Oleh : Aneu Sukmawati
Program Makan Bergizi Gratis (MBG), adalah program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang dicanangkan dengan tujuan mulia. Diantaranya adalah meningkatkan kesehatan, mengatasi masalah gizi buruk, stunting, serta mendukung tumbuh kembang generasi muda Indonesia. Program ini menyasar anak-anak sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui. Namun, dalam implementasi di lapangan, program ini menghadapi paradoks yang memprihatinkan: alih-alih meningkatkan kesehatan, justru muncul kasus keracunan massal yang mengancam keselamatan rakyat penerima manfaat.
Risiko Fatal dan Kualitas yang Diabaikan
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa realisasi program MBG jauh dari harapan. Kasus keracunan makanan bergizi gratis telah menimpa ribuan anak di berbagai daerah. Data mencatat ratusan korban di Banggai, Sulawesi Tengah, Garut, dan Bandung Barat. Di Banggai Kepulauan saja, lebih dari 300 siswa diduga keracunan, sementara di Garut dilaporkan 569 pelajar terdampak, dan di Bandung Barat angkanya bahkan mencapai lebih dari 1.300 orang. Jumlah korban yang masif ini menjadi sinyal bahaya yang tak terbantahkan.
Ironisnya, di tengah mencuatnya isu kualitas, seperti dugaan kontaminasi minyak babi hingga kandungan logam berat pada wadah makanan, pemerintah terkesan lamban dalam penanganan dan evaluasi mendalam. Ini memunculkan indikasi bahwa pemerintah lebih mementingkan aspek kuantitas dan kecepatan distribusi daripada kualitas dan keamanan pangan.
Kekhawatiran publik kian memuncak ketika anggaran MBG untuk APBN 2026 justru dilipatgandakan secara fantastis, dari sekitar Rp121 triliun pada 2025 menjadi Rp335 triliun pada 2026. Anggaran jumbo ini, di satu sisi, adalah bentuk komitmen, tetapi di sisi lain, membuka celah besar bagi praktik korupsi dan moral hazard. Ketika menu yang diterima anak-anak dinilai tidak layak dan bahkan memicu keracunan, maka bertambahnya anggaran tanpa perbaikan sistem pengawasan yang ketat hanya akan memperburuk keadaan dan menjauhkan program dari tujuan mulia awalnya
Akar Masalah: Sistem Kapitalisme dan Kepentingan Bisnis
Kegagalan fatal dalam aspek kualitas dan keamanan pangan ini tak terlepas dari sistem yang melingkupinya, yakni sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, setiap peluang yang menjanjikan keuntungan materi, sebesar apa pun, akan dieksekusi dengan cepat. Program MBG yang bernilai ratusan triliun rupiah otomatis menjadi lahan bisnis (proyek) yang sangat menggiurkan.
Besarnya anggaran ini secara tidak langsung melibatkan banyak perusahaan dari berbagai sektor mulai dari pengadaan bahan baku, katering, hingga logistik yang kepentingannya terdongkrak. Fokus utamanya beralih dari pemenuhan gizi yang aman dan berkualitas menjadi ekstraksi keuntungan, yang pada akhirnya mengorbankan kualitas dan keselamatan anak-anak. Ketika motif bisnis menjadi penggerak utama, fungsi negara sebagai pelayan rakyat terdistorsi menjadi fasilitator bagi pemilik modal.
Solusi Islam: Amanah Kepemimpinan dan Jaminan Kesejahteraan yang Bersih
Kondisi ini memerlukan antitesis sistemik. Sistem kepemimpinan dalam Islam menawarkan solusi yang berbeda secara fundamental. Pemimpin (Khalifah) dalam Islam mengemban semangat ri'ayah (pengurusan penuh) terhadap seluruh kebutuhan rakyat, termasuk jaminan makanan yang layak dan aman.
Kepemimpinan adalah amanah besar yang membuat penguasa tidak akan mudah disetir oleh kepentingan para pemilik modal. Dalam Islam, sumber daya alam termasuk kekayaan yang digunakan untuk program publik ditetapkan sebagai milik umum (milkiyyah 'ammah) yang dikelola demi kesejahteraan rakyat, bukan demi keuntungan individu atau korporasi.
Islam juga menyediakan mekanisme pencegahan korupsi yang ketat untuk memastikan program publik berjalan sesuai tujuannya, diantaranya adalah, Pengawasan Kekayaan Pejabat: Pejabat negara diaudit kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat, Penyitaan Kekayaan Tak Wajar: Setiap penambahan kekayaan yang tidak wajar selama menjabat akan disita oleh negara, Pejabat digaji secara layak agar tidak tergoda korupsi, kemudian Khalifah menugaskan para pengawas (muhtasib) untuk memantau langsung kinerja dan integritas para pejabat, meneladani ketegasan Khalifah Umar bin Khattab r.a.
Melalui sistem ini, fokus utama negara kembali menjadi kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat, bukan akumulasi laba. Hanya dengan menerapkan sistem kepemimpinan Islam secara menyeluruh, di mana amanah di atas kepentingan materi, keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan akan benar-benar terwujud, sehingga program sepenting MBG dapat terealisasi tanpa mengancam keselamatan penerima manfaat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar