Kesepian Massal: Ilusi Sosial Media di Era Kapitalisme Digital


Oleh: Noura (Pemerhati Sosial dan Generasi)

Fenomena kesepian di tengah keramaian bukan lagi sekadar ungkapan puitis. Di era digital, ia menjadi kenyataan pahit yang dirasakan banyak orang. Riset mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY bahkan menyingkap fenomena ini melalui kajian Loneliness in the Crowd—bagaimana TikTok dan jagat media sosial lain justru menambah rasa hampa, meski seolah-olah mempererat interaksi.

Teori hiperrealitas menjelaskan, apa yang tampak di layar sering kali lebih dianggap “nyata” daripada kenyataan itu sendiri. Emosi yang dipoles media akhirnya memengaruhi psikologi, bahkan mengikis kemampuan seseorang untuk membangun relasi sosial yang sehat.


Media Sosial, Kesepian, dan Sistem yang Membentuknya

Generasi Z—yang disebut sebagai “generasi paling terkoneksi”—justru tercatat sebagai generasi paling kesepian. Tidak sedikit dari mereka yang merasa insecure, sulit membangun interaksi nyata, hingga terganggu kesehatan mentalnya.

Apakah semua ini hanya persoalan literasi digital? Tentu tidak sesederhana itu. Fenomena kesepian massal ini lahir dari sistem kapitalis-sekuler yang melahirkan budaya individualistik. Industri digital digerakkan bukan untuk membangun manusia, melainkan untuk mengejar profit. Interaksi sosial dipaketkan dalam konten singkat penuh ilusi, sementara relasi nyata dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat makin rapuh.

Di sinilah jebakan besar itu bekerja. Seseorang bisa terlihat “ramai” di dunia maya, tetapi kosong di dunia nyata. Ia aktif berkomentar, membagikan konten, bahkan punya ribuan pengikut, namun ketika layar ponsel ditutup, ia terjerembab dalam sunyi yang dalam.


Generasi Lemah di Tengah Umat

Dampak dari “kesepian di tengah keramaian” bukan hanya urusan personal. Ketika sikap asosial dan mental rapuh menguasai generasi muda, umat kehilangan potensi terbaiknya. Bagaimana mungkin lahir karya-karya besar jika yang tumbuh justru generasi yang cemas, insecure, dan sibuk menambal luka batin sendiri?

Padahal, generasi muda adalah aset strategis umat. Mereka seharusnya tumbuh dengan daya juang, kepedulian, dan produktivitas untuk menjawab problematika zaman. Namun sistem sekuler liberal menjadikan mereka sibuk berlari di labirin kesepian, jauh dari peran besar yang seharusnya mereka emban.


Jalan Keluar: Islam sebagai Identitas

Solusinya bukan sekadar “bijak bermedsos” atau “atur waktu bermain gawai.” Itu penting, tetapi tidak cukup. Yang lebih mendasar adalah menyadari bahwa akar masalah terletak pada sistem sekuler liberal yang meniadakan peran agama dalam mengatur kehidupan. Selama nilai kapitalisme dan individualisme menjadi arus utama, media sosial akan tetap menjadi mesin pencetak manusia-manusia kesepian.

Islam menawarkan jalan keluar yang lebih substansial. Identitas seorang muslim dibangun di atas ikatan akidah, bukan ilusi digital. Dalam masyarakat Islam, relasi sosial ditopang oleh ukhuwah, amar makruf nahi mungkar, dan kesadaran kolektif untuk berkontribusi dalam urusan umat.

Peran negara juga sangat vital. Negara yang berlandaskan Islam akan mengendalikan arus media agar tidak sekadar menjadi arena komersialisasi. Ia akan memastikan teknologi digital digunakan untuk mencerdaskan umat, memperkuat persaudaraan, dan melahirkan generasi yang produktif serta visioner.


Penutup

Kesepian di tengah keramaian bukan sekadar problem psikologis. Ia adalah cermin dari sistem sekuler liberal yang gagal membangun manusia sebagai makhluk sosial sekaligus hamba Allah. Umat tidak boleh terjebak dalam jebakan ilusi media.

Sudah saatnya kembali menjadikan Islam sebagai identitas utama—agar generasi muda tidak lagi tumbuh sebagai “lonely in the crowd,” tetapi hadir sebagai kekuatan nyata yang siap membangkitkan umat dan menata peradaban.

Wallahu'alam bishawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar