Oleh : Adrina Nadhirah
Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan berita Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, menggulirkan kebijakan percepatan perputaran dana lewat perbankan negara (HIMBARA). Ia dianggap lebih “berani” dan “pro-pertumbuhan” dibanding Sri Mulyani, yang sebelum ini dikenal lebih konservatif dan berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan fiskal. Tambahan, presiden Jokowi bahkan menyebut pendekatan Purbaya berbeda mazhab tapi sama-sama bagus. (Metrotvnews,2025)
Tujuan kebijakan ini agar dana publik Rp200 Triliun tidak “nganggur” di kas negara, melainkan segera berputar melalui pinjaman atau proyek produktif (CNN Indonesia, 17 September 2025). Ini diangap sudah sejalan dengan ajaran Islam yang tidak membolehkan harta hanya ditimbun tanpa kemaslahatan. Sekilas, kita melihat kebijakan beliau lebih baik berbanding Sri Mulyani yang banyak berfokus pada peningkatan pajak, yang lebih terlihat menyusahkan rakyat.
Namun, perlu dilihat realitasnya bahwa, Himpunan Bank Negara (HIMBARA), BNI, BRI, Mandiri, BTN akan menyalurkan dana tersebut ke lembaga, kementerian, perusahaan atau individu yang bankable. Artinya, dana itu hanya berputar antara mereka yang punya jaminan, asset, dan rekam jejak keuangan yang kuat. Dikarenakan banyak pengusaha kecil belum mampu sampai ke tahap bankable dengan sejumlah persyaratan dan administrasinya, maka dibutuhkan usaha yang lebih agar dana ini bisa diakses oleh sektor UMKM.
Seperti yang diketahui, sektor kecil-menengah inilah roda ekonomi rakyat yang berputar paling nyata. Karena itu, diperlukan sinergi yang lebih aktif antar-kementerian, bukan untuk mengambil dana tersebut, melainkan untuk memastikan masyarakat dan pelaku usaha kecil dapat menjangkaunya.
Kementerian yang membawahi sektor-sektor strategis seharusnya berperan sebagai jembatan antara rakyat dan perbankan yaitu dengan memberikan rekomendasi, membentuk kelompok usaha binaan, serta mengawal proses pembiayaan bersama bank penyalur. Dengan cara ini, dana publik yang besar tidak berhenti di meja lembaga keuangan, tetapi benar-benar mengalir ke usaha produktif yang memberi manfaat luas. BUMN seperti BRI yang memang merupakan bank klaster kecil harusnya bisa mengusahakan agar sektor riil umum bisa mengakses dana dari bank penyalur.
Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Hasyr: 7,
Ù„ِÙƒَÙŠْ Ù„َا ÙŠَÙƒُونَ دُولَØ©ً بَÙŠْÙ†َ الْØ£َغْÙ†ِÙŠَاءِ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ
“... supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Pertanyaannya sekarang, apakah uang rakyat ini benar-benar akan kembali ke rakyat?
Karena sebesar apa pun angkanya, jika hanya berputar di kalangan yang sudah kuat, rakyat kecil hanya akan jadi penonton. Islam mengajarkan bahwa keberkahan datang ketika harta berputar di tangan banyak orang, bukan segelintir pemilik modal.
Maka, tugas kita bukan sekadar memastikan uang itu berputar, tetapi juga memastikan agar pengusaha-pengusaha yang layak berkembang, bisa mengakses dana tersebut alias menuntut distribusi yang lebih merata.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian. 


 
 
 
 
 
 
0 Komentar