Oleh : Radima Tsulmah,S.Pd (Aktivis Muslimah)
Universitas Mulawarman kembali mewisuda 2.518 lulusan dari berbagai fakultas. Ribuan wisudawan dan wisudawati ini dinyatakan kompeten serta siap menghadapi tantangan dunia industri. Mereka juga didorong untuk berani membangun peluang usaha dan menciptakan lapangan kerja.
Euforia wisuda memang menggembirakan. Namun, di balik toga dan selempang itu, tersimpan realitas yang tidak selalu indah. Setiap tahun, ribuan sarjana baru dilepas ke masyarakat. Namun, pada faktanya jumlah lapangan kerja yang tersedia tidak bertambah secara signifikan. Akibatnya, angka pengangguran terdidik terus meningkat dari tahun ke tahun.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan tinggi saat ini masih jauh dari kata ideal. Banyak mahasiswa kuliah bertahun-tahun, menghabiskan biaya besar, namun setelah lulus justru kebingungan mencari pekerjaan. Tak sedikit yang akhirnya bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan jurusannya — bahkan ada yang beralih profesi jauh dari bidang akademik yang ditekuni.
Inilah potret buram dari pendidikan modern berbasis kapitalistik. Perguruan tinggi seolah hanya menjadi “pabrik” pencetak tenaga kerja, bukan tempat mencetak pemikir dan pembaharu. Kurikulum disusun bukan untuk mencerdaskan umat, tapi untuk memenuhi kebutuhan pasar industri. Lulusan dibentuk agar siap bekerja, bukan agar siap memimpin perubahan.
Orientasi pendidikan yang hanya berfokus pada materi dan karier duniawi melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, namun lemah dalam keimanan dan moral. Mereka tahu bagaimana mencari uang, tapi lupa apa tujuan hidup yang sebenarnya. Mereka menguasai teori ekonomi, tapi gagal memahami amanah kepemimpinan dan tanggung jawab sosial.
Tak heran bila korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan berbagai pelanggaran moral banyak dilakukan oleh orang-orang berpendidikan tinggi. Ini bukan semata kesalahan individu, tetapi juga cerminan kegagalan sistem pendidikan sekuler yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai spiritual.
Lebih jauh, sistem ini menjadikan pendidikan sebagai komoditas mahal, eksklusif, dan berorientasi profit. Kampus menjalin kerja sama dengan korporasi besar agar lulusannya terserap industri, sementara hakikat pendidikan untuk melahirkan manusia beriman dan berakhlak mulia justru terpinggirkan.
Padahal, pendidikan sejatinya adalah proses membangun manusia seutuhnya
akalnya tercerahkan, hatinya terikat pada syariat Allah, dan tindakannya memberi manfaat bagi masyarakat. Ketika pendidikan dipisahkan dari nilai-nilai Islam, maka hasilnya adalah generasi yang “pintar tapi payah” mampu bersaing, tapi kehilangan arah hidup.
Pendidikan dalam Islam: Mencetak Ulama dan Cendekiawan
Islam memandang pendidikan bukan semata sarana mencari pekerjaan, tapi jalan untuk melahirkan insan yang beriman, berilmu, dan berkontribusi bagi kemaslahatan umat. Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah islamiyah), melahirkan ulama, cendekiawan, dan pemimpin yang beramal atas dasar ketaatan kepada Allah.
Dalam sistem Islam, ilmu dan iman tidak dipisahkan. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan manusia yang mampu berfikir kritis, bekerja profesional, sekaligus berorientasi pada akhirat. Mereka bukan hanya siap bekerja sesuai keahlian, tapi juga mampu menciptakan peluang kerja dan memimpin perubahan sosial.
Negara dalam sistem Islam pun memegang peran penting. Negara wajib menjamin setiap laki-laki mendapatkan pekerjaan, serta menyediakan lapangan kerja dan modal bagi yang ingin berwirausaha. Dengan demikian, pengangguran dapat ditekan dan kesejahteraan terjaga.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
Penutup: Jangan Sekadar Lulus, Tapi Lahir Sebagai Pembaharu
Lulus kuliah seharusnya bukan akhir perjuangan, tetapi awal untuk berkontribusi nyata bagi umat. Seorang sarjana Muslim tidak cukup hanya cerdas secara akademik, tetapi juga harus memiliki akhlak, visi dakwah, dan keberanian untuk membawa perubahan.
Karena dalam pandangan Islam, keberhasilan bukan diukur dari gelar dan pekerjaan bergaji tinggi, melainkan dari sejauh mana ilmu dan tenaga yang dimiliki digunakan untuk menegakkan kebenaran dan membangun peradaban Islam yang mulia. Wallahu 'alam bisshawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar