Fatherless Jadi Luka Mendalam, Apa Solusinya?


Oleh : Demaryani, S.Pd (Aktivis Muslimah Purwakarta)

Fatherless jadi fenomena luka innerchild yang trending belakangan ini, disebutkan Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara dengan angka fatherless tertinggi, bahkan hal ini jadi persoalan serius yang mengancam masadepan generasi.

Dilansir dari Kompas, berdasarkan data BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) Oktober 2025, sekitar 20,9 anak Indonesia hidup dan tumbuh tanpa peran aktif pengasuhan ayah. Jumlah ini setara dengan 15,9 juta anak dari keseluruhan 79,4 juta anak dibawah usia 18 tahun, ini berarti seperlima anak Indonesia mengalami fatherless, tumbuh tanpa sentuhan pengasuhan ayah. Jumlah yang fantastis, deretan angka yang bukan hanya statistik belaka, namun bukti retaknya strukturisasi keluarga ditengah derasnya arus kehidupan dan pengasuhan modernisasi. (tagar.co. 8 oktober 2025)

Generasi fatherless tidak lahir dari ruang hampa. Ini bukan sekadar kesalahan individu, melainkan dampak langsung dari sistem hidup kapitalisme-sekularisme yang menyingkirkan nilai agama dari tatanan kehidupan. Dahsyatnya, fenomena ini telah menjadi isu sosial yang memantik perhatian sejagat umat, menuai banyak respon dan mulai dikaji secara serius oleh para ahli diberbagai bidang. Artinya isu ini telah berkembang jadi isu multidimensional, yang menyasar keberbagai segmen kehidupan. bukan hanya lingkup domestik, tapi lebih jauh merembet ke isu sosial, ekonomi, bahkan budaya. Begitu dahsyat dampak kerusakannya, mengapa demikian? apa penyebabnya?


Dahsyatnya Damage Fatherless Era Sekuler-kapitalis

In a facts, deretan kasus ini bukan secara harfiah kehilangan sosok ayah secara fisik, namun ayah seperti kehilangan fungsional, emosional dan perannya dalam keluarga, yakni absen dalam pola pengasuhan tadi. Tentu, hal ini beterkaitan erat dengan sistem ekonomi kapitalise-sekularisme yang diterapkan hari ini.

Dampak sosial dan ekonomi itu sendiri, berkaitan dengan tuntutan sistem kerja ekonomi kapitalis, yang memaksa ayah bekerja sepanjang hari, bahkan sampai berbulan-bulan demi terpenuhinya ekonomi keluarga, demi bisa berpenghasilan hidup wajar dan layak. 

Kapitalisme, menjadikan materi sebagai lambang dan tolak ukur kesuksesan. Lagi-lagi ini yang akhirnya menjerumuskan ayah untuk terus bekerja tanpa henti, demi mewujudkan kesuksesan ditengah keluarga, atau bahkan sekedar untuk menutupi kebutuhan hidup saja. Tekanan ekonomi yang tinggi membuat ayah absen secara emosional dan spiritual, walaupun hadir secara fisik. Kondisi ini diam-diam tertimbun menumpuk jadi luka innerchild yang mendalam, traumatik dan kesedihan bagi generasi, anak-anak jadi kehilangan sosok pemimpin untuk diteladani.

Didukung budaya hedonistik yang menganggap sumber kebahagiaan hidup adalah materi, bukan hubungan harmonis keluarga. Akibatnya, waktu bersama keluarga kian menipis, relasi emosional merenggang, dan anak kehilangan sosok teladan untuk diteladani.

Belum lagi dampak langsung dari sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, secara tidak sadar menyingkirkan dan mencabut nilai-nilai Syariat Islam dalam pola pengasuhan keluarga. Ternyata kerusakan kecil ini, membawa dampak besar yang mengakibatkan rapuhnya struktur keluarga, minim panduan moral syariat yang mengatur keseimbangan hubungan antar anggota keluarga, akhirnya melahirkan generasi yang kehilangan fungsi ayah dalam keluarga alias fatherless generations. 

Artinya, jika ditelisik lebih jauh, isu fatherless ini tidak lahir karna keegoisan dan kesalahan individu. Namun faktanya, isu dan masalah yang mencuat ini buah dari diembannya sistem kapitalis-sekularis hari ini. Ngerinya sistem ini juga yang menyebabkan negara gagal menjamin kesejahteraan rakyat. Didukung dengan arahan orientasi hidup yang ditujukan hanya pada materi, bukan pada nilai-nilai keluarga, sehinga ayah lalai dalam menunaikan tugas mendidik dan memimpin keluarga, dari sinilah fatherless tumbuh subur di berbagai belahan negara penganut sistem kapitalis-sekuleris.


Fatherless dan Hilangnya fungsi Qawwamah

Ayah yang kehilangan kendali dan fungsional syariat Islam, dan peran dasarnya sebagai Qawwamah, tentunya menyebabkan permasalahan utama rapuhnya ikatan keluarga. Sedangkan kedudukan ayah sendiri sebagai Qawwamah dalam institusi keluarga, Allah validasi dengan jelas dalam Qs. An-nisa : 34.
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” artinya, ayah sebagai penanggung kebutuhan keluarga, atau pemberi nafkah, pelindung keluarga, memberi rasa aman secara fisik, fsikologis dan spiritual serta memastikan keluarga berada dalam kebaikan dan ketenangan. Peran krusial inilah yang hilang pada hari ini, lagi-lagi sistem ekonomi kapitalis-lah yang memaksa ayah berada dalam kondisi ini. 

Namun, di era sekuler-liberal saat ini, konsep qawwamah memudar. Gagasan kesetaraan gender yang kabur menempatkan ayah dan ibu seolah harus berbagi peran sama, hingga melemahkan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga. Akibatnya, banyak ayah kehilangan peran, dan anak pun kehilangan arah moral serta rasa aman. Mereka mencari figur pengganti di luar rumah—di dunia maya, teman sebaya, atau idola yang belum tentu memberi teladan.

Diperparah dengan suburnya budaya sekuler-liberal, konsep qawwamah memudar. Gagasan kesetaraan gender yang kabur menempatkan ayah dan ibu seolah harus berbagi peran sama, hingga melemahkan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga. Akhirnya ayah cenderung pasif, karena hampir pupusnya esensi kepemimpinan seorang laki-laki dalam rumah tangga. Hasilnya, anak kehilangan rasa aman dan kiblat moralitas, sehingga mencari perlindungan diluar rumah kepada teman, mediasosial, atau idola yang belum tentu memberikan teladan baik bagi generasi. 


Cara Islam menuntaskan Fatherless

Dalam Islam, peran ayah dan ibu sama-sama penting namun berbeda fungsi. Ayah sebagai pemimpin, penafkah, dan teladan spiritual, ibu sebagai pendidik, pengasuh, dan pencipta sakinah. Kisah Luqman mengajarkan bagaimana ayah menanamkan tauhid, kesabaran, dan akhlak pada anaknya, sedangkan peran ibu ditegaskan dalam QS. Luqman: 14 sebagai sosok pengasuh penuh kasih sejak kandungan hingga masa menyapih. Jika kedua peran ini berjalan harmonis, niscaya lahir generasi beriman, berakhlak, dan jauh dari krisis fatherless.

Ini berarti, peran seorang Ibu juga sangat krusial sebagai pembentuk karakter dan kasih sayang anak, menjadi pengatur rumah tangga, pencipta sakinah dan madrasah pertama anak-anaknya. Demikian Islam mengatur peran ayah dan ibu agar senantiasa saling melengkapi dan beriringan, bukan untuk saling menggantikan. Jika kedua fungsional ini berjalan dengan semestinya dalam keluarga, maka akan tumbuh generasi yang beriman, berakhlak dan jauh dari isu Fatherless society.
 

Pentingnya Peran Negara

Tanggung jawab keluarga tak bisa dipisahkan dari peran negara. Dalam sistem Islam, negara bukan hanya mengatur urusan politik dan ekonomi, tapi memastikan setiap kepala keluarga mampu menunaikan amanahnya. Negara menjamin kebutuhan dasar rakyat—pekerjaan halal yang mudah diakses, upah adil sesuai kebutuhan, serta jaminan sosial bagi yang kurang mampu. Dengan demikian, ayah tidak perlu bekerja berlebihan hingga kehilangan waktu bersama keluarga.

Rasulullah Saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, negara Islam wajib memastikan kesejahteraan agar ayah bisa menjalankan fungsi qawwam-nya secara utuh. Negara akan menutup celah ketimpangan, menghapus riba, monopoli, dan privatisasi kekayaan alam. Kekayaan dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan segelintir elite, pengelolaan sumber daya alam diperuntukan kesejahteraan rakyat.

Sistem Islam akan menghadirkan dan menjamin peran ayah yang hilang ini, kembali terlaksana dan utuh untuk keluarga dan generasi. Anak yang kehilangan orangtuanya, akan tetap mendapatkan kasih sayang, bimbingan, perlindungan dan perhatian yang tulus yaitu dengan sistem perwalian. Menjamin perlindungan fisik, finansial dan spiritual, menghadirkan kasih sayang dan keteladanan. Misalnya perwalian bagi anak kecil yang belum baligh dikarenakan yatim, perwalian dalam urusan pernikahan, dan juga perwalian dalam urusan mengelola harga anak yatim atau orang yang tidak mampu, nmenjadi pelindung dan penanggung jawab bagi anak-anak yang kehilangan walinya.


Penutup

Maka, akar persoalan fatherless bukan pada ayah semata, tapi pada sistem sekuler-kapitalis, sistem rusak yang menjauhkan manusia dari tuntunan syariat. Hanya dengan kembali pada sistem Islam secara sempurna, yang menegakkan peran keluarga, menata ekonomi adil, dan menjamin kesejahteraan rakyat, fungsi ayah sebagai qawwam akan hidup kembali. Saat itulah luka batin generasi bisa sembuh, dan keluarga Muslim kembali menjadi tempat lahirnya generasi beriman dan tangguh. Wallahu alam bish-shawwab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar