Oleh: Dini Koswarini
Ada satu ajakan menarik dari Menteri Agama Nasaruddin Umar di ajang Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Nasional dan Internasional 2025. Beliau mengajak dunia pesantren untuk merebut kembali The Golden Age of Islamic Civilization (Zaman Keemasan Peradaban Islam). Ajakan ini terdengar heroik, apalagi ketika disampaikan di tengah generasi yang kerap kehilangan arah makna belajar. (Kemenag.co.id, 2/10/2025)
Menurut Menag, kebangkitan itu harus dimulai dari pesantren. Dari tempat-tempat sunyi tempat para santri menekuni kitab kuning, tempat ilmu dan adab disemai dengan kesabaran. Di situlah, kata beliau, pesantren harus mengawinkan dua kutub ilmu yakni kitab kuning sebagai simbol ilmu agama, dan kitab putih sebagai lambang ilmu umum.
Integrasi dua kutub ini diyakini bisa melahirkan insan kamil. Menag juga menegaskan pentingnya lima pilar sejati pesantren di antaranya masjid, kiai, santri, tradisi membaca kitab turats, dan habit khas pesantren yang melahirkan ketulusan. Dengan menjaga lima unsur ini, beliau yakin pesantren bisa menjadi benteng terakhir peradaban.
Tema besar Hari Santri 2025 pun dirumuskan dengan nada tinggi “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Sekilas, tema ini memang memantik semangat, seperti ada cita-cita besar yang ingin dicapai bersama.
Namun, di balik semangat itu ada pertanyaan yang perlu direnungkan, yakni peradaban seperti apa yang dimaksud?
Apakah 'peradaban dunia' di sini merujuk pada peradaban Islam yang berpijak pada wahyu, atau justru peradaban modern yang menyingkirkan peran agama dari panggung publik?
Pertanyaan ini penting, sebab arah gerak pesantren kini mulai tampak bergeser. Santri kini tidak lagi diarahkan hanya untuk menjadi ulama, namun juga sebagai duta budaya, penggerak ekonomi kreatif, bahkan agen perdamaian sosial.
Semua peran itu terdengar sangat positif, namun ada resiko besar jika arah itu menjauhkan pesantren dari jati dirinya sebagai pusat lahirnya warosatul anbiya’ (pewaris perjuangan para nabi).
Santri tidak boleh kehilangan arah. Justru santri harus sadar jika mereka bukan sekadar agen sosial, melainkan agen perubahan yang menegakkan kalimat Allah di muka bumi. Ia harus diarahkan pada upaya mengembalikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya sekadar label moderasi atau perdamaian versi sekuler.
Hakikatnya modernisasi pesantren tidak boleh mengaburkan ruhnya. Pesantren boleh membuka diri terhadap ilmu umum, tapi fondasinya tetap harus berdiri di atas turats Islamiyah. Jika ruh itu hilang, maka pesantren akan kehilangan makna. Hanya akan menjadi sekolah umum yang religius, tapi tak lagi memancarkan kekhasan keilmuan Islam.
Sebab pada faktanya krisis terbesar dunia modern terjadi ketika manusia memisahkan ilmu dari wahyu. Ilmu yang kehilangan arah spiritual akan melahirkan kehampaan, meski tampak maju secara teknologi. Karena itu, ajakan Menag untuk mengintegrasikan kitab kuning dan kitab putih memang penting, asalkan integrasi itu bukan dalam semangat kompromi yang menihilkan nilai Islam, tapi dalam semangat peneguhan kembali dominasi wahyu atas akal.
Kebangkitan peradaban Islam sejati tidak bisa berhenti di level pendidikan saja. Ia menuntut arah perjuangan yang lebih besar yakni arah yang menempatkan Islam bukan hanya sebagai nilai moral, tapi lebih jauh lagi sebagai sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek yakni politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Zaman keemasan Islam di Baghdad, Kairo, dan Andalusia dulu tidak lahir dari jargon 'integrasi ilmu', tapi dari penerapan Islam secara menyeluruh. Para ilmuwan besar seperti Ibn Sina dan Al-Farabi tumbuh di bawah naungan sistem yang menegakkan syariat, yang menjamin kebebasan berpikir dalam bingkai iman. Di situlah ilmu menjadi cahaya, bukan alat dominasi.
Artinya, jika kita ingin benar-benar membangkitkan peradaban Islam, perjuangan tidak cukup hanya di pesantren. Ia perlu disertai dakwah politik Islam yang menyadarkan umat akan pentingnya sistem yang menaungi seluruh aspek kehidupan dengan nilai-nilai wahyu. Pesantren berperan besar dalam menyiapkan kadernya, akan tetapi arah besar peradaban itu hanya akan terwujud jika Islam ditegakkan secara kafah.
Wallahu a'lam bisshawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar