Oleh: Sofia Abdullah
Fatherless, fenomena teranyar yang sedang menghantam generasi umat. Ketiadaan sosok ayah dalam tumbuh kembang anak sedang ramai digaungkan. Bukan tanpa sebab, beragam kerusakan karakter, tata nilai dan norma bahkan pelanggaran aturan yang dilakukan generasi muda disinyalir bermuara di satu titik yang menjadi salah satu faktor yang ikut berkontribusi atas kerusakan tersebut. Yakni tidak adanya sosok serta peran ayah dalam kehidupan mereka. 
Tak tanggung-tanggung, efek yang disebabkan dari fenomena fatherless ini menghantam berbagai sisi kehidupan anak manusia mulai dari fisik, emosional bahkan psikologis. Data hasil survey yang dilakukan tim jurnalis data harian kompas kepada 16 psikolog klinis di 16 kota yang berbeda di Indonesia menunjukkan fakta yang mencengangkan. Data hasil survey tersebut menyatakan fatherless menyebabkan tidak adanya kepercayaan diri, ketidakstabilan emosi dan mental, sulit berinteraksi sosial, motivasi akademik yang rendah, kepribadian tidak matang hingga mengantarkan kepada perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja, narkoba, minum minuman keras, tawuran bahkan sex bebas.
Yang lebih mencengangkan data yang dirilis UNICEF (2021) menyebutkan bahwa sekitar 20.9 persen alias seperlima anak Indonesia mengalami fatherless. Sementara data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada Maret 2024, menyebutkan sebanyak 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah (fatherless). Yaitu 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah, dan11,5 juta sisanya tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 12 jam per hari. Wajar jika kemudian lahir berbagai macam masalah yang pelakunya diantaranya para remaja, anak muda dan mereka yang kehilangan sosok ayahnya.
Ternyata, sosok dan peran ayah dalam unit kehidupan terkecil umat (keluarga) memiliki peran signifikan dalam pembentukan jiwa dan karakter anak. Ayah sebagai qowwam (pemimpin) keluarga tak hanya memiliki tanggung jawab menyediakan sandang, pangan dan papan. Tetapi juga menjadi tempat bernaung, tempat yang tepat untuk meniru, menyerap contoh cara berkehidupan, tempat bertukar pikiran, bahkan tempat mencurahkan perasaan. 
Berbeda dengan sosok ibu yang selalu ada hampir di setiap momen kehidupan. Sosok ayah yang hanya bisa ditemui di waktu yang cenderung terbatas menjadikan apa yang disampaikannya menjadi begitu berkesan bahkan menjadi pondasi aturan kehidupan. Jika hal ini tidak ada, maka bak burung yang patah sebelah sayapnya hanya akan menghasilkan ruang kosong dalam jiwa yang memicu kegelisahan bahkan permasalahan.
Namun tanggung jawab yang kompleks untuk menjadi qawwam dalam keluarga seringkali teralihkan dan hanya terfokuskan kepada satu hal saja, yakni pemenuhan nafkah. Bukan hal yang mudah bagi seorang ayah bisa mencari dan memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih di tengah gencatan sistem ekonomi kapitalistik yang hanya memberi ruang bernafas bagi mereka yang berharta dan bertahta. Minimnya upah, sulitnya lapangan kerja tak ayal menjadi tekanan tersendiri yang membuat energi dan ruang gerak sosok ayah habis dilibas urusan nafkah. Tak sedikit yang harus tinggal berjauhan dengan keluarga (long distance marriage) yang sekaligus menjadi jembatan lahirnya fatherless dalam keluarga.
Di sisi lain gempuran sistem ekonomi kapitalis membentuk sosok orang tua terutama ayah cenderung fokus hanya pada mengejar materi sehingga mengabaikan hubungan serta komunikasi dengan keluarga. Sistem hubungan transaksional ketika ayah merasa sudah selesai tugasnya dalam menunaikan kewajiban hanya dengan mampu memenuhi berbagai kebutuhan. Lalu abai dengan kewajiban lainnya yang menjadi gerbang lebar kasus fatherless di keluarga.
Sistem kehidupan sekuler yang diadopsi di Indonesia juga memberikan kontribusi atas lepasnya tanggungjawab orang tua terkhusus ayah kepada keluarganya. Pemisahan agama dari kehidupan menjembatani terealisasinya kehidupan tanpa arah serta tanpa panduan yang jelas. Termasuk di dalamnya sosok ayah yang bahkan bisa sampai tidak tahu hak serta kewajibannya sebagai seorang pemimpin keluarga. Hal ini pun berlaku bagi sang anak juga anggota keluarga lainnya yang kemudian tak tahu arah kehidupan. Cenderung mengikuti hawa nafsu tak ada pijakan serta rem untuk mengatur kehidupan sehingga hanya mengarah pada aktivitas-aktivitas yang merugikan. Lengkaplah sudah permasalahan
Panduan kompleks sistem ekonomi kapitalis serta sistem kehidupan sekuler menjadi ramuan manjur untuk bisa membius sekaligus menindas sistem kehidupan yang jelas melahirkan berbagai kerusakan dan kehancuran. Kasus fatherless hanya sebagian kecil dari sekian banyak kerusakan kompleks yang terjadi di tengah kehidupan manusia. Benarlah apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa taala dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 85:
اَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتٰبِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍۚ فَمَا جَزَاۤءُ مَنْ يَّفْعَلُ ذٰلِكَ مِنْكُمْ اِلَّا خِزْيٌ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يُرَدُّوْنَ اِلٰٓى اَشَدِّ الْعَذَابِۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ ٨٥
Artinya: "Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." (Q.S. Al Baqarah: 85)
Sulitnya kehidupan, rumitnya proses mencari nafkah, gagal berkomunikasi dan mendidik anak, anak yang rusak fisik mental serta emosionalnya hanyalah segelintir dari "hizyun" alias kenistaan buah dari melalaikan aturan Allah SWT. Jika tak segera kembali dan bernaung menggunakan aturan Allah maka asyadzil 'adzab siap menanti di hari pembalasan. Nauzubillah.
Cukuplah Islam sebagai tuntunan kehidupan. Aturan Islam bukan hanya memperjelas langkah seorang ayah dengan panduan wahyu tentang apa dan bagaimana menjadi pemimpin dalam keluarga. Tapi menyediakan ruang sistem yang menjamin, membantu bahkan bertanggungjawab baik duniawi maupun ukhrowi dalam pelaksanaan segala aspek kepemimpinannya atas keluarganya.
Sudah amat jelas tugas dan kewajiban seorang ayah yang ditentukan dalam syari'at. Ayah berposisi sebagai qowwam yang bertanggungjawab bukan hanya urusan pemenuhan kebutuhan hidup di dunia. Tapi bertanggungjawab atas sampainya keluarga serta anak keturunannya kepada satu titik tujuan utama yakni menggapai ridho Allah SWT. Transaksi yang terjadi bukan antara ayah dengan anggota keluarga tapi mutlak antara ayah dengan Allah SWT. Tanggungjawab yang tumbuh menjadi kokoh dan kuat dilatarbelakangi dengan keimanan yang ditumbuhkan dan dipupuk dengan sebenar-benarnya keyakinan (tashdiqul jazm). Bukan dikte apalagi doktrin. Sehingga akan sangat bisa meminimalisir kecenderungan untuk melalaikan kewajiban apalagi lari begitu saja dari kewajiban.
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا ٩
Artinya: "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (Q.S. An Nisa: 9).
Lebih dari itu, Islam menyajikan sistem perekonomian yang menjamin kesejahteraan. Tidak akan ada cerita manusia harus peras keringat dan banting tulang hanya untuk bisa memberikan sesuap nasi bagi keluarganya. Bagaimana tidak, sistem Islam amat sangat detail mengatur pengelolaan harta milik umat seperti barang tambang. Hasilnya sepenuhnya dikembalikan untuk kesejahteraan umat. Jika negara tercinta Indonesia yang kaya raya ini menggunakan sistem Islam, harta kekayaan alam dikelola dengan sistem Islam oleh negara tidak diberikan kepada perorangan alias swasta seperti sekarang ini, sudah barang tentu hasilnya akan sangat berlimpah dan akan sangat mampu menopang kebutuhan pokok seluruh rakyatnya, bukan hanya urusan sandang pangan dan papan tapi sampai pada jaminan pendidikan dan kesehatan.
Semua dilatarbelakangi kualitas manusia yang beriman, yang bertransaksi langsung dengan Tuhannya, yang hanya takut akan Tuhannya. Amat berhati-hati dengan pertanggungjawaban di Yaumil akhir di hadapan Tuhannya. Alhasil tidak ada solusi yang hakiki untuk semua kekacauan yang terjadi selain berserah diri dengan sepenuhnya penyerahan diri. Alhasil tidak ada solusi yang hakiki untuk semua kekacauan yang terjadi selain berserah diri dengan sepenuhnya penyerahan diri.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةًۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ٢٠٨
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (Q.S. Al Baqarah: 208)
Hanya dengan berislam kaaffah segala bentuk kenistaan ini bisa terangkat. Hanya dengan Islam kaaffah segala derita umat ini akan teratasi. Hanya dengan berislam kaaffah manusia akan menjadi sebenar-benar manusia sejati.
Wallahua'lam bish showab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian. 


 
 
 
 
 
 
0 Komentar