Oleh : Sherly Agustina, M.Ag. (Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Di era digital, banyak hal bisa terjadi baik itu kebaikan maupun sebaliknya. Teknologi termasuk digital bagai pisau bermata dua, bisa baik atau sebaliknya tergantung yang menggunakannya. Ungkapan 'kesepian di tengah keramaian' nyatanya bukan hanya ucapan puitis semata, akan tetapi nyata adanya. Saat ini dalam satu keluarga walau ramai masing-masing dari mereka sibuk dengan gadget dan dunianya masing-masing. Dalam sebuah penelitian, rata-rata orang menghabiskan 2 jam 24 menit di media sosial setiap hari. Apakah fenomena ini berbahaya?
Di era saat ini, media sosial bukanlah hal baru. Menariknya, Global Digital Reports dari Data Reportal melaporkan ada 5,25 miliar orang yang aktif di media sosial. Fenomena ini menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mereka kemudian melakukan riset berjudul "Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual".
Penelitian ini berhasil lolos seleksi Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) 2025 dan memperoleh pendanaan dari Kemendiktisaintek. Fifin Anggela Prista, ketua tim riset, mengungkapkan ide penelitian berawal dari pengamatan sehari-hari terhadap kebiasaan Gen Z yang hampir selalu berselancar di media sosial, khususnyaTikTok. Situasi tersebut memunculkan pertanyaan: Mengapa seseorang bisa begitu aktif di dunia maya, tetapi minim interaksi sosial secara langsung? (detik.com, 18-9-2025)
Dampak Negatif Terjebak di Ruang Digital
Harus diakui, saat ini masyarakat di era digital banyak yang merasa kesepian di tengah ramainya dunia media sosial. Bahkan, Gen Z generasi yang paling merasa kesepian, insecure, dan mengalami kesehatan mental. Penyebabnya, bukan sekadar persoalan kurangnya literasi digital dan manajemen penggunaan gawai saja. Dalam kapitalisme, ruang digital dijadikan sasaran empuk mencari cuan dan memperkaya diri bagi para kapitalis. Maka, industri kapitalis telah membuat arus di sosial media yang menimbulkan dampak buruk, di antaranya sikap asosial. Masyarakat sulit bergaul di dunia nyata. Bahkan, di tengah keluarga pun pola hubungan di antara anggota keluarga terasa jauh.
Sikap asosial dan perasaan kesepian akan berdampak buruk dan merugikan umat. Terlebih bagi generasi muda yang sebenarnya punya potensi besar untuk menghasilkan karya-karya produktif, akan menjadi generasi yang lemah tak berdaya. Kepedulian terhadap persoalan umat juga tak akan mampu dipotret oleh masyarakat yang terjebak dalam kesepian dirinya karena waktu, tenaga, dan firkiran mereka sudah terseret dunia digital yang melenakan. Mereka menganggap ruang digital adalah realitas itu sendiri.
Dalam sebuah penelitian, rata-rata orang menghabiskan 2 jam 24 menit di media sosial setiap hari. Rata-rata orang Amerika memeriksa perangkat seluler mereka 159 kali sehari . Pengguna akan menghabiskan 4 triliun jam di media sosial tahun ini. (explodingtopics.com, 23-6-2025). Sementara menurut World Happiness Report 2024, terdapat riset yang menyimpulkan bahwa Generasi Z memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih rendah dibandingkan dengan generasi sebelumnya dan lebih rentan terhadap gangguan kesehatan mental. Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap masalah ini adalah penggunaan media sosial yang tidak tepat.
Dikutip dari laman Unair (29/04/2024), Prof. Nurul Hartini dari Universitas Airlangga menyatakan bahwa media sosial dapat memudahkan kehidupan Generasi Z jika digunakan dengan bijak. Ia menegaskan bahwa media sosial memiliki sisi positif dan negatif, dan dampaknya sangat tergantung pada cara penggunaannya. Misalnya, media sosial bisa menjadi alat yang sangat berguna untuk berkomunikasi, mendapatkan informasi, dan bahkan belajar. Namun, jika digunakan secara berlebihan atau tanpa kendali, media sosial dapat menjadi sumber stres dan kecemasan. (mum id, 28-6-2025)
Penelitian yang dipublikasikan dalam JAMA Psychiatry yang diterbitkan tahun 2019 lalu menemukan bahwa remaja yang menggunakan media sosial lebih dari tiga jam per hari berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental, terutama terkait dengan citra diri. Media sosial sering kali menjadi ajang untuk membandingkan diri dengan orang lain, yang dapat menyebabkan kecemasan dan stres. Selain itu, online bullying dapat memperburuk kondisi mental. Studi oleh Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Universitas Indonesia (2021) menemukan 96.4% remaja merasa kurang memahami cara mengatasi stres akibat masalah yang dialami. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental Generasi Z. (mum id, 28-6-2025)
Dalam algoritma media sosial, kebiasaan tak terbatas di media sosial, memicu efek domino. Semakin sering pengguna membagikan konten kesepian, maka semakin banyak konten serupa zWzyang muncul di linimasa. Penelitian menunjukkan tindakan ini meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental dan asosial. (detik.com, 18-9-2025). Oleh karena itu, masyarakat harus sadar jangan terjebak dan diperalat menjadi objek bisnis dunia digital demi keuntungan para kapitalis. Masyarakat harus sadar pula bahwa pengaruh media sosial yang tidak dikelola dengan bijak akan menjadikan banyak orang makin asosial, merasa kesepian di tengah keramaian, dan mengalami gangguan kesehatan mental. Tentu saja fenomena ini merugikan umat.
Alternatif Solusi
Bagaimana caranya agar bisa lepas dari ketergantungan gadget dan berlebihan dalam bermedsos? Masyarakat harus menjadikan Islam sebagai identitas utama, sehingga tidak terus menerus menjadi korban sistem sekuler liberal. Di sinilah pentingnya belajar menimba ilmu, memadukan ruang digital dan nyata untuk membekali diri dalam menghadapi kehidupan. Muaranya adalah bagaimana caranya Allah rida terhadap apa pun yang kita lakukan. Jadi, harus menjadikan standar baik dan buruk kepada syariat (Allah) saja. Mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak? Mana yang ketika dilakukan akan menambah ketaatan, kebaikan, dan kebermanfaatan mana yang tidak?
Untuk mengetahuinya dibutuhkan belajar Islam secara kafah agar terarah dan tidak salah kaprah. Karena apa pun yang kita lakukan di dunia akan dimintai pertanggungjawban di hadapan Allah Swt. Di akhirat. hal ini sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an surah Al Isra ayat 36, "Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."
Seharusnya ruang digital itu bisa menambah energi positif dalam pergerakan di dunia nyata, bukan malah kontraproduktif. Karena teknologi sudah banyak memberi kemudahan dalam menimba ilmu yang tersebar luas di ruang digital, tanpa harus mengeluarkan energi ke luar rumah. Cukup di rumah, bisa berselancar keliling dunia dalam menimba ilmu tentu dengan bimbingan para guru yang ahli di bidangnya masing-masing. Bagi sebagian orang yang memiliki keterbatasan waktu hal ini cukup membantu.
Namun, penggunaan teknologi dan digital yang benar dan tepat hingga memberi manfaat, butuh ilmu, strategi, dan kretifitas tinggi serta memiliki kemampuan menahan diri agar tidak terjebak dalam kehidupan 'scroll' yang menghabiskan waktu. Butuh azam yang kuat bahwa apa pun yang ada di depan mata termasuk dunia digital harus digunakan dalam kebaikan dan kebermanfaatan untuk Islam dan umat sehingga menjadi self control yang kuat.
Keimanan pun menjadi self control, cyrcle islami menjadi pengingat dan penguat agar ketika mulai lalai segera ada yang mengingatkan kembali pada ketaatan. Saling mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan hanya akan didapat dalam cyrcle kebaikan, di mana rasa cinta karena Allah dimanifestasikan dengan nasehat di jalan takwa. Memiliki cyrcle ini sebuah kenikmatan yang Allah beri, karena rasa sayang yang diberikan semata karena Allah agar kita tidak tergelincir pada kemaksiatan yang membuat Allah murka. Atau Allah berpaling dengan membuat hamba-Nya disibukkan pada hal-hal yang tidak bermanfaat.
Media sosial memang tidak bisa ditinggalkan, tapi harus dikendalikan. Islam bisa menjadi identitas utama yang menjaga nilai, sementara negara wajib memastikan ruang digital mendukung koneksi yang sehat dan produktif. Jika tidak, keramaian digital hanya akan meninggalkan padang gurun emosional. Maka, elemen utama yang sangat berperan yaitu pentingnya negara dalam mengendalikan pemanfaatan dunia digital dan mendorong masyarakat khususnya generasi muda agar tetap produktif dan berkontribusi dalam menyelesaikan problematika umat.
Khatimah
Dalam Islam, media diatur tidak untuk merusak akidah, tidak membuat terlena dan membuang waktu sia-sia. Media hanya untuk syiar dakwah, kebaikan, dan menambah ketaatan. Konten media akan difilter oleh negara, tidak ada konten kekerasan, berbau porno, game yang merusak dan melenakan, dan lainnya yang dianggap menggangu umat. Khalifah memiliki tanggung jawab memastikan media hanya untuk hal-hal yang positif dan ketaatan bukan yang lain.
Begitu sempurnanya Islam mengatur kehidupan, hingga kehidupan pribadi seseorang diatur agar senantiasa terikat pada aturan Allah agar selamat di dunia dan akhirat. Media pun diatur dengan baik agar tidak merusak umat. Kehidupan nyata berjalan dengan indahnya ukhuwah, persahabatan di jalan Allah, dan aktivitas amar makruf nahi mungkar merupakan manifestasi rasa sayang dan cinta karena Allah. Rindu Islam diterapkan kembali? Allahua'lam Bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar