Salah Kelola Tambang, Negara Rugi 300 T, Kok Bisa?


Oleh : Hazifah Mujtahidah

Isu pertambangan kembali menjadi sorotan publik setelah Menteri Pertahanan sekaligus presiden terpilih, Prabowo Subianto, dalam pidatonya saat acara penyerahan Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk pada awal Oktober 2025, mengungkapkan kerugian negara mencapai Rp300 triliun akibat praktik tambang ilegal. Angka fantastis ini bukan hanya mencerminkan besarnya nilai ekonomi yang bocor, tetapi juga menunjukkan bobroknya tata kelola sumber daya alam (SDA) di Indonesia.

Prabowo menyoroti bahwa praktik tambang ilegal bukan fenomena baru. Bahkan, data dari berbagai lembaga termasuk Kementerian ESDM dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan bahwa jumlah tambang bermasalah atau ilegal mencapai ribuan di seluruh wilayah Indonesia. Laporan JATAM pada 2024 menyebutkan, sedikitnya ada 2.700 titik tambang ilegal yang tersebar di 30 provinsi, dan banyak di antaranya beroperasi tanpa izin sah, merusak lingkungan, serta melibatkan oknum aparat dan elit politik.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, pemerintah juga mengumumkan kebijakan baru: 45 ribu sumur minyak rakyat akan diserahkan pengelolaannya kepada koperasi dan UMKM. Menteri ESDM menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan “memperkuat ekonomi daerah dan menciptakan lapangan kerja.” Namun, di balik jargon pemberdayaan rakyat, kebijakan ini menuai banyak kritik.


Tambang Ilegal dan Kerugian Negara

Kasus PT Timah menjadi salah satu contoh paling nyata dari kejahatan struktural di sektor tambang. Berdasarkan laporan Kejaksaan Agung RI (2025), kerugian negara akibat praktik korupsi dan manipulasi perdagangan timah di Provinsi Bangka Belitung mencapai Rp300 triliun. Nilai ini berasal dari kerusakan lingkungan, kehilangan potensi pajak, serta hilangnya keuntungan negara akibat keterlibatan perusahaan-perusahaan swasta yang menguasai rantai pasok secara ilegal.

Dalam pidatonya, Prabowo secara terbuka menyinggung nama Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani yang hadir di acara tersebut. Isyarat ini menunjukkan bahwa masalah tambang ilegal tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan kepentingan politik dan ekonomi para elit.

Sementara itu, Kementerian ESDM mengakui bahwa penertiban tambang ilegal telah menjadi tugas berat selama bertahun-tahun. Presiden Joko Widodo bahkan telah menginstruksikan agar kegiatan pertambangan “ditertibkan secara total.” Namun, meski kebijakan, regulasi, dan operasi gabungan sudah sering dilakukan, tambang ilegal tetap tumbuh subur. Ini menunjukkan bahwa akar masalahnya bukan sekadar lemahnya penegakan hukum, melainkan kesalahan sistemik dalam tata kelola sumber daya alam berbasis kapitalisme-sekuler.


Swastanisasi Tambang dan Kebijakan Kapitalistik

Masalah besar dalam sektor SDA Indonesia adalah swastanisasi tambang. Undang-Undang Minerba hasil revisi (UU No. 3 Tahun 2020) justru membuka lebar pintu bagi korporasi untuk menguasai tambang dengan dalih efisiensi dan investasi. JATAM menyebut UU Minerba sebagai “UU Pembancakan Kekayaan Alam” karena menyerahkan kekayaan strategis bangsa ke tangan segelintir pemilik modal.

Akibatnya, rakyat hanya menjadi penonton di tanah sendiri, sementara kerusakan lingkungan dan konflik sosial menjadi warisan abadi. Di Kalimantan Timur, misalnya, lebih dari 1.700 lubang bekas tambang dibiarkan terbuka dan telah menelan korban jiwa puluhan anak-anak dalam satu dekade terakhir.

Kebijakan baru pemerintah untuk mengalihkan pengelolaan tambang kecil dan sumur minyak kepada koperasi dan UMKM tampak “pro-rakyat”, namun sesungguhnya berisiko besar menjadi jalan belakang bagi oligarki baru. Banyak koperasi dan UMKM tidak memiliki kapasitas teknis dan finansial untuk mengelola tambang. Dalam praktiknya, mereka akan mencari “mitra” pihak ketiga—yang sering kali adalah perusahaan besar—untuk mengoperasikan tambang tersebut.

Ini berarti privatisasi tetap terjadi, hanya saja dibungkus dengan nama rakyat. Selain itu, tanpa standar lingkungan dan pengawasan ketat, potensi kerusakan ekosistem dan kecelakaan kerja sangat tinggi.


Akar Masalah: Sistem Kapitalisme Sekuler

Kesalahan mendasar tata kelola tambang Indonesia bukan sekadar teknis atau administratif, tetapi ideologis. Dalam sistem kapitalisme sekuler, SDA dipandang sebagai komoditas ekonomi, bukan amanah publik. Negara berperan sebagai fasilitator, bukan pengurus rakyat.
Negara membiarkan k
orporasi mengeksploitasi sumber daya dengan alasan “mendatangkan investasi dan lapangan kerja,” padahal sebagian besar keuntungan justru mengalir ke pemilik modal dan investor asing. Sementara rakyat di sekitar tambang tetap miskin, terpapar polusi, dan kehilangan lahan hidup.

Padahal, dalam Islam, tugas negara bukan sekadar regulator atau penonton, melainkan penanggung jawab langsung terhadap pengelolaan dan distribusi SDA untuk kemaslahatan umat. Rasulullah ï·º bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Hadis ini menjadi dasar hukum bahwa sumber daya alam yang vital—termasuk tambang, minyak, gas, dan energi—tidak boleh dimiliki pribadi maupun korporasi, karena ia adalah milik umum (milkiyyah ‘ammah). Negara wajib mengelolanya atas nama rakyat dan mengembalikan hasilnya untuk kesejahteraan mereka.


Status Tambang dalam Syariat Islam

Dalam fiqih muamalah, tambang termasuk al-ma’adin (hasil bumi). Para ulama membaginya menjadi dua kategori:
1. Tambang besar (al-ma’adin azh-zhahirah) — seperti minyak bumi, emas, timah, batu bara, gas alam. Tambang jenis ini tergolong milik umum, karena jumlahnya besar dan tidak bisa dimiliki individu.
2. Tambang kecil (al-ma’adin al-khafiyyah) — seperti batu akik, tanah liat, atau galian kecil lain yang bisa dikelola individu, namun tetap di bawah izin negara.

Imam Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwâl menjelaskan bahwa “apa yang tidak dapat habis digunakan oleh individu, dan menjadi kebutuhan vital masyarakat, termasuk milik umum.” Karena itu, tambang besar tidak boleh diserahkan kepada swasta atau koperasi untuk dikelola secara profit-oriented.

Negara dalam sistem Islam mengelola tambang melalui Baitul Mal dan lembaga teknis, dengan seluruh hasilnya digunakan untuk membiayai kebutuhan publik—seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan jaminan sosial.


Dalil dan Argumentasi Tabanni

Larangan privatisasi tambang ditegaskan pula dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil...” (QS. Al-Baqarah [2]: 188)
Serta:
Dan Kami telah menurunkan besi, yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (QS. Al-Hadid [57]: 25)

Ayat ini menunjukkan bahwa kekayaan bumi seperti besi dan logam merupakan amanah Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, bukan untuk kepentingan sekelompok kapitalis. Menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta berarti menyerahkan milik rakyat kepada segelintir orang, sebuah tindakan yang dalam pandangan syariat termasuk ghasab (perampasan hak publik).


Pengelolaan Tambang dalam Sistem Islam

Dalam sistem politik dan ekonomi Islam, negara adalah penanggung jawab utama pengelolaan tambang. Negara bukan hanya memastikan manfaat ekonominya, tetapi juga menjaga keseimbangan lingkungan, keadilan distribusi, dan keberlanjutan sumber daya.

Modelnya bukan seperti BUMN yang mencari laba, tetapi lembaga publik yang mengelola kekayaan atas dasar amanah. Keuntungan dari pengelolaan tambang masuk ke Baitul Mal, kemudian dialokasikan untuk kebutuhan publik tanpa diskriminasi.

Contohnya pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, ketika beliau menemukan tambang garam besar di Madinah. Ketika seorang sahabat meminta izin untuk mengelolanya, Umar menolak seraya berkata: “Tidak, ini seperti air—tidak boleh dimiliki satu orang.”

Prinsip ini menjamin bahwa tidak ada monopoli, dan tidak ada rakyat yang kehilangan akses terhadap kekayaan bumi.


Kritik atas Kebijakan “Tambang untuk Rakyat”

Kebijakan pengalihan sumur minyak dan tambang kecil ke koperasi dan UMKM sekilas tampak populis. Namun secara substansi, kebijakan ini bukan solusi atas kerusakan sistemik, karena:
1. Kapasitas teknis dan modal koperasi terbatas; akhirnya mereka menggandeng perusahaan besar.
2. Negara tetap melepaskan tanggung jawab langsung.
3. Standar keselamatan dan lingkungan sering diabaikan.

Dengan demikian, kebijakan ini justru memperkuat logika pasar bebas, bukan menghadirkan keadilan sosial.


Solusi Islam: Kepemimpinan yang Mengurus, Bukan Melepas

Islam menegaskan bahwa negara (daulah) adalah ra’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) atas urusan rakyat. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam konteks ini, pengelolaan tambang bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi bagian dari tanggung jawab akidah dan amanah kepemimpinan. Negara wajib mengelola tambang secara langsung dengan prinsip:
1. Transparansi hasil dan distribusi
2. Keadilan sosial
3. Perlindungan lingkungan
4. Larangan monopoli dan korupsi

Jika sistem Islam ditegakkan, tidak akan ada tambang ilegal, karena seluruh SDA dikendalikan negara dengan pengawasan syariah dan partisipasi rakyat.

Kasus tambang ilegal dan kerugian Rp300 triliun hanyalah puncak gunung es dari kegagalan sistem kapitalistik dalam mengelola kekayaan alam. Swastanisasi dan liberalisasi sektor tambang telah mengubah amanah publik menjadi ladang eksploitasi.

Islam menawarkan paradigma berbeda: negara sebagai pengurus, rakyat sebagai penerima manfaat, dan kekayaan alam sebagai milik umum yang haram diprivatisasi. Dalam sistem Khilafah, tambang besar dikelola negara, tambang kecil boleh dikelola rakyat di bawah pengawasan negara, dan seluruh hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan umat.

Hanya dengan sistem Islam kaffah, keadilan pengelolaan SDA dapat terwujud. Negara tidak lagi menjadi pelindung oligarki, melainkan penjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar