Berlindung Atas Nama HAM, LGBT Merajalela


Oleh : Herliana Tri M

Mengatasnamakan HAM, tindakan amoral mencari pembenaran.  Akhirnya, kasus penyimpangan seksual, semisal perzinaan dan LGBT, semakin marak.  Akibatnya, penyakit yang disebabkan oleh penyimpangan perilaku  ini semakin merajalela ke seantero Indonesia.

Bukan isapan jempol lagi aktivitas LGBT di Indonesia. Dilansir detik.com (19/10/2025), menuliskan kabar sebanyak 34 pria tanpa busana diamankan polisi saat menggelar pesta seks sesama jenis di sebuah kamar Hotel kawasan Surabaya. Kasus ini tak hanya di Surabaya, sebelumnya polisi juga menggerebek Pesta Gay di Puncak Bogor.  Pesta tersebut bertajuk ‘The Big Star’ yang diikuti 75 peserta. Mayoritas berasal dari Jabodetabek, dengan biaya iuran Rp200 ribu per orang. 

Kepolisian Daerah Jawa Timur belum lama ini juga berhasil mengungkap jaringan penyimpangan seksual sesama jenis berbasis daring yang memanfaatkan platform media sosial. Grup tersebut, diketahui berjalan selama tiga tahun terakhir yang memiliki anggota aktif lebih dari 11 ribu orang.


LGBT dalam Data

Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 3% dari total penduduknya dan mengidentifikasi diri sebagai LGBT, atau sekitar 8,1 juta orang berdasarkan jumlah penduduk 270 juta jiwa. Jumlah ini menjadikan Indonesia menjadi negara dengan populasi LGBT terbesar kelima di dunia. Namun data yang lebih spesifik mengenai demografi (seperti distribusi geografis atau perincian berdasarkan jenis kelamin) belum tersedia secara luas karena sebagian besar LGBT menyembunyikan identitas mereka karena stigma sosial, diskriminasi, dan tekanan budaya di tengah masyarakat.

Berdasarkan data terbaru, lima provinsi tercatat memiliki jumlah LGBT terbanyak. Jawa Barat Aberada di peringkat pertama sekitar 302 ribu orang, Jawa Timur menempel ketat dengan 300 ribu orang, disusul Jawa Tengah 218 ribu, DKI Jakarta 43 ribu, dan Sumatera Barat 18 ribu.

Angka-angka ini mengundang perhatian publik, apalagi di tengah masyarakat masih kental nilai keagamaan dan sosial masyarakat Indonesia yang memandang LGBT sebagai perilaku menyimpang.


Berlindung Atas Nama HAM

Aktivitas LGBT di Indonesia berusaha mencari tempat dan eksistensi agar keberadaannya di akui. Hak Asasi Manusia sering dijadikan tempat berlindung agar mereka diterima dan tak dikucilkan. 

Secara logika, layakkah aktivitas ini berlindung atas nama HAM, disaat yang sama aktivitas seksual mereka selalu menuntut pelampiasan dan memakan korban. Tak hanya menjadi korban, secara fakta akhirnya korban berubah menjadi pelaku. Sungguh aktivitas mengerikan yang tak berujung pangkal apabila tak mendapat solusi yang tepat. Apalagi pelaku LGBT juga sekaligus menyebarkan virus mematikan seiring aktivitas seksualnya yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya.

Kasus penggerebekan di puncak Bogor saja ditemukan sebagian Peserta dinyatakan Reaktif HIV dan Sifilis. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Fusia Mediawati, mengonfirmasi bahwa setelah penggerebekan, pihaknya melakukan pemeriksaan kesehatan kepada seluruh peserta pesta. “Dari 75 orang yang menjalani pemeriksaan kesehatan, sebagian dinyatakan reaktif HIV dan sifilis sebanyak 30 orang, sedangkan 45 orang non-reaktif,” ungkap Fusia, Rabu (25/6/2025).

Peluang penyebaran penyakit mematikan ini akan semakin masif seiring dengan meningkatnya jumlah perilaku menyimpang ada di tengah-tengah masyarakat. Akhirnya, mungkinkah kita bisa memberikan tempat bagi LGBT sedangkan mereka terus mencari korban pelampiasan syahwat sekaligus peluang menyebarkan virus berbahaya ini?

Apalagi secara keilmuan, upaya menyatakan bahwa LGBT sebagai perilaku genetik atau teori “gay gene”, runtuh ketika 1999 Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario menyatakan teori bahwa gay itu sifat genetis adalah propaganda palsu untuk melegitimasi penyimpangan perilaku. Sebenarnya itu adalah penyakit sosial yang harus dan bisa disembuhkan. Bukan dianggap sebagai sifat bawaan yang bisa ditoleransi keberadaannya.


Solusi Menyelesaikan LGBT

Islam sebagai agama mulia yang Allah Swt turunkan, menolak perilaku LGBT. Bahkan perbuatan haram itu sekaligus dinilai sebagai tindak kejahatan/kriminal (al-jariimah) yang harus dihukum (Abdurrahman al-Maliki, Nizhaam al-‘Uquubaat, hlm. 8-10).

Tak main-main, hukuman untuk homoseks adalah hukuman mati. Tak ada khilafiyah atau perbedaan pendapat di antara para fuqaha, khususnya para Sahabat Nabi saw., seperti dinyatakan oleh Qadhi Iyadh dalam kitabnya Asy-Syifaa‘. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw., “Siapa saja di antara kalian menjumpai orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya.” (HR al-Khamsah, kecuali an-Nasa‘i).

Oleh karena itu, agar masyarakat terhindar dari kerusakan yang lebih dalam, solusi satu-satunya tak lain adalah mengembalikan aturan kepada Sang Pencipta, Allah SWT, dengan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Hanya saja, untuk menerapkan ini harus didukung oleh semua komponen umat. Tidak bisa bekerja sendiri-sendiri. Semua pihak  memiliki tanggung jawab terhadap umat, apalagi generasi muda perjalanannya masih panjang. Baik negara, masyarakat, lembaga pendidikan maupun keluarga harus berperan aktif dan turut serta dalam melindungi umat dan generasi.  Demikian pula organisasi dan jamaah dakwah Islam yang ada di tengah-tengah masyarakat. Mereka memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyelamatkan umat dan generasi dari berbagai penyimpangan seksual sebagai proyek besar umat Islam. Tidak boleh ada satu pun yang berpangku tangan.  Umat ini harus diselamatkan dengan penerapan Islam secara sempurna oleh negara agar kerusakan bisa dijauhkan dan keberkahan melingkupi masyarakat secara keseluruhan.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar