima manfaat, mulai dari siswa sekolah dasar hingga santri di pesantren. Dengan anggaran mencapai ratusan triliun rupiah per tahun, program ini diharapkan mampu meningkatkan gizi anak Indonesia, menekan angka stunting, menumbuhkan semangat belajar, dan sekaligus memberdayakan ekonomi lokal.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan wajah sebaliknya. Sejak program ini dijalankan, berbagai daerah justru dihebohkan dengan kasus keracunan massal. Banyak laporan tentang makanan basi, penyajian yang tidak higienis, hingga penggunaan wadah yang diduga terkontaminasi minyak babi. Tak berhenti di situ, aroma korupsi dan permainan anggaran pun mulai menyeruak. Program yang diharapkan menyehatkan generasi muda justru berubah menjadi sumber malapetaka dan keresahan publik.

Data dari berbagai lembaga menunjukkan situasi yang memprihatinkan. Hingga pertengahan Oktober 2025, tercatat lebih dari 11.500 anak menjadi korban keracunan MBG di seluruh Indonesia, dengan sedikitnya 75 kasus kejadian yang teridentifikasi di sekolah maupun pesantren. Provinsi Jawa Barat menjadi wilayah dengan jumlah korban tertinggi, sekitar 4.125 anak, disusul Jawa Tengah (1.666 korban), DIY (1.053 korban), Jawa Timur (950 korban), dan Nusa Tenggara Timur (800 korban). Beberapa kasus menonjol terjadi di Klaten, Jawa Tengah, misalnya di Kecamatan Wedi, di mana 49 siswa keracunan—22 di antaranya harus dirawat di rumah sakit—dan di Gemolong, Sragen, terdapat lebih dari 250 siswa mengalami gejala serupa. Angka-angka ini menggambarkan bahwa masalah MBG bukan insiden kecil, melainkan krisis nasional yang serius.

Kegagalan ini tidak bisa hanya disalahkan pada lemahnya pengawasan atau ketidaksiapan teknis semata. Ada masalah mendasar pada paradigma sistem yang melandasinya. Program MBG lahir dan dijalankan dalam bingkai sistem kapitalisme sekuler, yang memisahkan urusan publik dari nilai-nilai agama. Dalam sistem seperti ini, kebijakan publik seringkali disusun bukan atas dasar amanah dan kemaslahatan umat, melainkan untuk kepentingan politik dan ekonomi para elite.

Slogan “bergizi gratis” bisa jadi hanya kemasan manis untuk menutupi orientasi proyek yang sarat kepentingan. Tender pengadaan menjadi rebutan, pengawasan dilakukan ala kadarnya, sementara keselamatan anak-anak justru menjadi korban. Dalam sistem kapitalisme, keuntungan dan pencitraan lebih diutamakan daripada kejujuran dan tanggung jawab. Nilai-nilai seperti amanah, kebersihan, dan kehalalan kerap dianggap sekadar formalitas administratif, bukan bagian dari keimanan dan kewajiban.

Padahal, dalam pandangan Islam, pelayanan terhadap rakyat (ri‘ayah syu’un al-ummah) merupakan kewajiban utama negara. Rasulullah ï·º bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Negara dalam sistem Islam tidak menunggu proyek untuk melayani rakyat. Kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan dijamin langsung melalui baitul mal, bukan lewat mekanisme tender yang membuka peluang manipulasi. Para pejabat dan amil diangkat berdasarkan amanah dan takwa, bukan karena kedekatan politik. Setiap bentuk penyimpangan, termasuk korupsi, dipandang sebagai jarimah besar yang dapat dijatuhi hukuman tegas untuk menegakkan keadilan dan menjaga kepercayaan publik.

Sistem Islam juga memiliki mekanisme jelas dalam memastikan keamanan dan kehalalan pangan. Tidak ada toleransi bagi bahan yang najis atau berbahaya. Setiap penyedia makanan wajib memenuhi standar syar’i dan kesehatan yang ketat. Semua itu bukan semata-mata regulasi teknis, melainkan manifestasi dari keyakinan bahwa setiap urusan rakyat adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Maka, jika program MBG ingin benar-benar membawa manfaat, solusi tidak cukup dengan tambal sulam kebijakan. Akar persoalan ada pada sistem yang mendasarinya. Selama paradigma kapitalisme-sekuler tetap dipertahankan, program sebesar apa pun akan mudah terjerat korupsi, inefisiensi, dan kehilangan arah moral. Dibutuhkan sistem yang menata seluruh aspek kehidupan berdasarkan ketaatan kepada Allah SWT — yakni sistem Islam kaffah.

Dalam sistem Islam, program pemenuhan gizi bukan proyek politis, melainkan ibadah sosial. Pemerintah bertindak sebagai pelayan rakyat, bukan pengelola anggaran. Keberhasilan diukur bukan dari jumlah dana yang terserap, tetapi dari terwujudnya kesejahteraan dan keadilan hidup umat. Dengan paradigma inilah, masyarakat akan benar-benar bergizi, tidak hanya tubuhnya, tetapi juga akalnya, hatinya, dan imannya.

Karena itu, sudah saatnya umat berpikir lebih dalam. MBG bukan sekadar soal makanan, tetapi cerminan dari wajah sistem yang mengatur kita hari ini. Selama nilai-nilai sekularisme dan kapitalisme masih mendominasi, maka “bergizi” hanya akan jadi slogan, sementara yang rakyat rasakan justru racun. Hanya dengan kembali pada sistem Islam, gizi akan benar-benar menjadi sumber kebaikan — menumbuhkan generasi sehat, cerdas, dan beriman yang siap memimpin peradaban. Wallahu'alam




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar