Oleh : Nada Mazaya
Pemerintah kembali menggulirkan program stimulus ekonomi dengan jargon pemulihan kesejahteraan rakyat. Sebanyak Rp 30 triliun digelontorkan untuk 35 juta keluarga penerima manfaat (KPM) melalui program BLT. Disertai dengan pembukaan magang nasional bagi 100 ribu lulusan baru di seluruh Indonesia.
Kebijakan ini diklaim sebagai langkah cepat untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Namun, di balik gemerlap angka dan narasi “percepatan ekonomi”, sesungguhnya ini hanyalah ilusi sejahtera yang lahir dari sistem ekonomi kapitalis sekuler sebuah sistem yang berkali-kali gagal menyejahterakan umat.
Solusi Instan yang Tak Menyentuh Akar Masalah
BLT memang terasa membantu sebagian masyarakat yang sedang terjepit ekonomi. Tapi bantuan tunai ini bersifat sementara, konsumtif, dan tidak produktif. Uang bantuan yang diterima rakyat miskin hanya mampu bertahan beberapa hari, tanpa mengubah keadaan mereka secara struktural. Begitu dana habis, kemiskinan kembali menjerat.
Begitu pula dengan program magang nasional. Didorong sebagai solusi bagi pengangguran, nyatanya tidak memberikan jaminan kerja dan kesejahteraan. Banyak peserta magang hanya menjadi “tenaga kerja murah” bagi perusahaan, bukan profesional yang dibina secara berkelanjutan. Langkah-langkah seperti ini ibarat menyiram tanaman layu dengan air kotor. Tampak memberi kehidupan, tapi justru menambah kerusakan dari dalam.
Akar Masalah Sistem Kapitalisme Sekuler
Sistem ekonomi kapitalis mengukur kesejahteraan dengan angka pertumbuhan, bukan keadilan distribusi. Dalam logika ini, yang penting uang berputar, meski hanya berputar di tangan segelintir orang kaya. Sementara rakyat kecil dibiarkan hidup dari sisa remah kebijakan BLT, bansos, dan program instan lainnya.
Kapitalisme menjadikan negara sekadar regulator, bukan pelayan rakyat. Kekayaan alam diserahkan kepada swasta dan asing, sementara rakyat hanya mendapat janji kesejahteraan yang tak pernah nyata. Akibatnya, kemiskinan menjadi penyakit kronis yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Islam Menawarkan Sistem Ekonomi yang Hakiki
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menempatkan negara sebagai pelindung dan penjamin kebutuhan rakyat. Negara wajib memastikan setiap individu mendapatkan kebutuhan pokoknya pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan tanpa harus bergantung pada bantuan sementara.
Dalam sistem Islam, sumber daya alam adalah milik umum yang dikelola negara untuk kesejahteraan masyarakat, bukan diserahkan kepada korporasi. Hasil kekayaan bumi, laut, dan tambang diputar kembali untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memperkaya elite politik dan pengusaha.
Selain itu, Islam membangun sistem kerja yang mulia. Bekerja dipandang sebagai ibadah dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar mencari upah. Negara akan membuka lapangan kerja produktif melalui pengelolaan sektor riil, pembangunan industri halal, serta kebijakan fiskal tanpa riba dan pajak mencekik.
Sistem Islam dalam Naungan Khilafah
Sudah saatnya umat menyadari bahwa BLT, magang nasional, dan berbagai program kapitalistik hanyalah solusi semu yang menenangkan sesaat, tapi tidak menyembuhkan. Kemiskinan dan pengangguran tidak akan pernah tuntas tanpa perubahan sistem secara menyeluruh.
Islam telah menyediakan sistem ekonomi yang adil, stabil, dan menyejahterakan, yang hanya bisa diterapkan dalam naungan khilafah sebuah sistem pemerintahan yang berlandaskan syariat Allah, bukan kepentingan politik duniawi. Dalam sistem ini, negara bukan sekadar pemberi bantuan, tetapi pengatur dan pelayan sejati bagi rakyat. Maka, selama umat masih menggantungkan harapan pada sistem rusak kapitalisme, kesejahteraan hanya akan menjadi ilusi. Sudah waktunya kita kembali pada aturan Allah yang menjamin keadilan dan keberkahan bagi seluruh manusia.
Wallahu a’lam bishshawwab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar