Oleh : Rohmah.SE.Sy
Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan kerugian negara yang mencapai ratusan triliun rupiah akibat operasi tambang ilegal dari enam perusahaan besar. “Kita bisa bayangkan kerugian negara dari enam perusahaan ini saja, total potensi kerugian mencapai Rp300 triliun,” ujarnya dalam pernyataannya yang disiarkan publik. (Tempo.com, 7/10/2025)
Angka fantastis tersebut menggambarkan betapa bobroknya sistem pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Indonesia adalah sebuah negara yang dijuluki sebagai negara yang “kaya sumber daya alam”, namun mirisnya rakyat tetap berada dalam garis kemiskinan, sementara segelintir korporasi dan elit politik justru menumpuk keuntungan besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi maupun tata kelola tambang di Indonesia masih dikuasai oleh paradigma kapitalisme di mana kepemilikan umum dapat dikuasai oleh individu ataupun korporasi dengan menggunakan dalih investasi.
Dalam hal ini bukan hanya kerugian ekonomi yang ditimbulkan, tapi juga termasuk kerusakan lingkungan, konflik sosial dengan masyarakat setempat, serta ketimpangan ekonomi yang semakin mendalam. Sementara rakyat di daerah tambang justru menjadi penonton yang menanggung dampak buruknya, diantaranya adalah air tercemar, hutan rusak, dan jalan rusak berat oleh kendaraan tambang. Sementara pihak swasta justru meraup keuntungan tanpa batas.
Jika ditelusuri lebih dalam, akar dari persoalan ini bukan semata karena “oknum nakal” atau lemahnya pengawasan pemerintah, tapi karena sistem yang digunakan, yakni sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ini, sumber daya alam dipandang sebagai komoditas ekonomi yang bisa dimiliki dan dieksploitasi oleh individu atau perusahaan. Negara hanya berperan sebagai regulator dan pemungut pajak, bukan pengelola langsung atas kekayaan publik tersebut.
Sitem kapitalisme melahirkan relasi korup antara penguasa dan pengusaha. Kekuasaan menjadi alat untuk melanggengkan kepentingan ekonomi segelintir elit. Hukum bisa dibeli, izin bisa dinegosiasikan, akibatnya, kebijakan selalu berpihak pada investor dan kepentingan rakyat menjadi nomor sekian. Dibalik janji “pembangunan ekonomi”, sesungguhnya terjadi penyerahan kekayaan rakyat kepada para kapitalis, baik lokal maupun asing. Itulah mengapa selama sistem ini masih digunakan, maka tambang ilegal, monopoli sumber daya, dan kebocoran keuangan negara akan terus berulang dalam siklus yang sama.
Sebagaimana diketahui, sebelum Persis, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah lebih dahulu menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang. Alasan ketiga ormas Islam tersebut tidak jauh berbeda. Sebagaimana Persis, Muhammadiyah, misalnya, berkomitmen memperkuat dan memperluas dakwah dalam bidang ekonomi, termasuk pengelolaan tambang yang sesuai dengan ajaran Islam. Seolah tidak mau ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengaku tengah mengkaji kemungkinan untuk turut mengelola usaha pertambangan dari Pemerintah.
Tiga Macam Kepemilikan dalam Islam
Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, ada tiga jenis kepemilikan dalam Islam, yakni kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah), kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘âmmah), dan kepemilikan negara (al-milkiyyah ad-dawlah) (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 69–70).
Hakikat Kepemilikan Umum
Dalam pandangan Islam, barang tambang dalam jumlah besar hakikatnya adalah bagian dari milik umum/rakyat (al-milkiyyah ‘âmmah). Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang menyatakan, “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Para ulama sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, serta padang rumput adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang.
Di sisi lain, ternyata Rasulullah saw. membolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Ini berarti berserikatnya manusia atas air itu bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya, yakni dibutuhkan oleh orang banyak. Ini juga berlaku bagi padang rumput (termasuk hutan) dan api (termasuk energi). Dengan kata lain, berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadis di atas karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat secara keseluruhan. Sifat ini merupakan ‘illat istinbâth[an] atas perserikatan manusia dalam ketiga hal itu.
Dengan demikian, apa saja (air, padang rumput, api, sarana irigasi, jalan raya, jalan tol, pantai dan lautnya, dll.) yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum adalah milik umum dan manusia berserikat di dalamnya. Perserikatan di sini bermakna kebersamaan dalam pemanfaatan. Dalam arti, semua itu harus dirasakan manfaatnya oleh semua anggota masyarakat. Tidak boleh dikuasai dan dirasakan manfaatnya oleh seseorang atau sebagian saja.
semua yang dibutuhkan oleh masyarakat atau merupakan fasilitas publik (marâfiq al-jamâ’ah)—tidak hanya air, padang rumput, dan api—adalah termasuk dalam kepemilikan umum. Dari sini lahirlah kaidah kulliyyah, “Setiap apa saja yang keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat adalah milik umum.”
Selain itu ada kaidah, “Hukum itu bergantung pada ada atau tidaknya ‘illat-nya."
Berdasarkan kaidah ini, apa saja yang dibutuhkan oleh publik (marâfiq al-jamâ’ah) terkategori sebagai milik umum. Sebaliknya, jika bukan marâfiq al-jamâ’ah, meskipun tercantum dalam hadis tersebut, tidak terkategori sebagai milik umum sehingga boleh dimiliki oleh individu.
Contoh barang yang termasuk dalam kepemilikan umum—selain air, padang rumput (termasuk hutan), dan api (termasuk energi seperti minyak, gas, listrik, batu bara, dll.)—adalah semua barang tambang seperti emas, perak, tembaga, nikel, dll. Semua yang termasuk milik umum ini haram dimiliki atau dikuasai oleh individu, swasta, apalagi asing. Tidak boleh pula penguasaannya diserahkan kepada ormas.
Dalam hadis lain Rasulullah saw. bersabda, “Dari Abyadh bin Hammal, ia pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dirinya. Beliau lalu memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh bin Hammal ra. telah pergi, ada seseorang di majelis itu yang berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sungguh Anda telah memberi ia sesuatu yang seperti air mengalir (al-mâ’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan At-Timidzi).
Hadis ini makbul dengan banyaknya jalan (katsrah ath-thurûq) karena memenuhi persyaratan minimal sebagai hadis hasan (lihat Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzî, 4/9). Hadis tersebut merupakan dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Tidak boleh dimiliki oleh individu (Syekh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 54–56).
Alasannya, dalam hadis tersebut Rasulullah saw.—yang sekaligus sebagai kepala Negara Islam di Madinah saat itu—menarik kembali tambang garam yang sempat beliau berikan kepada Abyadh bin Hammal ra.. Hal itu beliau lakukan setelah beliau tahu bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah. Dengan demikian, Rasulullah saw. ingin menegaskan bahwa tambang garam yang depositnya melimpah tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu karena merupakan milik umum.
Ketentuan ini berlaku bukan hanya untuk tambang garam saja seperti dalam hadis di atas, tetapi berlaku pula untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Ini karena larangan tersebut didasarkan pada adanya ‘illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadis tersebut, yakni “seperti air yang mengalir”. Dengan demikian, semua barang tambang yang jumlahnya “seperti air yang mengalir” (depositnya melimpah) tidak boleh dimiliki oleh individu, termasuk oleh swasta dan asing.
Imam Ibnu Qudamah berkata, “Adapun barang tambang yang melimpah seperti garam, minyak bumi, dan air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Dalam hal ini ada dua riwayat. Namun, yang lebih kuat adalah tidak boleh seseorang memiliki barang tambang yang melimpah tersebut (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/131).
Wajib Dikelola oleh Negara
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa semua tambang yang depositnya besar haram dikuasai oleh pribadi-pribadi, swasta, dan asing, termasuk tidak boleh dikuasai oleh ormas. Semua tambang tersebut wajib dikelola oleh negara. Seluruh hasilnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat. Kalaupun dalam pengelolaannya negara melibatkan pribadi-pribadi, swasta, dan asing, termasuk ormas, mereka semua hanya boleh menjadi mitra pelaksana (operator) yang dikontrak. Bukan diberi konsesi, penguasaan, atau hak kepemilikan atas tambang-tambang tersebut.
Dengan demikian, yang semestinya dilakukan oleh ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, MUI, dll. adalah mendorong negara untuk mengambil alih kembali semua tambang yang selama ini diberikan kepada oligarki swasta dan asing, yang terbukti sebagian besar hasilnya hanya dinikmati oleh mereka saja. Ormas-ormas Islam seperti NU, Muhamadiyah, Persis, MUI, dll. wajib memaksa negara untuk mengelola semua tambang yang depositnya besar semata-mata demi kepentingan dan kemaslahatan seluruh rakyat. Bukan malah terlibat dalam penguasaan dan pengelolaan tambang tersebut yang hasilnya pun tentu hanya bisa dinikmati oleh organisasi dan jemaahnya saja.
Alhasil, ormas-ormas Islam seharusnya tidak tergoda untuk terlibat dalam penguasaan dan pengelolaan tambang apa pun. Apalagi ke depannya, pengelolaan tambang oleh ormas-ormas Islam berpotensi menjadi jebakan dan perangkap politik bagi mereka. Sebaliknya, ormas-ormas Islam seharusnya tetap fokus, tegak lurus, dan istikamah di jalan amar makruf nahi mungkar, terutama mengoreksi berbagai kebijakan negara yang melenceng dari syariat Islam, termasuk dalam pengelolaan tambang yang selama ini sangat kapitalistik, liberal, dan ugal-ugalan. Kebijakan negara yang melenceng dari syariat dalam pengelolaan tambang tersebut terbukti hanya memperkaya oligarki, aseng, dan asing. Akibatnya, di tengah kekayaan barang tambang yang amat berlimpah ruah di negeri ini, rakyat kebanyakan tetap miskin. Sesungguhnya rakyatlah pemilik semua tambang yang ada, termasuk sumber daya alam lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Allah Swt. berfirman, “Hendaknya ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebaikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah kaum yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar