Magang Berbayar Fresh Graduate, Potret Suram Politik Ekonomi Kapitalisme


Oleh : Sophia Halima Ismi

Di tengah geliat ekonomi digital dan pembangunan infrastruktur yang kian masif, ironi besar tengah menimpa Indonesia—yakni meningkatnya angka pengangguran di kalangan anak muda. Fenomena ini bukan sekadar statistik ekonomi, melainkan potret nyata dari sistem ekonomi kapitalis yang pincang dalam mendistribusikan harta dan peluang kerja secara adil.

Laporan World Bank East Asia and The Pacific Economic Update Oktober 2025 mengungkap fakta mencengangkan: satu dari tujuh anak muda di China dan Indonesia menganggur. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun kedua negara tersebut termasuk dalam ekonomi terbesar di kawasan, mereka sama-sama gagal menyediakan ruang kerja layak bagi generasi mudanya. Di Indonesia, tingkat pengangguran muda kini mendekati 15% dari total angkatan kerja usia 15–24 tahun, atau sekitar 5 juta jiwa, dengan sebagian besar berasal dari lulusan perguruan tinggi.

Ironisnya, di saat jumlah pengangguran meningkat, pemerintah justru meluncurkan program “magang berbayar nasional” yang ditujukan bagi para fresh graduate. Program ini diharapkan menjadi solusi sementara agar lulusan baru memiliki pengalaman kerja sebelum benar-benar terjun ke dunia kerja profesional. Namun, sebagaimana diungkap Bloomberg Technoz dan CNBC Indonesia (Oktober 2025), animo masyarakat begitu besar—lebih dari 212 ribu pendaftar untuk batch pertama—menandakan betapa sulitnya mencari pekerjaan tetap di negeri ini.

Menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), hingga Oktober 2025 sudah 1.147 perusahaan bergabung dalam program ini, termasuk perusahaan besar seperti Telkom Indonesia dan Toyota Motor Manufacturing Indonesia, dengan gaji magang setara Upah Minimum Provinsi (UMP), yakni sekitar Rp5 juta per bulan. Bahkan pemerintah menargetkan 100.000 peserta hingga akhir tahun 2025.

Namun, di balik semaraknya program tersebut, muncul kritik tajam dari para ekonom dan pengamat kebijakan publik. Dalam laporan DetikEdu (September 2025), beberapa pakar menilai bahwa program magang ini justru bisa menjadi jebakan “eksploitasi terselubung”, di mana tenaga kerja muda dimanfaatkan dengan upah murah tanpa jaminan akan diangkat menjadi karyawan tetap. Artinya, program ini bisa jadi bukan solusi mendasar terhadap pengangguran, melainkan hanya menambal sementara luka yang dalam akibat rusaknya sistem ekonomi.


Akar Masalah : Ketimpangan dan Sempitnya Distribusi Harta

Masalah pengangguran yang dialami generasi muda tidak berdiri sendiri. Ia adalah produk sistemik dari ekonomi kapitalistik yang bertumpu pada akumulasi modal di tangan segelintir elite. Dalam sistem ini, kekayaan nasional tidak berputar merata ke seluruh lapisan masyarakat. Justru sebaliknya, harta menumpuk pada kelompok kaya, sementara sebagian besar rakyat hanya menjadi “penonton” dalam drama pertumbuhan ekonomi yang timpang.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, rasio gini (ketimpangan pendapatan) Indonesia pada pertengahan 2025 mencapai 0,395, meningkat dibanding tahun sebelumnya. Artinya, jarak antara si kaya dan si miskin semakin melebar. Dalam waktu yang sama, jumlah konglomerat baru terus bertambah—khususnya di sektor tambang, energi, dan teknologi—yang menikmati limpahan sumber daya alam milik publik.

Kapitalisme menjadikan lapangan kerja bukan sekadar sarana pemenuhan kebutuhan rakyat, tetapi instrumen mencari keuntungan bagi pemilik modal. Perusahaan hanya membuka lowongan jika menguntungkan secara ekonomi, bukan karena kebutuhan sosial. Akibatnya, banyak anak muda berpendidikan tinggi tetap menganggur, bukan karena tak punya kemampuan, tapi karena sistem tidak menciptakan ruang ekonomi yang inklusif.

Padahal, Indonesia bukan negara miskin sumber daya. Negeri ini memiliki hutan seluas 125 juta hektare, cadangan nikel terbesar dunia, serta kekayaan tambang, laut, dan energi yang melimpah. Namun sayangnya, sebagaimana dikritik Bank Dunia dalam laporan yang sama, “wealth creation” di Indonesia tidak otomatis berbanding lurus dengan “job creation.” Artinya, kekayaan alam tidak otomatis menciptakan lapangan kerja, sebab dikuasai oleh korporasi besar atau asing yang mengandalkan teknologi tinggi dan minim tenaga kerja lokal.

Di sinilah letak paradoks sistem kapitalis: semakin besar kekayaan negara, semakin kecil manfaat yang dirasakan rakyat. Aktivitas ekonomi justru macet karena harta terkonsentrasi di puncak piramida sosial. Rakyat bawah tidak punya modal, tidak punya akses terhadap sumber daya, dan akhirnya tidak punya pekerjaan.


Kritik terhadap Solusi Kapitalistik : Magang dan Outsourcing

Program magang nasional hanyalah cerminan dari solusi parsial dalam sistem kapitalistik yang tidak pernah menyentuh akar persoalan. Pemerintah berharap dengan magang berbayar, angka pengangguran menurun, dan daya saing tenaga kerja meningkat. Tetapi realitanya, kebijakan ini justru melahirkan fenomena “pekerja sementara permanen” — di mana banyak lulusan terus berpindah dari satu program magang ke program lainnya tanpa kepastian karier.

Seorang peserta program magang di Jakarta yang diwawancarai oleh JakartaTerkini.id (Oktober 2025) mengungkapkan bahwa setelah tiga bulan magang di perusahaan otomotif besar, ia tidak mendapat kejelasan soal kontrak tetap. “Kami diberi pengalaman, tapi tidak ada jaminan kerja,” katanya. Hal ini menunjukkan bahwa magang bukan solusi struktural terhadap pengangguran, melainkan cara sistem mempertahankan fleksibilitas tenaga kerja demi efisiensi korporasi.

Sementara itu, sebagian besar perusahaan yang mengikuti program ini justru perusahaan besar, bukan sektor produktif rakyat seperti pertanian, perikanan, atau industri kecil. Padahal, sektor-sektor inilah yang paling mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar jika dikelola dengan benar.

Dengan demikian, akar dari pengangguran di Indonesia bukanlah karena “kurangnya skill anak muda”, melainkan karena kegagalan sistem ekonomi kapitalis dalam mendistribusikan kekayaan dan membuka akses produksi bagi rakyat.


Solusi Islam : Politik Ekonomi Berbasis Distribusi Harta

Islam memandang ekonomi bukan sekadar urusan angka pertumbuhan atau laba investasi, melainkan bagian dari sistem hidup yang tunduk pada hukum syariah. Dalam pandangan Islam, kesejahteraan hanya dapat dicapai jika harta berputar di tengah masyarakat secara merata, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Inilah prinsip politik ekonomi Islam, yakni fokus pada distribusi harta, bukan sekadar produksi. Negara dalam Islam berkewajiban menjamin agar setiap individu memiliki akses terhadap kepemilikan dan pekerjaan.


Konsep Kepemilikan dalam Islam: Fondasi Distribusi Adil

Rasulullah ï·º mengajarkan bahwa dalam Islam, harta terbagi menjadi tiga jenis kepemilikan:
1. Kepemilikan individu – seperti hasil kerja, warisan, atau perdagangan pribadi.
2. Kepemilikan umum – seperti sumber daya alam (air, api, padang rumput, tambang, laut, sungai, hutan).
3. Kepemilikan negara – harta yang dikelola oleh negara untuk kepentingan publik (tanah mati, fai’, kharaj, dll).

Sumber daya alam yang melimpah, seperti nikel, emas, minyak, gas, dan hutan, termasuk milik umum, yang pengelolaannya tidak boleh diberikan kepada swasta, apalagi asing. Rasulullah ï·º bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Dengan prinsip ini, negara wajib menjadi pengelola utama sektor-sektor strategis. Hasil dari pengelolaan itu digunakan untuk membiayai kebutuhan publik, termasuk pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial gratis bagi rakyat. Ini akan membuka peluang kerja luas—baik di sektor pertanian, kehutanan, perikanan, energi, maupun industri turunan.


Negara Wajib Menyediakan Lapangan Kerja

Dalam Islam, menyediakan pekerjaan bagi laki-laki balig adalah tanggung jawab negara. Rasulullah ï·º memberikan teladan saat seorang sahabat datang meminta sedekah. Beliau bertanya apakah sahabat itu memiliki sesuatu di rumah. Ketika dijawab hanya ada selembar kain dan cangkir, Rasulullah menjualnya dan memberikan sebagian uangnya untuk membeli kapak, lalu menyuruhnya bekerja mencari kayu bakar. (HR. Abu Dawud).

Dari kisah ini, terlihat bahwa Islam tidak menjadikan bantuan sosial sebagai solusi permanen, melainkan memberdayakan rakyat untuk mandiri melalui kerja yang bermartabat.

Negara juga dapat memberikan iqtha’ (tanah garapan) kepada rakyat yang membutuhkan modal produksi. Sementara tambang besar atau sumber daya yang memerlukan teknologi tinggi harus dikelola langsung oleh negara, sehingga rakyat dapat bekerja sebagai pengelola atau pekerja dengan upah layak.


Dampak Politik Ekonomi Islam terhadap Pengangguran

Jika mekanisme ini diterapkan, maka:
1. Kekayaan alam tidak lagi dikuasai asing, melainkan dikelola negara untuk rakyat.
2. Negara memperoleh sumber pemasukan besar tanpa harus menarik pajak tinggi.
3. Lapangan kerja terbuka luas di sektor riil, bukan sektor spekulatif.
4. Harta berputar ke seluruh rakyat, bukan hanya elite bisnis.
5. Rakyat dapat hidup sejahtera dengan akses pendidikan dan kesehatan gratis.

Dengan cara inilah politik ekonomi Islam menjawab krisis pengangguran secara sistemik, bukan kosmetik seperti program magang berbayar yang hanya menenangkan sesaat.


Kembali pada Sistem yang Adil dan Manusiawi

Realitas satu dari tujuh anak muda Indonesia menganggur adalah peringatan keras bahwa sistem kapitalisme telah gagal menyejahterakan rakyat. Program magang berbayar hanyalah obat bius jangka pendek yang tidak menyembuhkan penyakit struktural: ketimpangan dan ketidakadilan dalam distribusi harta.

Islam datang dengan sistem yang sempurna—mengatur kepemilikan, produksi, dan distribusi secara adil, serta menjadikan negara sebagai pelindung sekaligus fasilitator bagi rakyat agar dapat hidup layak dan bermartabat. Sebagaimana ditegaskan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra.: “Seandainya ada seekor keledai yang terperosok di Irak, niscaya aku khawatir Allah akan menanyai aku, mengapa tidak aku ratakan jalan untuknya.”

Begitulah tanggung jawab pemimpin dalam sistem Islam: memastikan tidak ada satu pun rakyat yang terabaikan dari kesejahteraan, apalagi para pemuda—tulang punggung bangsa.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar