Oleh: Noura (pemerhati sosial dan generasi)
Belakangan ini pemerintah melalui Diskominfo Kaltim kembali gencar melakukan sosialisasi literasi digital kepada para pelajar. Mulai dari ajakan bijak bermedia sosial, jauhi hoaks, hingga peringatan bahaya konten pornografi dan kekerasan seksual. Bahkan, di Samarinda, terbit surat edaran agar pelajar menonton film edukasi tentang bahaya cyberbullying. Langkah ini tentu patut diapresiasi sebagai bentuk kepedulian terhadap generasi muda. Namun, pertanyaannya: apakah upaya tersebut cukup menyelesaikan persoalan?
Faktanya, remaja hari ini sangat rentan terpapar konten negatif di media sosial. Gawai dan internet telah menjadi bagian dari keseharian mereka, baik untuk belajar, berkomunikasi, mencari hiburan, hingga mencoba peruntungan ekonomi. Tak bisa dipungkiri, teknologi ibarat pisau bermata dua: bisa bermanfaat, namun bisa pula melukai. Jika perundungan di dunia nyata terbatas pada ruang dan waktu tertentu, maka cyberbullying jauh lebih berbahaya. Ia bisa terjadi kapan saja, di mana saja, bahkan menimpa siapa saja. Dalam hitungan detik satu foto, video, atau komentar dapat menyebar luas ke ratusan, bahkan ribuan orang. Pelaku pun kerap bersembunyi di balik akun palsu, sehingga lebih berani melancarkan hinaan, ancaman, bahkan pelecehan.
Yang lebih mengkhawatirkan, jejak digital sulit terhapus. Korban bisa terus menghadapi dampak psikologis meski kasusnya sudah lama berlalu. Banyak anak dan remaja yang akhirnya tumbuh dengan rasa takut, cemas, minder, bahkan depresi. Dalam kasus serius, tak jarang mereka terjerumus pada pikiran untuk mengakhiri hidupnya. Ini membuktikan bahwa cyberbullying bukan sekadar persoalan komunikasi atau etika individu semata, melainkan masalah sistemik yang lebih dalam.
Sayangnya, solusi yang ditawarkan hari ini masih berputar pada aspek perilaku personal: ajakan bijak bermedsos, imbauan berpikir kritis, atau himbauan etika digital. Padahal, akar masalahnya jauh lebih mendasar: sekularisme. Sekularisme membuat individu bertindak tanpa timbangan agama, menjadikan kebebasan berekspresi sebagai nilai mutlak. Negara pun gagal melindungi generasi karena terikat pada prinsip kebebasan itu sendiri, bahkan menutup mata terhadap derasnya arus konten beracun yang justru menguntungkan secara ekonomi. Tak bisa dipungkiri, ada cuan besar yang mengalir dari konten-konten penuh sensasi, kebencian, hingga pornografi.
Islam menawarkan perspektif yang sangat berbeda. Dalam pandangan Islam, menjaga kehormatan manusia merupakan kewajiban. Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12).
Hadis Rasulullah ï·º pun dengan tegas melarang segala bentuk menyakiti sesama Muslim. Beliau bersabda: “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh membiarkannya disakiti.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mekanisme Islam dalam menangani problem ini bukan sebatas kampanye moral, melainkan melalui sistem menyeluruh. Pendidikan dibangun berbasis akidah Islam, dengan porsi yang besar untuk membentuk kepribadian takwa, bukan sekadar menjejalkan materi akademis. Masyarakat diarahkan agar memiliki kepedulian kolektif dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar, bukan permisif terhadap kerusakan. Negara pun memiliki kewenangan penuh untuk menutup akses konten berbahaya dan menerapkan sanksi tegas bagi pelaku perundungan. Dalam Islam, sanksi berlaku bagi siapa saja yang telah baligh, karena sejak saat itu mereka sudah tertaklif oleh syariat. Tidak ada dalih “anak di bawah umur” untuk menangguhkan hukuman.
Sejarah mencatat, selama berabad-abad penerapan Islam kaffah mampu melindungi generasi dari kerusakan moral yang hari ini kian merajalela. Tiga pilar strategis—keluarga, masyarakat, dan negara—bersatu dalam satu visi yang sama: melahirkan generasi cerdas, bertakwa, dan berkepribadian mulia. Inilah yang hilang dalam sistem sekuler sekarang, yang justru menyerahkan anak-anak kita menjadi korban kebebasan tanpa batas.
Cyberbullying hanyalah satu contoh nyata betapa teknologi di tangan sistem sekuler bisa berubah menjadi bencana. Maka, jika kita benar-benar ingin melindungi generasi, solusinya bukan sekadar literasi digital atau imbauan etika semu. Kita butuh sistem yang menjadikan agama sebagai standar, bukan kebebasan. Saatnya umat menyadari bahwa hanya dengan kembali pada Islam secara kaffah, generasi akan benar-benar aman dari jeratan kejahatan digital.
Wallahu'alam bishawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar