Oleh : Sylvi
Peristiwa kerusuhan Agustus 2025 adalah serangkaian aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada 25–31 Agustus 2025. Aksi ini awalnya merupakan bentuk protes sosial dan politik, namun di sejumlah wilayah berubah menjadi ricuh dan anarkis, termasuk pembakaran fasilitas umum, penutupan jalan, serta bentrokan antara massa dan aparat keamanan.
Polri telah menetapkan 959 orang sebagai tersangka dalam peristiwa kerusuhan yang terjadi pada akhir Agustus 2025. Dari jumlah itu, 295 orang merupakan anak-anak, seperti diberitakan Tempo.co (25 September 2025). Polri menjelaskan bahwa penetapan tersangka hanya berlaku bagi mereka yang dianggap melakukan tindakan anarkis, bukan kepada peserta aksi damai.
Namun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai proses hukum terhadap anak-anak tersebut belum sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) Nomor 11 Tahun 2012. Dalam laporan Kompas.com (26 September 2025), KPAI menyoroti adanya dugaan pelanggaran prosedur, seperti penangkapan tanpa pendampingan hukum dan tidak terpenuhinya hak pendidikan anak selama proses hukum.
Polri menyebut 68 anak telah diproses melalui diversi, yaitu penyelesaian perkara di luar pengadilan agar anak tidak dipenjara (Tempo.co, 2025). Meski demikian, sebagian besar lainnya masih dalam tahap penyidikan. KPAI juga menemukan perbedaan data antara pusat dan daerah, dengan Jawa Timur sebagai wilayah dengan jumlah anak terbanyak yang terlibat dalam kasus ini.
Ketika Kesadaran Politik dianggap Anarkis
Peristiwa kerusuhan Agustus 2025 bisa dilihat bukan hanya sebagai masalah hukum, tetapi juga sebagai tanda bahwa banyak anak muda, terutama Gen Z, mulai sadar politik dan ingin menuntut perubahan atas ketidakadilan. Mereka merasa kondisi sosial, ekonomi, dan kebijakan yang ada tidak berpihak pada rakyat kecil, sehingga turun ke jalan menjadi salah satu cara untuk menyampaikan pendapat.
Sayangnya, kesadaran politik ini sering dianggap sebagai ancaman. Ketika anak muda bersuara lantang, mereka cepat diberi label anarkis atau perusuh. Padahal tidak semuanya berniat membuat kerusuhan, pada faktanya memang terdapat oknum yang sengaja membuat rusuh dan anarkis. Namun kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian pemuda yang memiliki niat yang lurus, hanya ingin didengar dan diperhatikan. Sikap seperti ini menunjukkan adanya pembungkaman, agar generasi muda tidak terlalu kritis terhadap penguasa.
Dalam konteks yang lebih luas, situasi ini memperlihatkan bahwa demokrasi yang berjalan bersama sistem kapitalisme sering kali hanya memberi ruang pada suara yang sejalan dengan kekuasaan. Sementara suara yang berbeda, apalagi yang menantang kepentingan besar, sering dijegal atau bahkan dikriminalisasi. Karena itu, kasus 295 anak yang jadi tersangka juga bisa dibaca sebagai benturan antara kesadaran baru generasi muda dan sistem yang belum siap menerima kritik dari bawah.
Kesadaran Politik Pemuda dalam Pandangan Islam
Pemuda sering disebut sebagai tonggak perubahan karena mereka memiliki semangat, keberanian, dan kepedulian tinggi terhadap keadaan sekitarnya. Kesadaran politik yang muncul di kalangan generasi muda hari ini menunjukkan bahwa mereka mulai peka terhadap ketidakadilan sosial dan ketimpangan kekuasaan. Namun, kesadaran ini perlu diarahkan agar tidak berhenti pada luapan emosi atau tindakan anarkis, melainkan menjadi perjuangan yang bermakna dan berpijak pada nilai Islam.
Dalam pandangan Islam, perubahan sejati tidak cukup hanya dengan keberanian, tetapi juga harus berlandaskan iman dan tuntunan syariat. Allah berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 104, yang artinya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran 104)
Ayat ini menjadi dasar penting bahwa setiap Muslim, termasuk pemuda, memiliki kewajiban untuk peduli terhadap urusan masyarakat dan menegakkan keadilan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga menegaskan pentingnya mengoreksi penguasa yang berbuat zalim. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad disebutkan: “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.”
Ini menunjukkan bahwa keberanian menyampaikan kebenaran kepada pemimpin bukanlah bentuk perlawanan anarkis, melainkan bagian dari tanggung jawab keimanan. Rasulullah sendiri menjadi teladan dalam hal ini. Beliau menegur para pemimpin Quraisy yang menindas kaum lemah, namun tetap menjaga akhlak, tidak dengan kekerasan, melainkan dengan keteguhan dan hujjah yang kuat.
Dalam sistem Khilafah, pemuda dididik dengan akidah Islam agar kesadaran politik mereka tidak liar dan terarah pada perjuangan yang benar. Mereka belajar memahami realitas dengan kacamata syariat, sehingga ketika melihat ketidakadilan, mereka bergerak bukan karena dorongan emosi atau kepentingan duniawi, tapi karena ingin menegakkan ridha Allah.
Dengan arah seperti ini, kesadaran politik pemuda akan menjadi kekuatan moral yang besar. Mereka tidak akan mudah diprovokasi atau dikriminalisasi, karena perjuangan mereka berlandaskan ilmu dan keimanan. Pemuda yang sadar politik dalam bingkai Islam akan menjadi penggerak perubahan yang damai, adil, dan membawa keberkahan bagi masyarakat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar