Oleh : Arini Fatma Rahmayanti
Hari ini zaman telah menunjukkan perkembangannya, salah satunya dalam bidang teknologi. masyarakat tidak lagi hanya berkomunikasi melalui telepon dan sms saja, namun juga melalui berbagai patform media sosial lainnya, namun fenomena ini menjadikan interaksi di dunia nyata menjadi berkurang. Dilansir dari Detikedu.com-Jakarta, Global Digital Reports dari Data Reportal melaporkan ada 5,25 miliar orang yang aktif di media sosial. Linimasa dipenuhi video hiburan dan kisah personal masih membuat banyak pengguna merasa terasing dari dunia nyata. Namun menariknya perasaan terhubung ini tidak menghilangkan perasaan sepi.
Fenomena ini menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mereka kemudian melakukan riset berjudul "Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual".
Fifin Anggela Prista, ketua tim riset, mengungkapkan ide penelitian berawal dari pengamatan sehari-hari terhadap kebiasaan Gen Z yang hampir selalu berselancar di media sosial, khususnya TikTok. Situasi tersebut memunculkan pertanyaan: Mengapa seseorang bisa begitu aktif di dunia maya, tetapi minim interaksi sosial secara langsung?
Fifin menjelaskan jika konten di media sosial merupakan hasil rekayasa. Namun, tak sedikit orang tetap mengonsumsi dan bahkan membenarkan narasi tersebut. "Menurut teori hiperrealitas, representasi digital kerap dianggap lebih 'nyata' daripada realitas itu sendiri, sehingga emosi yang dibentuk media dapat memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang," ungkap Fifin.
Hasil pengamatan awal menunjukkan banyak akun TikTok memproduksi ulang narasi kesepian dengan sentuhan estetik dan emosional. Contohnya termasuk kutipan tentang hubungan, kehilangan, atau rasa keterasingan. Semakin sering pengguna membagikan konten kesepian, maka semakin banyak konten serupa yang muncul di linimasa. Penelitian menunjukkan tindakan ini meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental.
Semua ini bukan sekedar persoalan kurangnya literasi digital dan manajemen penggunaan gawai. Namun juga sebab diterapkannya sistem kapitalisme sekulerisme. Sistem yang menciptakan standar benar dan salah berdasarkan keuntungan. Dalam dunia digital sistem hari ini tidak mengurusi bagaimana konten-konten yang seharusnya di tampilkan, sehingga industri kapitalis telah membuat arus di sosial media menimbulkan dampak buruk, diantaranya sikap asosial. masyarakat sulit bergaul di dunia nyata. Bahkan, di tengah keluarga pun pola hubungan diantara anggota keluarga terasa jauh. Sikap asosial dan perasaan kesepian akan berdampak buruk dan merugikan umat. Terlebih bagi generasi muda yang sebenarnya punya potensi besar untuk menghasilkan karya-karya produktif, akan menjadi generasi yang lemah tak berdaya. Kepedulian terhadap persoalan umat juga tak akan mampu dipotret oleh masyarakat yang terjebak dalam kesepian dirinya.
Fenomena ini akan merugikan umat, jika msyarakat tidak menyadari bahwa media sosial yang tidak dikelola dengan bijak akan menjadikan banyak orang semakin asosial dan merasa kesepian di tengah keramaian. Oleh karena itu masyarakat harus menjadikan Islam sebagai identitas utama. Islam sebagai sistem kehidupan telah mengatur bagaimana sistem informasi seharusnya menjadi wadah masyarakat menambah ilmu pengetahuan dan wawasannya serta memperkokoh akidahnya dengan memfilter konten-konten yang tidak ada nilai edukasinya atau konten-konten yang merusak, sehingga dengan begitu masyarakat tidak akan terus menerus menjadi korban sistem sekuler liberal. Peran negara penting dalam mengendalikan pemanfaatan dunia digital dan mendorong masyarakat khususnya generasi muda agar tetap produktif dan berkontribusi dalam menyelesaikan problematika umat. Wallahualam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar