Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Duka masih terpancar jelas dalam raut keluarga besar Ponpes Al Khoziny Buduran, Sidoarjo. Beberapa korban masih berharap bisa ditemukan di bawah reruntuhan, kini timbul tanda tanya besar lewat tingkah polisi yang mulai menyelidiki penyebab ambruknya Ponpes Al Khoziny. Benarkah musibah tersebut terjadi karena adanya kelalaian dalam proses pembangunan dan pengawasan struktur bangunan, bahkan ada kabar adanya eksploitasi santri yang dipekerjakan di luar batas dengan menjadikan mereka sebagai kuli?
Polisi mulai menyelidiki kasus ini dengan memeriksa 17 orang saksi. Polisi juga berjanji akan bersikap transparan selama proses penyelidikan.
"Pemeriksaan belasan saksi itu dilakukan untuk mendalami penyebab kegagalan konstruksi bangunan musala yang ambruk. Pemeriksaan lanjutan akan melibatkan pihak yang bertanggung jawab dalam pembangunan serta sejumlah ahli. Dari awal kami menduga kegagalan konstruksi menjadi penyebab utama. Karena itu, kami libatkan ahli teknik sipil dan ahli bangunan untuk memberikan analisis resmi," kata Kapolda Jatim, Irjen Polisi Nanang Avianto, Rabu (08/10) malam.
Polisi juga menggunakan Pasal 359 dan 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan luka-luka. Nanang Avianto menjelaskan, pihaknya akan memeriksa pula dokumen perencanaan dan izin bangunan ponpes tersebut. Polisi akan memastikan apakah itu sudah memenuhi standar teknis seperti diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Sementara pihak Ponpes Al Khoziny menyebut ambruknya musala sebagai 'takdir dari Allah'. Hanya saja polisi tetap bersikukuh dan berjanji akan melakukan upaya hukum, sebab 'Tidak bisa berlindung dengan dalih takdir'. "Setiap orang sama kedudukannya di hadapan hukum. Siapapun yang terbukti lalai akan dimintai pertanggungjawaban," tegasnya. (Antara, 08/10/2025).
pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan Anggota Komisi VIII DPR RI, Atalia Praratya yang meminta pemerintah agar mengkaji ulang rencana penggunaan APBN untuk memperbaiki Ponpes Al Khoziny. Ia menilai kebijakan tersebut bisa berujung pada kecemburuan sosial.
"Saya memahami kegelisahan masyarakat. Jangan sampai muncul kesan bahwa lembaga yang lalai justru dibantu, sementara banyak sekolah, rumah ibadah, atau masyarakat lain yang mengalami musibah tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Proses hukum harus ditegakkan dengan serius. Kalau memang ada unsur kelalaian, harus ada pihak yang bertanggung jawab. Keadilan bagi korban lebih utama," kata dia. (merdeka online, 10/10/2025).
Benar sekali, siapapun yang terbukti lalai akan dimintai pertanggungjawaban. Pertanyaan selanjutnya siapa yang lalai? Kenapa sampai lalai? Bagaimana seharusnya agar tidak lalai? Mari kita telusuri bersama!
Emi Freezer selaku Kasubdit RPDO (Pengarahan dan Pengendalian Operasi) Bencana dan Kondisi Membahayakan Manusia (KMM) Basarnas menyatakan bahwa berdasarkan asesmen dari para ahli, gedung yang roboh itu terdiri atas tiga lantai plus satu lantai atap cor. Bangunan yang ambruk tersebut membentuk tumpukan yang dikenal dengan sebutan “pancake model”. Freezer mengatakan, “Konstruksi bangunan yang utamanya dari empat lantai, lalu kemudian akibat kegagalan konstruksi, ini jatuhnya adalah kegagalan konstruksi, kemudian berubah menjadi tumpukan atau istilah internasional itu pancake model,” sebagaimana dilansir Detik Jatim, Rabu (1/10/2025).
Sementara itu, pakar teknik sipil dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dr. Yudha Lesmana, mengatakan, “Secara prinsip, proses pengecoran tidak akan menimbulkan masalah jika sesuai perencanaan.” Namun, ia menduga ada kemungkinan usia pengecoran yang belum matang. (Tribun, 30/9/2025).
Selaras, pakar teknik sipil struktur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Mudji Irmawan, menyebut bahwa pembangunan musala tersebut tidak terencana dan tidak sesuai kaidah teknis. “Kalau kita lihat sejarah pembangunan ruang kelas pondok ponpes ini, awalnya merupakan bangunan yang direncanakan cuma satu lantai,” kata Mudji (BBC, 30/9/2025).
Selain itu, Bupati Sidoarjo Subandi juga menyinggung bahwa ternyata pihak ponpes tidak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam proses pembangunan musala yang ambruk tersebut. (beritajatim, 30/9/2025).
Sesungguhnya, permasalahan tentang IMB rumah ibadah telah berlangsung cukup lama di beragam tempat. Pada 2020, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menyebut bahwa sekitar 90% masjid tidak memiliki IMB. Lalu dalam catatan Dewan Mesjid Indonesia, jauh sebelumnya (2016), ada 37.000 dari total 39.000 (sekitar 95%) masjid di Provinsi Jawa Tengah ternyata belum memiliki IMB. (dmi online, 3/1/2016).
Namun secara umum, banyaknya musala atau masjid yang tidak memiliki izin bukanlah semata karena tidak mau, melainkan karena secara faktanya berhadapan dengan berbagai kesulitan, baik dari sisi birokrasi, finansial, teknis, maupun penolakan sosial. Akibatnya, status ilegal tersebut dapat berujung pada konsekuensi serius, antara lain masalah keamanan bangunan.
Apalagi Ponpes adalah tempat pendidikan berbasis Islam yang keberadaannya sebagai lembaga pendidikan swasta. Tidak ditemukan satupun di negeri ini pesantren negeri sebagaimana sekolah ada sekolah negeri. Sebagai lembaga swasta maka dalam pembangunannya dilakukan secara mandiri tanpa bantuan pemerintah. Dalam kenyataannya, sekolah negeri pun dalam pembangunannya tidak sepenuhnya dibantu pemerintah, apalagi yang berstatus swasta seperti pesantren terkecuali punya koneksi kuat kepada salah satu pejabat berpengaruh.
Tersebab kemandirian tersebut, ada diantaranya pesantren yang menggandeng pihak lain baik itu swasta bahkan pemerintahan luar negeri. Ada juga yang benar-benar mandiri, pembangunan dilakukan oleh warga pesantren mulai dari iuran dana hingga tenaga dimana melibatkan santri pula dalam pelaksanaannya. Sebagaimana yang terjadi pada Ponpes Al Khoziny yang disinyalir musholla yang ambruk tersebut tidak memiliki izin dalam pembangunannya.
Lantas mengapa sampai terjadi demikian? Jika saja masalah keuangan baik-baik saja, tidak akan Ponpes tersebut melakukan hal demikian. Tidak dipungkiri banyak Ponpes yang harus menanggung beban pengeluaran Ponpes yang besar, ditambah banyak orang tua/wali santri yang telat membayar uang pondok bahkan sekedar untuk membayar uang makan anak-anaknya yang mondok pun ada yang menunggak sampai berbulan-bulan, sedangkan anak-anak di Ponpes diberi makan tiga kali sehari, otomatis seharusnya anggarannya tiga kali lipat dari anggaran MBG yang hanya memberi makan satu kali sehari.
Negara yang diharapkan bertanggungjawab hal di atas malah dibatasi oleh adanya Peta Jalan Kemandirian Pesantren yang merupakan amanat UU Pesantren 18/2019. Ada tiga fondasi pesantren dalam UU tersebut, yaitu fungsi pendidikan, dakwah, dan pengembangan masyarakat. Salah satu turunannya adalah pengembangan masyarakat terkait kemandirian pesantren.
Meski Peta jalan ini disusun dengan tujuan mengembangkan Ponpes, hanya saja pada kenyataannya Ponpes dialihfungsikanbukan hanya sebagai lembaga pendidikan, melainkan juga sebagai percontohan pergerakan ekonomi dengan alasan untuk menopang kebutuhan operasional Ponpes itu sendiri, sekaligus membantu perekonomian lingkungan sekitarnya. Jika Negara mau jujur, itu adalah bentuk berlepas diri dari tanggung jawab pengurusan Ponpes oleh negara.
Dari sini sudah ketahuan siapa sebenarnya yang lalai. Siapa sebenarnya yang harus dituntut untuk bertanggungjawab. Jika memang negara mau mengelak dengan alasan, "Jangan selalu menyalahkan pemerintah! Jangan tanya seberapa besar peran negara mengurusi rakyat termasuk pada keberlangsungan Ponpes, tapi tanya seberapa besar peran rakyat termasuk Ponpes terhadap kemajuan negara!"
Secara negara saat ini menganut sistem Kapitaliisme sehingga perannya hanya sebagai regulator. SDA banyak dikuasai aseng dan asing. Jadilah negara miskin, jangankan untuk menanggung beban Ponpes yang begitu banyak, untuk sekedar membayar bunga utang saja tanpa malu memeras rakyat lewat pajak. Jadi siapa biang keladinya? Dialah sistem dzalim kapitalisme.
Seandainya negara mau menerapkan sistem Islam, tentu ceritanya tidak seperti sinetron Indosiar yang penuh air mata, tidak pula seperti film India dimana negara tampil di akhir sebagai pahlawan kesiangan. Tidak! Dengan menerapkan sistem Islam negara akan berjaya dan disegani oleh negara lain. Negara akan mampu mensejahterakan rakyat termasuk Ponpes.
Sebab dalam sistem Islam, SDA dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara yang menerapkan sistem Islam mempunyai banyak pemasukan sehingga mampu mensejahterakan rakyatnya. Dalam sistem Islam, pendidikan dan kesehatan menjadi tanggung jawab negara sehingga negara akan berupaya untuk melaksanakan kewajibannya itu, salah satunya dengan menyediakan sekolah dan Ponpes berikut semua fasilitas yang dibutuhkan. Rasulullah Saw. bersabda, “Khalifah adalah pengurus urusan rakyat dan ia bertanggung jawab terhadap urusan mereka.” (HR. Bukhari).
Karakter peduli ini meniscayakan negara ketika dalam pembangunan infrastruktur pendidikan akan melibatkan para ahli konstruksi. Bukan hanya membangun infrastruktur yang indah dan megah, tapi juga kokoh; dengan teknologi terkini yang mewujudkan keamanan, kenyamanan, dan kesehatan bagi proses belajar-mengajar; serta dilengkapi berbagai fasilitas lainnya, seperti perpustakaan dengan referensi yang memadai, juga tempat belajar yang memiliki halaman atau taman indah sebagai tempat istirahat dan diskusi bagi para pelajar.
Negara pun akan bertanggung jawab penuh dalam mengupayakan dan mewujudkan kebutuhan infrastruktur pendidikan yang kuat/kokoh yang tidak membahayakan para pelajar. Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain.” (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, dan lainnya).
Negara juga akan menyediakan asrama bagi siswa atau santri yang jauh berikut uang saku agar mereka fokus dalam menuntut ilmu. Dan yang tak kalah penting, negara menggaji guru ngaji dan guru sekolah dengan layak bahkan lebih tinggi dari gaji dan tunjangan DPR pada sistem kapitalisme. Hal ini menjadikan guru akan fokus dalam mengajar sehingga akan tercetak generasi cemerlang pemimpin peradaban. Guru tidak akan dibebani oleh administrasi yang rumit.
Guru dan orang tua/wali tidak akan dibebani biaya untuk reparasi bangunan. Tidak akan juga ada waktu belajar yang terpaksa diganti dengan kegiatan "nguli" seperti yang terjadi di Ponpes dan sekolah dalam sistem Kapitaliisme. Itulah sebabnya tampuk kekuasaan tidak hanya beredar pada keturunan itu-itu saja sebab calon pemimpin masa depan begitu banyak dan mumpuni.
Demikianlah sistem Islam mampu mengatasi semua masalah termasuk masalah ambruknya Ponpes Al Khoziny. Bukan dengan saling melempar tanggung jawab apalagi menjadikan korban sebagai tersangka demi untuk menutupi kesalahan fatal. Sudah saatnya kita mengganti sistem rusak kapitalisme dengan sistem Islam yang terbukti selama 13 abad menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar