Dari Sekularisme ke Krisis Keluarga: Kita Sedang Kehilangan Pegangan


Oleh: Dini Koswarini

Malam itu di Malang, warga dikejutkan oleh penemuan mayat perempuan di kebun tebu. Ia ternyata istri siri yang dibakar dan dikubur oleh suaminya sendiri setelah pertengkaran hebat. Beberapa hari berselang, di Pacitan, seorang remaja 16 tahun membacok nenek angkatnya hanya karena tersinggung disebut 'cucu pungut'. (Beritasatu, 16/10/2025) 

Di Grobogan, seorang pelajar SMP meninggal dunia akibat dikeroyok teman-temannya di sekolah. (Beritaone, 13/10/2025) 

Sementara di Dairi, seorang ayah tega mencabuli anak kandungnya puluhan kali. (Kompas, 18/10/2025)

Kasus-kasus ini bukan sekadar deretan berita kriminal yang kita baca sambil mengernyitkan dahi, namun ini adalah potret nyata betapa rapuhnya fondasi keluarga dan moralitas masyarakat kita hari ini.

Menurut laporan GoodStats, hingga September 2025 jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia sudah menembus 10.000 perkara. Angka itu hanya yang tercatat, belum termasuk yang tak pernah dilaporkan karena korban takut, malu, atau merasa percuma. Ketika rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru menjadi sumber luka, maka bisa dipastikan ada yang salah dalam cara kita membangun kehidupan keluarga dan masyarakat.

Jika ditelusuri, masalah ini tidak berdiri sendiri. Sekularisme yang telah lama menyingkirkan nilai agama dari kehidupan membuat keluarga kehilangan pijakan spiritual. Banyak keluarga modern hidup dalam orientasi duniawi hanya berputar pada karier, pencapaian, atau gengsi sosial, sementara nilai takwa, kesabaran, dan tanggung jawab moral kian pudar. Akibatnya, ketika tekanan hidup datang, keluarga mudah goyah. Pertengkaran kecil bisa berujung kekerasan, dan anak-anak tumbuh dalam lingkungan emosional yang tidak stabil.

Sistem pendidikan sekuler-liberal juga berperan dalam membentuk pola pikir yang serba bebas tanpa batas. Remaja diajarkan untuk 'jadi diri sendiri', tetapi lupa diajarkan makna tanggung jawab dan kendali diri. 

Akibatnya, ketika dihadapkan pada konflik atau ejekan, mereka memilih jalan pintas yakni melawan, menyerang, bahkan melukai. Kita menyaksikan generasi yang pintar secara akademik, tetapi miskin empati dan rapuh dalam menghadapi tekanan sosial.

Di sisi lain, materialisme membuat kebahagiaan keluarga diukur dari hal-hal yang kasat mata seperti harta, gaya hidup, atau validasi sosial. Sedikit tekanan ekonomi bisa jadi pemicu pertengkaran. 

Sementara negara tampak sibuk memadamkan api, bukan memperbaiki sumbernya. Sebab meskipun ada UU seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang mengatur sanksi bagi pelaku KDRT, data menunjukkan bahwa kekerasan tetap tinggi.

Padahal, akar persoalan ini sejatinya menyentuh aspek paling mendasar dari kehidupan yakni nilai, pendidikan, dan sistem sosial. Untuk keluar dari lingkaran ini, kita perlu kembali kepada konsep pendidikan dan kehidupan yang berbasis nilai ketakwaan. 

Pendidikan Islam, misalnya, tidak hanya menanamkan pengetahuan duniawi, tetapi juga membentuk kepribadian bertakwa, berakhlak, dan berempati. Di dalam keluarga, syariat Islam mengatur peran suami-istri secara adil dan proporsional. Bagaimana suami sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, istri sebagai penopang dan pendidik generasi. Dengan tatanan ini, kekerasan dapat dicegah sebelum terjadi, karena keluarga berdiri di atas prinsip kasih sayang, bukan kekuasaan.

Negara juga harus hadir bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi sebagai pelindung (raa’in) yang menjamin kesejahteraan rakyat. Ketika kebutuhan dasar terpenuhi, tekanan hidup berkurang, dan keadilan ditegakkan, maka ruang bagi kekerasan pun menyempit. 

Selain itu, hukum dalam pandangan Islam tidak sekadar menghukum, tetapi juga mendidik. Sanksi yang ditegakkan berfungsi memberi efek jera sekaligus membentuk kesadaran masyarakat agar hidup sesuai dengan nilai syariat. 

Dengan pendekatan yang holistik (pendidikan, ekonomi, keluarga, dan hukum) masyarakat bisa kembali menemukan keseimbangan. Keluarga yang kuat akan melahirkan generasi yang kuat, dan dari sanalah akar kekerasan sosial dapat dicabut.

Singkatnya, maraknya kekerasan rumah tangga dan perilaku remaja yang menyimpang bukan hanya masalah moral individu, tapi cerminan dari sistem yang kehilangan arah nilai. 

Jika kita ingin memutus rantai kekerasan ini, maka jalan satu-satunya adalah mengembalikan peran agama dan nilai ketakwaan ke jantung kehidupan yakni di rumah, di sekolah, dan di kebijakan negara. Hanya dengan itu, keluarga akan kembali menjadi tempat tumbuhnya kasih, bukan luka, dan remaja bukan lagi pelaku kekerasan, melainkan penerus peradaban yang beradab.

Wallahu a'lam bisshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar