Oleh: Ari Sofiyanti
Sebanyak 171 orang santri telah dievakuasi dari reruntuhan bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny yang ambruk pada tanggal 29 September 2025. Dari jumlah itu, 104 korban selamat sementara 67 lainnya meninggal dunia. Senin sore itu, bencana datang ketika para santri tengah menunaikan sholat ashar berjamaah di lantai dua. Lantunan ayat suci pun berubah menjadi jerit ketakutan dan gemuruh puing-puing yang berjatuhan.
Diduga, penyebab dari ambruknya bangunan empat lantai ponpes Al Khoziny adalah fondasi yang tidak kuat menahan beban lantai tambahan yang sedang dibangun. Apa lagi bangunan ponpes memang sudah berusia lebih dari satu abad, yaitu sekitar 100 hingga 125 tahun. (Liputan 6.com). Tragedi ini seharusnya memecut kesadaran kita, bahwa fasilitas pendidikan di negeri ini masih banyak yang tidak memadai.
Ponpes Al Khoziny bukanlah satu-satunya kasus bangunan Pendidikan yang tidak layak. Sekolah di Jawa Tengah tercatat ada 1.868 ruang kelas yang berada dalam kategori rusak berat. (Kompas.com). Sementara itu di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) ada total 20.573 sekolah, dari data tersebut 60% ruang kelas dalam kondisi rusak. (Antara News).
Minimnya fasilitas pendidikan di Indonesia disebabkan karena keterbatasan anggaran pendidikan. Di samping itu, pemerintah juga nampaknya tidak memprioritaskan kebutuhan masyarakat. Buktinya, banyak program dan kebijakan yang dibuat tidak menyelesaikan masalah tapi justru menambah problem dan membebani APBN. Sebut saja pembangunan IKN yang diragukan urgensinya, lalu program MBG yang tetap tidak menyentuh akar permasalahan di negeri ini.
Struktur APBN juga menunjukkan ketimpangan yang harus disadari karena hal ini juga menjadi penyebab sulitnya masyarakat sejahtera. Seperti yang dikutip dari data Direktorat Jenderal Pajak, Kemenkeu, Sekitar 83% pendapatan negara ternyata berasal dari pajak. Sementara itu pendapatan dari sektor sumber daya alam hanya sekitar 9-11%. Hal ini menjadi paradoks, mengingat fakta tanah air Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah ruah. Mulai dari di daratan seperti hutan, tambang, mineral dan panas bumi. Kemudian kekayaan laut dan migas. Sayangnya, masyarakat tidak merasakan kemakmuran dari hasil kekayaan bumi yang ditinggali. Rakyat justru diperas dan dibebani dengan pajak. Meski demikian, sebagian besar pajak yang dibayarkan rakyat pun tidak dapat dirasakan manfaatnya. Rakyat tetap menanggung semua beban hidupnya sendiri. Rakyat tetap membayar biaya sekolah sendiri. Jika sakit biaya layanan kesehatan melangit hingga tak mampu rakyat kecil memikulnya. Listrik dan air juga semakin naik.
Seperti inilah wajah sistem kapitalisme. Sistem ini melegalkan bahkan mengharuskan negara sebagai pemungut pajak, sehingga pengelolaan kekayaan alamnya bisa dikuasai oleh para kapitalis yaitu korporasi swasta atau asing. Contoh riil dari migas, negara hanya menerima sekitar 103 triliun rupiah. Padahal total ekspor migas dapat mencapai 800 triliun rupiah (Kemenkeu, BPS, 2024). Dari tambang batu bara pun demikian. Perusahaan kapitalis memperoleh margin keuntungan 40-60%, sedangkan Indonesia rela menerima royalti 5-7% saja.
Sistem kapitalisme memang dirancang untuk menguntungkan pihak kapitalis. Sistem ini berorientasi pada profit sehingga mengesampingkan pengurusan rakyat. Tak heran jika kini banyak problematika yang menimpa masyarakat tetapi kebijakan pemerintah justru semakin memberatkan rakyat. Bahkan rakyat telah melakukan aksi demo besar, tetapi aspirasi rakyat seolah tak didengar dan tidak mengubah keadaan.
Satu-satunya sistem kehidupan yang memiliki aturan lengkap dan sempurna untuk manusia dengan jaminan terwujudnya keberkahan adalah sistem Islam. Islam memiliki aturan yang baku dalam hal sistem pendidikan. Berangkat dari kewajiban menuntut ilmu yang diperintahkan Allah lewat sabda Rasulullah berikut: “Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Mājah no. 224, dan diriwayatkan pula oleh al-Bayhaqī dalam Syu‘ab al-Īmān no. 1663).
Implikasi dari kewajiban menuntut ilmu ini menuntut negara untuk menyediakan fasilitas pendidikan. Sehingga negara bertanggung jawab menjamin pelaksanaan tholabul ilmi, seperti yang diperintahkan dalam hadits: “Setiap pemimpin adalah penggembala, dan setiap penggembala akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR. al-Bukhari & Muslim).
Dengan demikian, seluruh hal yang berkaitan dengan sistem pendidikan wajib ditanggung oleh negara termasuk fasilitas dan sarana. Rakyat tidak boleh dibebani dengan biaya, bahkan jika rakyat tidak mampu menuntut ilmu karena terhalang biaya maka negara telah berdosa.
Hadits lainnya adalah contoh praktis Rasulullah pada peristiwa Perang Badar di tahun ke-2 Hijriyah. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dalam Sirah Nabawiyah, "Rasulullah ﷺ menjadikan tebusan bagi para tawanan Badar yang pandai menulis adalah dengan mengajarkan baca tulis kepada sepuluh anak-anak kaum Anshar."
Di sini, Rasulullah sebagai pemimpin negara Islam menggunakan aset negara yaitu tawanan perang untuk memenuhi kebutuhan pendidikan rakyat. Jelas sekali dalam kebijakan ini Rasul mencontohkan bahwa kebutuhan pendidikan ditanggung oleh negara. Sementara rakyat sama sekali tidak dibebani biaya sepeser pun. Selain itu jelas pula dalam sistem Islam, pendidikan dipandang sebagai amanah negara dan tidak dikomersialkan seperti pada sistem kapitalisme saat ini.
Tentu saja untuk membangun sistem pendidikan yang berkualitas, negara memerlukan biaya yang besar. Seluruh pembiayaan urusan publik ini diambil dari APBN Islam yaitu Baitul Mal. Allah juga telah mengatur APBN negara Islam (khilafah) baik dalam hal pemasukan maupun pengeluarannya. Inilah yang menjadi kunci bagaimana Khilafah dapat membiayai seluruh layanan pendidikan masyarakat. Sumber pendapatan Baitul Mal salah satunya adalah dari sumber daya alam. Dalam Islam, sumber daya alam yang besar tidak boleh dikuasai oleh korporasi. Pengelolaan SDA ini diwajibkan kepada Khilafah sehingga manfaatnya akan cukup untuk digunakan membangun negara. Kontras dengan sistem kapitalisme yang memeras pajak dari rakyat sedangkan sumber daya alamnya diserahkan kepada swasta.
Sejarah juga telah mencatat bukti bahwa Khilafah menanggung seluruh fasilitas pendidikan. Contohnya Madrasah Nizamiyyah, Bagdad di abad ke-11 M. Seluruh biaya madrasah berasal dari Baitul Mal dan wakaf. Para pelajarnya mendapatkan fasilitas asrama, makan dan buku tanpa harus mengeluarkan biaya. Ibn al-Athir, dalam al-Kamil fi al-Tarikh, jilid 9 menyebutkan bahwa madrasah ini dibiayai penuh dari harta negara.
Contoh lainnya adalah Madrasah Mustansiriyyah di masa Daulah Abbasiyah. Madrasah ini dilengkapi dengan perpustakaan besar, apotek, rumah sakit, asrama pelajar dan ruang makan gratis. Bahkan pelajar mendapat uang saku harian. Pada masa Daulah Utsmaniyah pun demikian, ribuan sekolah dasar dan madrasah tinggi dibiayai penuh oleh Khilafah. Inilah bukti penerapan Islam yang benar-benar mengikuti syariat.
Kini telah jelas bahwa sistem kapitalisme lah akar dari seluruh persoalan rapuhnya fasilitas pendidikan hari ini. Selama sistem kapitalisme terus dipertahankan, maka nyawa anak-anak generasi penerus yang menjadi taruhannya. Hanya sistem Islam, yaitu menerapkan syariat Islam secara kaffah yang mampu menjamin pendidikan berkualitas dan gratis tanpa beban biaya sedikit pun.
Wallahu a’lam bishowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar