Lalap Tawuran, Mau Heran tapi Ini Medan


Oleh: Marnisa SP

Pendidikan adalah agent of change. Jika ingin melihat masa depan sebuah bangsa, lihatlah sistem pendidikannya. Sudah sekian lama, potret pendidikan sekuler justru memperlihatkan konflik sosial di kalangan remaja, seperti tawuran yang terus berulang. Pertanyaannya, ada apa dengan sistem pendidikan saat ini?

Tawuran di Jalan Pabrik Papan, Medan Labuhan (21/9/2025) menewaskan seorang remaja bernama Fahri Akbar (20). Korban tewas akibat tertembak senapan angin saat bentrokan. Berdasarkan keterangan warga yang dihimpun pihak kepolisian, korban ikut dalam tawuran antarwarga Komplek Lingkungan XIV Kelurahan Pekan Labuhan. Akibatnya, korban terkena tembakan di bagian telinga hingga merenggut nyawanya (medanbisnisdaily.com, 22/09/2025).

Kasus ini menambah panjang daftar tawuran pelajar maupun pemuda di Medan. Tidak sedikit berita yang menunjukkan tawuran berulang hingga menimbulkan luka parah bahkan korban jiwa.

Umumnya, kasus tawuran yang berakhir tragis ini berawal dari hal sepele: saling mengejek, tidak terima teguran, hingga berlanjut adu mulut. Situasi kecil tersebut kemudian membesar menjadi keributan massal dengan melibatkan kelompok masing-masing. Seperti kata pepatah, “tidak ada asap jika tidak ada api.” Tidak ada akibat tanpa sebab. Jika diteliti, penyebab tawuran dapat ditarik ke dua faktor: internal dan eksternal.

Faktor internal adalah lemahnya kontrol diri dan krisis identitas akibat sistem kehidupan sekuler. Remaja tidak lagi melihat dirinya sebagai hamba Allah. Hidup hanya dipandang sebagai ajang bersenang-senang dan mengejar eksistensi materi. Batinnya kosong dari nilai Islam. Akibatnya, lahirlah generasi yang mudah frustrasi, insecure, depresi, dan kehilangan kepercayaan diri. Pendidikan sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan hanya menghasilkan generasi hedonistik, rapuh, dan niradab. Pendidikan hanya mengejar nilai akademik, bukan ilmu agama.

Faktor eksternal terbagi menjadi tiga: keluarga, lingkungan, dan negara.

1. Keluarga memegang peran utama. Jika orang tua mendidik dengan pola sekuler-kapitalistik, maka anak-anak akan tumbuh hanya berorientasi pada kesuksesan duniawi semata.

2. Lingkungan menjadi tempat tumbuh dan berkembang generasi. Maka, masyarakat harus berperan aktif dengan amar makruf nahi mungkar, saling mengingatkan dalam kebaikan, serta menjauhkan remaja dari pengaruh sekuler, kapitalis, dan liberal.

3. Negara berperan besar dalam menentukan arah pendidikan. Negara semestinya menerapkan kurikulum berbasis Islam yang mencetak generasi takwa, menjauhkan remaja dari pemikiran sekuler-kapitalistik, serta berani mengevaluasi, mengoreksi, dan merevolusi sistem pendidikan. Hanya dengan begitu, problem tawuran maupun masalah remaja lainnya dapat diselesaikan secara tuntas.

Maraknya tawuran pelajar sejatinya adalah buah dari sistem kapitalisme-sekuler yang diterapkan di negeri ini. Sistem ini menempatkan pendidikan sebatas kebutuhan ekonomi, bukan sebagai sarana pembinaan akhlak dan kepribadian. Kurikulum yang ada lebih menekankan pada pencapaian materi akademis, sementara aspek pembentukan iman, moral, dan adab justru dipinggirkan. Akibatnya, remaja kehilangan arah hidup dan mudah mencari pelarian dalam bentuk kekerasan maupun pergaulan bebas.

Selain itu, sistem kapitalisme melahirkan gaya hidup individualis, kompetitif, dan permisif. Nilai kebersamaan dan kepedulian sosial semakin luntur. Remaja pun cenderung meniru budaya kekerasan dari film, media sosial, maupun tontonan lain tanpa filter yang jelas. Semua ini menunjukkan bahwa akar masalah tawuran bukan sekadar pada individu atau lingkungan sempit, tetapi bersumber dari sistem yang rusak dan gagal mencetak generasi berkepribadian luhur.

Dalam sistem Islam, pemuda dibina dengan aqidah sehingga kepribadian Islam terbentuk kokoh. Pemikirannya dilandasi tsaqofah Islam yang unggul, bukan hanya melahirkan ketakwaan, tetapi juga ilmu pengetahuan. Pemuda diarahkan membela agama dan umat, bukan tawuran. Mereka tahu arah hidupnya: menjadi ulama, ilmuwan, atau mujahid yang menyebarkan Islam dan menentang kezaliman.

Rasulullah bersabda: "Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, salah satunya adalah seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah." (HR. Bukhari)

Islam juga memiliki mekanisme konkret dalam mendidik generasi. Negara wajib menyediakan pendidikan yang murah bahkan gratis, dengan kurikulum yang berorientasi pada pembentukan akhlak mulia sekaligus penguasaan ilmu pengetahuan. Guru dipandang sebagai pengemban amanah, bukan sekadar profesi, sehingga perannya sangat dihormati. Dengan cara ini, remaja tidak hanya pintar, tetapi juga memiliki arah hidup yang jelas.

Selain itu, Islam menata lingkungan sosial agar kondusif bagi pembinaan remaja. Media, budaya, dan pergaulan masyarakat harus diarahkan sesuai nilai Islam. Negara berperan sebagai pengawas utama, menutup akses terhadap tontonan yang merusak moral, sekaligus menghidupkan aktivitas positif seperti majelis ilmu, olahraga, dan kegiatan sosial. Dengan dukungan penuh dari keluarga, masyarakat, dan negara, generasi muda akan tumbuh menjadi pribadi kuat, produktif, dan jauh dari perilaku tawuran.

Dengan sistem pendidikan Islam, tawuran dapat diatasi. Pemuda justru menjadi pilar pembangunan umat dengan seluruh potensi terbaik yang mereka miliki.

Wallahu a’lam bish-shawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar