Oleh : Ria Nurvika Ginting, SH, MH (Dosen-FH)
Jumlah jurnalis Palestina yang tewas sejak agresi Israel di jalur Gaza telah meningkat menjadi 254 orang, angka ini bertambah setelah gugurnya dua jurnalis yakni Sami Daoud dan Yahya Mohammed Barzaq. Hal ini disampaikan oleh Kantor Media Pemerintahan di Gaza. Sam Daoud merupakan jurnallis Rawafed TV dan Yahya Mohammed Barzaq bekerja untuk sejumlah media lokal lainnya. Kantor media menegaskan bahwa aksi keji ini merupakan bentuk serangan langsung terhadap kebebasan pers dan hak masyarakat dunia untuk mengetahui kebenaran. (Suara Islam.id, 3/10/25)
CPJ juga mencatat angka kematian jurnalis di Gaza dia tahun terakhir ini telah melebihi total kematian jurnalis yang tercatat secara global dalam tiga tahun sebelumnya. Israel telah melarang jurnalis internasional untuk masuk ke Jalur Gaza secara mandiri sejak dimulainya serangan di bulan Oktober 2023. Sehingga media Internasional sangat bergantung pada jurnalis lokal untuk sebagian besar liputan mereka disana. (BBCNewsIndonesia.com, 26/8/25)
Jurnalis dalam Hukum Internasional
Serangan terhadap jurnalis merupakan tindakan ilegal ini bersumer dari perlindungan yang diberikan kepada warga sipil berdasarkan hukum humaniter dan fakta bahwa media bahkan ketika digunakan untuk propaganda tidak dapat dianggap sebagai sasaran militer kecualli dalam kasus-kasus khusus. Dengan kata lain meskipun tidak ada status khusus bagi jurnalis dan peralatan yang mereka gunakan baik jurnalis maupun peralatan mereka mendapatkan perlindungan umum yang dinikmati oleh warga sipil dan objek sipil kecuali jika mereka memberikan kontribusi efektif terhadap aksi militer.
Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Penghormatan Hukum-Hukum Perang serta kebiasaan Perang di Darat (Respecting the Laws and Customs of War on Land) Pasal 13 merupakan salah satu ketentuan internasional yang memberikan perlindungan pada wartawan. Berdasarkan pasal ini maka setiap wartawan yang ditahan oleh pihak yang bertikai maka ia diperlakukan sebagai tawanan perang dengan syarat memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh pimpinan angkatan bersenjata yang mereka ikuti.
Penegasan berikutnya dalam perlindungan terhadap jurnalis di daerah konflik juga diatur dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 yang mengatur tentang perlindungan korban pada situasi perang. Tepatnya dalam sub bagian III Pasal 79 ayat (1), (2), (3). Pada ayat (1) menyebutkan bahwa status wartawan dalam konflik bersenjata harus dianggap sebagai warga sipil. Sedangkan dalam ayat (2) menjelaskan bahwa wartawan akan dilindungi di bawah Konvensi Jenewa dan protokol ini, asalakan mereka tidak mengambil tindakan yang akan mempengaruhi dan memberi kerugian pada orang-orang sipil, dan tanpa mengurangi hak sipil sebagai wartawan perang yang ditugaskan pada angkatan perang. Dalam ayat (3) menjelaskan tentang syarat wartawan agar dapat bertugas dalam konflik bersenjata yaitu wartawan harus memiliki kartu tanda pengenal wartawan yangdikeluarkan oleh pemerintah negara dari mana wartawan itu merupakan warganegara nya atau negara wartawan itu bertempat tinggal atau dimana kantor pemberitaan yang memperkerjakannya berada.
Hukum Perang Islam dan Jurnalis
Islam telah merinci dengan jelas bagaimana pengaturan tentang perang. Islam sejak 14 abad yang lalu telah mengenal perbedaan orang yang turut berperang (Kombatan) dan non-kombatan (warga sipil). Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 190 yang artinya: "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian tetapi jangan melampaui batas.” Ibnu Al-arabi menafsirkan ayat diatas “jangan diperangi kecuali orang yang ikut perang yang sudah dewasa. Adapun wanita dan anak-anak tidak termasuk orang-orang yang berperang.”
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Berangkatlah atas nama Allah, dengan Allah dan atas agama Rasulullah dan jangan membunuh orang tua, anak-anak, perempuan dan jangan melampaui batas..."
Dari kedua dalil ini jelas bahwa wanita, anak-anak, orang tua renta tidak dibenarkan untuk dibunuh. Mereka tergolong penduduk sipil (non-kombatan) yang dilindungi hak-haknya selama peperangan berlangsung. Hak-hak syar’i mereka harus dijamin. Meskipun didalam hukum perang Islam tidak secara eksplisit disebutkan “jurnalis” tapi dari dalil-dalil yang disebutkan diatas “jurnalis” dapat dikategorikan sebagai warga sipil yang tidak turut perang (non-kombatan). Dengan demikian, hak-hak yang harus diperhatikan dari warga sipil juga didapat oleh para jurnalis tersebut ketika mereka berada di daerah konflik perang. Jika dilanggar maka termasuk pelanggaran (tindak kejahatan) dalam perang.
Perlindungan ini hanya dapat terwujud dengan adanya penerapan syariat secara kaffah dalam sebuah institusi negara yakni Daulah Khilafah Islamiyah. Khilafah lah yang akan menjamin tidak hanya jurnalis tapi seluruh umat manusia dalam hal pemenuhan hak-hak syar'i nya baik dalam kondisi damai atau berperang. Khalifah (pemimpin Khilafah) yang akan menyerukan jihad untuk membebaskan saudara-saudara kita di Palestina dan diseluruh dunia.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar