Oleh : Ai Sopiah
Baru-baru ini Presiden Prabowo berpidato di hadapan sidang umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam pidatonya, Prabowo juga menyebut kesiapan Indonesia untuk mengakui eksistensi negara Israel. Ia juga mendukung penyelesaian krisis melalui solusi dua negara.
Solusi dua negara telah diusung sejak beberapa dekade yang lalu. Solusi ini membagi wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Tengah yang sebelumnya milik Palestina semuanya menjadi dua negara, yaitu Yahudi dan Arab (Palestina) berdasarkan peta 1967. Solusi ini merupakan rekomendasi Laporan Peel yang dikirim oleh Inggris pada 1937.
Berdasarkan solusi dua negara, Palestina hanya mendapatkan tanah-tanah tandus, termasuk Gurun Negev, serta wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sedangkan mayoritas garis pantai dan tanah pertanian paling subur di Galilea diberikan kepada Zionis Yahudi. Ini sungguh merupakan kesepakatan yang tidak adil dan sejatinya bukanlah solusi, melainkan legalisasi perampasan tanah Palestina oleh Zionis.
Muslim Palestina telah tinggal di wilayah Syam sejak berabad-abad sebelumnya. Sejak Khalifah Umar bin Khaththab ra. membebaskan Syam pada 637 M, penduduk Syam berbondong-bondong masuk Islam dan tetap dalam keislamannya. Sejak itu, umat Islam senantiasa menjadi penduduk bumi Syam.
Sedangkan, Yahudi baru mulai datang pada abad ke-19 setelah Kongres Zionis pertama pada Agustus 1897. Pengungsi Yahudi berbondong-bondong datang setelah Deklarasi Balfour pada 1917. Jumlah pengungsi Yahudi makin banyak, mereka merebut wilayah muslim Palestina dan banyak melakukan pembunuhan. Perilaku mereka persis seperti perampok yang mengambil paksa tanah Palestina dengan membunuhi pemilik sahnya.
Lantas PBB tampil seolah-olah sebagai pahlawan dengan mengeluarkan Resolusi 181 (II) pada 29 November 1947 yang membagi Palestina menjadi dua, 56% untuk Yahudi dan sisanya untuk umat Islam. Sungguh aneh, pengungsi bisa menguasai wilayah lebih banyak dari penduduk aslinya.
Tampak jelas bahwa Resolusi PBB bukan untuk mewujudkan perdamaian sebagaimana slogannya, tapi untuk mewujudkan kepentingan negara-negara Barat (Inggris, AS, dll.) melalui penanaman entitas Zionis di jantung dunia Islam, yaitu Timur Tengah. Tujuannya adalah untuk bisa menguasai dunia Islam. Jadi konsep dua negara yang PBB usung bukan ditujukan untuk melindungi tanah Palestina dari pencaplok (Yahudi), tetapi justru memberi wilayah secara cuma-cuma bagi Zionis.
Bahkan, sejak Oktober 2023 Zionis melakukan genosida di Gaza dengan menghancurkan semua bangunan (termasuk sekolah, rumah sakit, dan pabrik roti), kebun, sumur, dan berbagai fasilitas vital penghasil pangan. Setelah warga Gaza dipaksa tergantung pada bantuan, mereka menutup akses bantuan untuk masuk ke Gaza, menembaki warga yang mengambil bantuan pangan, bahkan menangkap para aktivis yang membawa bantuan pangan untuk rakyat Gaza.
Terbaru, Zionis mencegat 39 kapal Global Sumud Flotilla yang membawa bantuan untuk Gaza. Mereka juga menahan 223 aktivis di kapal-kapal tersebut. Lantas, dengan kesombongan dan kebengisan Yahudi yang demikian luar biasa, rakyat Palestina disuruh untuk mengakui negara Yahudi di tanah Palestina. Sungguh tidak masuk akal. Ini seperti menyuruh rakyat Palestina menyerahkan nyawa pada penjajah.
Proposal perdamaian yang disepakati Donald Trump dengan Benjamin Netanyahu di Gedung Putih (29/9/2025) mensyaratkan pelucutan senjata Hamas dan Hamas tidak boleh terlibat dalam pemerintahan Gaza pada masa depan. Setelah Hamas menyerah, Gaza akan dipimpin Komite Palestina yang diawasi Dewan Perdamaian dengan Trump sebagai ketua dan kepala negara lain sebagai anggota, salah satunya adalah mantan PM Inggris Tony Blair. Blair sendiri selama ini mendukung Zionis, tentu tidak mungkin ia dan Trump berniat tulus untuk mewujudkan perdamaian di Palestina.
Kekhawatiran penduduk Gaza sangat beralasan. Selama ini Hamas dan faksi mujahid lainnya adalah satu-satunya pihak yang berdiri tegak melawan Zionis Yahudi. Sedangkan negeri-negeri muslim lainnya bungkam membisu, meski pembantaian terhadap muslimah dan anak-anak Gaza terjadi di depan mata mereka. Para kepala negara Arab dan muslim bahkan melakukan normalisasi hubungan dengan Zionis dan terus membeo AS dengan narasi “dua negara”.
Jika Hamas dilucuti, tidak ada lagi mujahid yang akan membela rakyat Gaza. Sedangkan, rekam jejak Yahudi adalah pelanggar perjanjian. Tidak ada yang bisa menjamin Zionis akan berhenti menyerang muslim Palestina setelah Hamas menyerah, alih-alih PBB. Selama ini PBB terbukti seperti macan ompong karena berbagai resolusi yang sudah dikeluarkan tidak pernah bisa menghentikan serangan entitas Zionis Yahudi. Sampai-sampai ada yang memelesetkan PBB (United Nations) sebagai Useless Nations. Sarkasme ini menggambarkan masyarakat dunia sudah lelah berharap pada PBB. PBB memang tidak akan pernah melawan kehendak AS. Sebagai negara yang membidani lahirnya PBB dan pemilik hak veto, AS leluasa mengatur PBB agar tidak tegas pada entitas Zionis Yahudi.
Oleh karenanya, solusi dua negara merupakan sebuah ilusi. Zionis tidak akan pernah mau berdampingan secara damai dengan umat Islam. Kalaupun solusi dua negara benar-benar terwujud, “Negara Palestina” hanya akan menjadi sebuah negara boneka yang berada di bawah kendali AS dan Zionis. “Palestina” yang demikian ini tidak memiliki independensi, bahkan dalam urusan penjagaan keamanan warganya sekalipun.
Solusi dua negara ini justru membuktikan kekalahan Zionis dalam menghadapi Hamas. Sudah dua tahun mereka membombardir Gaza dengan biaya yang sangat besar, tetapi Hamas tidak kunjung menyerah. Meski Zionis sudah menggunakan strategi pelaparan, Gaza tetap kukuh. Keteguhan Hamas dengan dukungan penuh rakyat Gaza sulit ditaklukkan oleh Zionis sehingga Zionis menawarkan proposal dua negara dengan syarat yang akan memaksa Hamas menyerah kalah dalam mimpi mereka.
Proposal itu hanya makar licik Zionis dan tuannya (AS). Atas makar ini, para mujahid yang ikhlas tidak akan mudah terkecoh. Perjuangan selama berpuluh-puluh tahun itu pun tidak akan luntur dengan sebuah proposal beracun dan tawaran solusi yang penuh manipulasi.
Yang patut kita prihatin adalah sikap penguasa muslim. Pada saat muslim sedunia berbondong-bondong memberikan dukungan bagi muslim Palestina, para penguasa muslim justru menjadi pengikut rencana (makar) AS dengan solusi dua negara. Mereka menyatakan akan mengakui entitas Zionis jika Zionis mengakui Palestina.
Dukungan negeri-negeri muslim terhadap solusi dua negara yang dirancang AS dan Zionis merupakan pengkhianatan terhadap para syuhada yang membanjiri bumi Palestina dengan darahnya. Bahkan, sikap mereka merupakan pengkhianatan terhadap Allah SWT. dan Rasul-Nya yang memerintahkan untuk menolong saudara muslim lain yang membutuhkan pertolongan.
Allah SWT. berfirman,
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ
“Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.”(QS. At-Taubah: 71).
Allah SWT. juga berfirman,
وَاِنِ اسْتَنْصَرُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ
“Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama (Islam), wajib atas kamu memberikan pertolongan.” (QS. Al-Anfal: 72).
Rasulullah Saw. bersabda di dalam hadis, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan saling mengasihi bagaikan satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh akan merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Juga di dalam hadis, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya (dalam kesulitan).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Umat Islam wajib menolong muslim Palestina. Namun, bukan dengan solusi dua negara karena justru melegalisasi pendudukan oleh Zionis. Gaza tidak butuh solusi dua negara, Gaza hanya butuh pembebasan secara nyata dari penjajah Zionis.
Indonesia sebagai negeri muslim terbesar seharusnya malu, bahkan marah dengan pernyataan pemimpinnya yang justru menampakkan empati pada penjajah. Pemimpin yang demikian ini merupakan akibat kepemimpinan sekuler yang menjauhkan agama dari politik.
Umat Islam Indonesia seharusnya bersegera meninggalkan kepemimpinan sekuler dan mewujudkan kepemimpinan Islam. Hanya kepemimpinan Islam yang akan mampu membela Palestina secara konkret (bukan hanya retorika), yaitu dengan membebebaskannya dari pendudukan Zionis.
Satu-satunya solusi bagi pendudukan Gaza adalah dengan jihad untuk mengusir Zionis dari tanah Syam. Lantas, siapa yang akan mengomando jihad untuk membebaskan Palestina? Kita tidak bisa berharap pada para penguasa muslim yang ada saat ini. Mereka telah terbelenggu dengan ide nasionalisme sehingga memandang persoalan Palestina adalah urusan rakyat Palestina sendiri, bukan urusan mereka. Meski memiliki ribuan tentara, mereka tidak mengirimnya untuk melakukan jihad membebaskan Palestina dari cengkeraman penjajah Zionis.
Padahal, mereka tahu bahwa di Palestina ada Masjidilaqsa yang merupakan tempat mikraj Rasulullah Saw. kiblat pertama, dan salah satu masjid yang umat Islam diperintahkan untuk menziarahinya. Selain itu, Syam adalah tanah yang diberkahi.
Namun, para pemimpin muslim itu telanjur terikat dengan kekuasaannya. Mereka tidak berani melawan AS. Jika melawan, mereka akan kehilangan kekuasaannya. Oleh karenanya, mereka tunduk pada AS meski pembantaian terjadi pada saudaranya sesama muslim.
Satu-satunya negara yang berani melakukan jihad untuk membebaskan Palestina adalah Khilafah. Negara Khilafah telah membebaskan Palestina pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Sejak itu Khilafah selalu menjaga dan melindungi Palestina hingga masa Khilafah Utsmaniyah runtuh pada 1924.
Selepas runtuhnya Khilafah, Palestina kehilangan pelindung dan terus-menerus dirongrong oleh Zionis Yahudi hingga hari ini. Tidak ada yang mengirim pasukan Islam untuk membebaskan Palestina sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khilafah. Oleh karenanya, satu-satunya harapan untuk mewujudkan jihad dalam rangka membebaskan Palestina dari cengkeraman Yahudi adalah dengan mewujudkan negara Khilafah berdasarkan minhaj kenabian.
Khilafah yang nantinya tegak akan menghapus batas imajiner nasionalisme dan menggabungkan seluruh negeri muslim ke dalam pangkuannya. Selanjutnya Khilafah menghimpun kekuatan militer seluruh negeri muslim tersebut sehingga Khilafah memiliki militer yang kuat, baik dari sisi personel aktif, personel cadangan, persenjataan, maupun anggaran. Himpunan kekuatan militer ini akan mampu melawan dan mengalahkan Zionis Yahudi dan tuannya, yaitu AS, hingga entitas Zionis lenyap dari bumi Syam.
Khilafah akan menjadikan pembebasan Palestina sebagai agenda utamanya. Realisasi pembebasan Palestina akan dilakukan sesegera mungkin setelah Khilafah tegak. Khalifah tidak akan menunda-nunda pengiriman pasukan jihad ke Palestina.
Khilafah akan memprioritaskan pengiriman militer dari negeri-negeri yang terdekat dari Palestina, seperti Mesir, Lebanon, Yordania, Suriah, negeri-negeri Arab, Turki, Yaman, dll. Sedangkan negeri-negeri yang jauh seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, dll. tetap dalam posisi siap siaga sehingga ketika dibutuhkan untuk berjihad ke Palestina sewaktu-waktu bisa langsung diberangkatkan.
Untuk menyukseskan pembebasan Palestina, Khilafah akan menyiapkan anggaran tanpa batas, berapa pun anggaran yang dibutuhkan akan disediakan. Ada tiga pos pemasukan baitulmal Khilafah, yaitu pos fai dan kharaj, pos harta milik umum, dan pos zakat (Syekh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah). Jihad fisabilillah bisa mendapatkan dana dari ketiga pos tersebut.
Jika anggaran kurang karena kas baitulmal habis, sedangkan kebutuhan jihad masih belum terpenuhi, Khilafah bisa mengumpulkan dana dari kaum muslim, baik melalui mekanisme dharibah (pajak) maupun sedekah, keduanya bersifat temporer sebatas kebutuhan jihad. Dharibah dipungut dari umat Islam yang kaya saja, sifatnya wajib. Sedangkan sedekah bersifat sunah.
Salah satu contoh sedekah untuk jihad adalah yang dilakukan Utsman bin Affan ra. Pada perang Tabuk, Utsman bin Affan menanggung segala keperluan dan bekal bagi orang-orang yang tidak memiliki bekal. Beliau juga mempersiapkan seribu unta lengkap dengan tempat menaruh barang dan alas pelana. Selain itu, beliau menyedekahkan sumur miliknya untuk keperluan seluruh umat Islam (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir Jilid III, hlm. 42).
Dengan kekuatan politik Khilafah, personel yang memiliki kesadaran Islam yang sahih dan semangat jihad nan membara, juga persiapan militer yang optimal, serta pendanaan yang mencukupi, Khilafah akan siap menggelorakan jihad fisabilillah membebaskan Palestina di bawah komando sang Khalifah. Pembebasan Palestina tidak lagi berupa retorika basi, tetapi menjadi realitas pasti.
Ini sebagaimana bisyarah Rasulullah Saw. “Tidak akan datang hari kiamat sehingga kaum muslim memerangi kaum Yahudi dan membunuh mereka sehingga bersembunyilah orang-orang Yahudi di belakang batu atau kayu lantas batu atau kayu itu berkata, ‘Wahai orang mukmin! Wahai hamba Allah! Ini ada orang Yahudi di belakangku. Kemarilah dan bunuhlah dia.’ Kecuali pohon al-gharqad (yang tidak berbuat demikian) karena ia termasuk pohon Yahudi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mari kita bersama-sama untuk menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah untuk membebaskan tanah umat Islam Palestina dengan jihad fi sabilillah.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar