KDRT dan Kekerasan Remaja: Bukti Kapitalisme Sistem Gagal


Oleh : Ummu Hanan

Kasus pembunuhan disertai pembakaran jasad korban telah menggegerkan wilayah Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Kejadian tersebut diduga dipicu oleh adanya persoalan pribadi antara pelaku dan korban yang berstatus sebagai suami-istri siri (beritasatu.com, 16/10/2025). Lain halnya dengan kejadian yang menimpa seorang nenek di daerah Pacitan, Jawa Timur. Akibat tidak terima dirinya disebut sebagai cucu pungut, seorang remaja berusia 16 tahun tega membacok nenek angkatnya hingga mengalami luka serius dan harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit (berisatu.com, 16/10/2025). Kedua kasus kejahatan di atas patut menjadi keprihatinan kita semua. Kekejian yang begitu nyata ditampakkan dalam tatanan kehidupan keluarga dan rumah tangga, terjadi pada kurun waktu yang kurang lebih bersamaan. 
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kian hari kian intens kita temui kasusnya. Mulai dari kekerasan yang dilakukan antara suami dan istri, orang tua dengan anak, sesama saudara kandung tanpa memedulikan lagi ikatan darah yang terjalin diantara mereka. Menurut data yang dirilis oleh Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) yang menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kasus KDRT sejak awal Januari hingga awal September 2025 dengan jumlah kasus sekitar 1.100 hingga 1.300 kasus setiap bulannya. Sehingga belum sampai pada penghujung tahun 2025 akumulasi kasus KDRT di negeri ini telah mencapai 10 ribu kasus! Belum lagi ketika kita membuka mata atas marak kekerasan remaja yang seolah telah menjadi semacam gaya hidup di tengah mereka. Laporan tentang adanya tawuran, perundungan, pengeroyokan hingga berujung hilangnya nyawa tidak menyurutkan jumlah kasus kekerasan.
Problematika di tengah masyarakat, seperti KDRT dan kekerasan remaja merupakan dampak sosial yang bersifat sistemik. Keberadaannya tidak terlepas dari penerapan tatanan kehidupan yang rusak, yakni sekularisme. Dalam pandangan sekularisme manusia diberikan ruang yang sangat besar untuk mengatur kehidupannya terlepas dari rambu agama, kecuali pada batas sempit ritualitas. Oleh sebab itu, sekularisme akan menghasilkan interaksi manusia yang tak lebih dari derajat hewani karena hanya memperturutkan hawa nafsu. Ketika nilai agama dijauhkan maka tidak ada lagi rasa tanggung jawab serta moralitas. Setiap orang merasa paling berhak untuk mengatur dirinya sehingga menihilkan keberadaan orang lain yang dianggap menggangu kepentingannya, meski itu adalah orang terdekat mereka.
Terlebih lagi, aspek pendidikan dalam sistem sekulerisme telah melahirkan nilai-nilai liberal. Liberalisme berkontribusi merusak keharmonisan rumah, begitupula pada tataran perilaku remaja. Sekulerisme pun memunculkan standar bahagia yang jauh dari fitrah penciptaan manusia, yakni ketika materi dijadikan sebagai ukuran utama meraih kebahagiaan. Materialisme inilah yang kemudian membutakan mata hati seketika kalap dan memiliki pemikiran bersumbu pendek. Ditambah tekanan hidup yang kian menghimpit, kekerasan akhirnya menjadi jalan untuk pelampiasan. Kondisi kerusakan semacam ini juga menjadi bukti bahwa Undang Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tak membawa perbaikan signifikan. Kasus kekerasan bukannya menurun justru meningkat dari waktu ke waktu.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan remaja merupakan bukti bahwa kapitalisme adalah sistem gagal. Kapitalisme tidak hanya gagal melindungi keselematan jiwa sehingga tak mampu memberi rasa aman, tetapi juga gagal memenuhi fitrah manusia dengan kedudukannya sebagai hamba Allah Swt. Sangat bertolak belakang dengan bagaimana syariat Islam mengatur kehidupan masyarakat. Syariat Islam mengokohkan kepribadian setiap individu masyarakat dengan pilar ketakwaan, ini diperoleh melalui bangunan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Dengan terbentuknya ketakwaan maka diharapkan kelak menjadi bekal bagi fondasi kehidupan rumah tangga yang kokoh, sehingga potensi terjadinya kekerasan dapat dicegah sejak awal.

Oleh karena itu, syariat Islam meniscayakan adanya pemimpin yang amanah dalam menjalankan hukum Islam. Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Imam (khalifah) adalah raa’in dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya” (HR Bukhari). Penguasa wajib memberikan penjaminan atas pemenuhan kebutuhan rakyat, mulai dari kebutuhan pokok hingga pelengkap. Maka tidak ada istilah kemiskinan struktural akibat negara abai dalam mengurus rakyat. Namun, jika dalam pelaksanaannya ternyata tetap terjadi pelanggaran maka syariat Islam memiliki mekanisme sistem sanksi bagi para pelaku kejahatan. Misal, bagi siapapun yang telah menghilangkan nyawa seseorang akan diberikan sanksi berupa qishash agar kasus serupa tidak berulang.

Inilah gambaran kesempurnaan syariat Islam dalam mengatur kehidupan manusia. Islam tidak pernah gagal memanusiakan manusia dengan derajatnya sebagai hamba Allah Swt. Islam meletakkan manusia sebagai sosok yang wajib terikat pada aturan Pencipta, tidak dibiarkan liar dengan prinsip kebebasan yang kebablasan. Syariat Islam jelas mengembalikan potensi kehidupan manusia agar kembali pada fitrahnya, maka masihkah kita berharap pada sistem selainnya? Allahu’alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar