Oleh: Maya Rohmah, S.K.M.
Seorang kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, bernama Dini Fitria, dilaporkan ke polisi oleh orang tua murid karena diduga menampar siswa yang ketahuan merokok di area sekolah. Laporan yang dibuat pada Jumat, 10 Oktober 2025 itu kini tengah ditangani Polres Lebak.
Menurut pengakuan Dini, tindakan spontan tersebut terjadi karena rasa kecewa terhadap ketidakjujuran siswa, bukan karena perilaku merokok semata. Meski demikian, insiden ini memicu aksi mogok belajar oleh sekitar 630 siswa yang menuntut kepala sekolah dicopot. Spanduk tuntutan pun sempat dipasang dan kemudian dilepas.
Orang tua siswa, Tri Indah Alesti, memilih menyerahkan kasus ini kepada kuasa hukumnya dan enggan berkomentar lebih jauh. Hingga kini, kasus masih dalam proses penyelidikan pihak kepolisian. Kasus bermula dari siswa yang ketahuan merokok, berujung pada dugaan kekerasan oleh kepala sekolah, laporan polisi, dan aksi protes massal oleh para siswa. Kasus kini masih diselidiki pihak kepolisian. (Metrotvnews.com, 10 Oktober 2025).
Cermin Buram Dunia Pendidikan
Kondisi akhlak siswa hari ini sungguh memprihatinkan. Mereka kerap berulah, tetapi ketika ditegur enggan menerima. Pendidikan yang sekuler membuat mereka tidak takut terhadap dosa, apalagi terhadap siksa neraka. Kenakalan remaja kian beragam, sementara guru tidak boleh bersikap tegas.
Dalam teori Kurikulum Merdeka dan konsep Guru Penggerak, guru dilarang menghukum, membuat siswa merasa bersalah, bahkan menjadi pengontrol. Guru dituntut untuk melakukan restitusi sebelum memberikan reward atau punishment. Teori tersebut diambil dari pemikiran Diane Chelsom Gossen, seorang pakar pendidikan Barat sekaligus penulis buku Restructuring School Discipline.
Padahal, teori pendidikan Barat berakar pada pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Tak heran, guru-guru makin kesulitan mendidik siswa karena pendidikan tak lagi berakar pada keimanan kepada Allah Swt.
Apa pun yang tidak bersumber dari tuntunan Islam bersifat lemah dan tak berbekas dalam pembentukan karakter. Akhirnya, guru dianggap profesi biasa. Sering kali siswa melawan dan enggan tunduk pada nasihat guru.
Refleksi untuk Orang Tua
Tulisan ini bukan untuk membenarkan kekerasan fisik. Tidak ada yang setuju dengan tamparan, apalagi di sekolah. Namun, berterima kasih kepada kepala sekolah bukan berarti membenarkan tindakannya, melainkan menghargai niatnya untuk mendidik.
Sebagai orang tua, mungkin kita perlu lebih jujur dalam bercermin. Alih-alih marah atau melapor polisi, bukankah lebih bijak datang dengan kepala dingin dan berkata, “Terima kasih sudah berusaha mendidik anak saya. Mungkin ada kekurangan dari saya dalam menanamkan nilai di rumah, hingga anak saya berani merokok dan berbohong. Tapi ke depan, mohon jangan lagi dengan cara fisik.”
Guru dan orang tua seharusnya bukan dua pihak yang berhadapan, melainkan dua tangan yang bergandengan untuk membentuk karakter anak. Kalau di rumah anak tidak dibiasakan hormat, di sekolah ia akan sulit belajar taat. Kalau di rumah tidak diajarkan tanggung jawab, di sekolah anak akan mudah menyalahkan orang lain.
Sebelum sibuk mencari siapa yang salah, mari bertanya, sudahkah rumah kita menjadi tempat anak belajar tentang benar dan salah?
Ketika Logika Terbakar Asap Rokok
Mari kita tengok ke arah lain, sang kepala sekolah kini dinonaktifkan. PGRI diam seribu bahasa. Sang ibu siswa masih ngotot melapor polisi. Dan kini muncul seruan satir: “Sekolah bebas merokok.”
Di negeri di mana murid mogok belajar karena ditampar saat ketahuan merokok, siapa sebenarnya yang butuh dibina? Muridnya atau logika para pengambil kebijakan?
Gubernur Banten, Andra Soni, dengan cepat menonaktifkan sang kepala sekolah, seolah memadamkan kebakaran besar yang disebabkan sebatang rokok. Cepat, ya. Tapi apakah tepat? Kalau setiap guru yang menegakkan disiplin dicopot, mungkin sebentar lagi sekolah akan dipimpin oleh Google Form.
Sementara itu, PGRI, yang seharusnya menjadi pembela guru, seakan tenggelam dalam hening. Padahal, Dini Fitria hanyalah guru yang ingin menegakkan aturan di tengah generasi yang kehilangan rasa malu.
Ketika Wartawan dan Masyarakat Salah Fokus
Yang menyedihkan, sebagian media justru menggiring opini. Pertanyaan wartawan saat konferensi pers seolah hanya ingin mendengar pengakuan “Saya tampar.”
Padahal, ibu kepala sekolah telah menjelaskan konteks dan niatnya. Namun, berita seolah sudah disiapkan, hanya butuh pembenaran.
Sementara itu, pesantren dan kiai yang menanamkan adab justru kerap dijadikan bahan olok-olok di televisi. Jadi, model pendidikan seperti apa yang diinginkan masyarakat kita? Yang melahirkan pekerja berpenghasilan tinggi tapi miskin adab?
Ataukah generasi yang berilmu sekaligus beriman?
Islam Menjawab Tantangan Pendidikan
Islam memberikan hak kepada orang tua dan guru untuk mendidik dan memberi sanksi (ta’dib) dalam rangka meluruskan kesalahan anak atau murid. Tujuannya bukan menyakiti, tetapi memperbaiki.
Namun, Islam juga memberi rambu-rambu hukuman harus dilakukan dengan cara yang paling tepat, penuh kasih, dan sesuai kebutuhan. Tidak boleh dilakukan dengan melibatkan murid lain, karena itu berbahaya bagi jiwa dan proses pendidikan.
Guru bukan hanya pengajar, tetapi pendidik dan pembentuk kepribadian. Guru tidak boleh diam melihat kesalahan murid, sebab itu bisa menghancurkan masa depan generasi. Karena itu, guru harus terus semangat mendidik, meluruskan niat bahwa tugasnya bukan sekadar profesi, tapi ibadah mulia yang berpahala besar di sisi Allah Swt.
Kembali ke Sistem Islam
Semua persoalan ini tak akan terjadi jika sistem pendidikan Islam diterapkan secara menyeluruh. Dalam sistem Islam, guru dijamin keamanan dan kesejahteraannya agar fokus mendidik. Islam juga menanamkan budaya takzim kepada guru, bukan semata karena statusnya, tapi karena Allah Swt. memerintahkan untuk memuliakan guru.
Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seseorang dimuliakan kecuali karena memuliakan gurunya.”
Maka, selama sistem sekuler masih jadi dasar pendidikan, kita akan terus menyaksikan ironi: guru yang menegur dianggap salah, siswa yang melanggar justru dibela.
Sudah saatnya kita kembalikan pendidikan kepada Islam, agar guru dimuliakan, murid beradab, dan generasi beriman.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar