Fatherless Kian Populer, Buah Kehidupan Kapitalistik-Sekuler


Oleh : Lintang Kencana Wulandari

Fenomena “fatherless generation” atau generasi tanpa peran ayah tengah menjadi alarm sosial serius di Indonesia. Istilah ini tidak hanya menunjuk pada anak-anak yang benar-benar kehilangan ayah karena perceraian atau kematian, tetapi juga mereka yang “kehilangan figur ayah” secara psikis dan sosial—ayahnya ada secara fisik, namun absen secara emosional, pendidikan, dan spiritual.

Data dari berbagai lembaga menunjukkan kondisi ini bukan kasus kecil. Laporan VOI (2025) mencatat, lebih dari 25 juta anak Indonesia tumbuh tanpa peran aktif seorang ayah. Bahkan menurut kajian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta psikolog anak Seto Mulyadi (Kak Seto), angka anak dengan pengalaman “fatherless” bisa mencapai 60–70% dari total populasi anak Indonesia.

Kondisi ini telah menimbulkan gelombang perhatian publik. Melalui media sosial, ribuan testimoni dan curahan hati anak-anak yang merasa kehilangan sosok ayah membanjiri jagat maya. Seperti dilaporkan Kompas.id (2025), kampanye digital bertagar #FatherlessIndonesia viral di X dan Instagram. Banyak anak dan remaja berbagi kisah pilu tentang ayah yang sibuk bekerja, ayah yang absen dalam pendidikan, bahkan ayah yang tak pernah bicara kecuali untuk menegur.

Fenomena ini menunjukkan bahwa fatherless tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah buah dari sistem kehidupan yang salah arah, di mana peran ayah terkikis oleh tuntutan ekonomi dan nilai-nilai individualistik yang ditanamkan oleh sistem kapitalisme sekuler.


Fakta Sosial: Jutaan Anak Tumbuh Tanpa Peran Ayah

Dalam konteks Indonesia, problem fatherless tidak hanya ditandai dengan ketiadaan ayah biologis, tetapi lebih dalam: ketiadaan peran ayah sebagai pendidik, teladan, dan pelindung.

Laporan Kompas.id (April 2025) berjudul “Lewat Media Sosial, Dukungan untuk Fatherless Mengalir” menyoroti bahwa fenomena ini semakin terlihat di era digital. Anak-anak kini mengekspresikan kekosongan emosional mereka di dunia maya, karena mereka merasa tidak punya figur ayah yang bisa dijadikan tempat bercerita.

Artikel lain di Kompas.id (2025) bertajuk “Bagaimana Dampak Ketiadaan Sosok Ayah bagi Tumbuh Kembang Anak” menjelaskan bahwa anak-anak fatherless cenderung mengalami krisis identitas, rendah diri, depresi, dan kesulitan membangun kelekatan sosial. Mereka kehilangan arah dalam memahami makna kepemimpinan, kasih sayang, dan tanggung jawab.

Psikolog dari Universitas Indonesia, Anastasia Widya, menjelaskan bahwa peran ayah bukan hanya menyediakan kebutuhan ekonomi, tetapi juga menanamkan rasa aman dan batas moral. Tanpa figur ayah, banyak anak tumbuh dengan karakter rapuh, mudah terseret pergaulan bebas, dan kehilangan figur disiplin yang menyeimbangkan kelembutan ibu.

Fenomena ini juga diperparah oleh tingginya angka perceraian di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat ada lebih dari 500 ribu kasus perceraian, dengan mayoritas disebabkan oleh faktor ekonomi. Setelah perceraian, banyak ayah kehilangan kontak dengan anak-anak mereka.

Selain itu, faktor urbanisasi dan tuntutan kerja juga memaksa jutaan ayah menjadi “ayah jarak jauh”. Banyak di antara mereka bekerja di luar kota bahkan luar negeri, hanya pulang beberapa bulan sekali. Secara ekonomi mereka hadir, tetapi secara emosional mereka absen.


Analisis: Fatherless sebagai Buah Sistem Kapitalisme Sekuler

Fenomena fatherless tidak bisa dilepaskan dari struktur ekonomi dan ideologi yang melingkupi masyarakat modern. Sistem kapitalisme sekuler menempatkan nilai materi sebagai tujuan hidup utama, sementara aspek spiritual dan sosial dianggap sekunder.
Dalam sistem ini, laki-laki didefinisikan sebagai mesin pencari nafkah, bukan pemimpin keluarga secara spiritual dan moral. Jam kerja panjang, tekanan ekonomi, dan kompetisi ekstrem menjauhkan ayah dari rumah dan dari peran pendidik.

Banyak ayah terjebak dalam pola hidup “9 to 9”—berangkat sebelum anak bangun, pulang setelah anak tidur. Sebagian besar energi terkuras untuk memenuhi kebutuhan finansial yang terus meningkat, akibat biaya hidup mahal, harga kebutuhan pokok yang melonjak, serta sistem ekonomi yang menuntut produktivitas tanpa henti.

Artikel VOI.id (2025) dengan judul “Desakan Ekonomi, Jutaan Anak Indonesia Fatherless” menyebut bahwa faktor ekonomi adalah penyebab dominan hilangnya figur ayah. Di banyak keluarga kelas menengah, tekanan biaya pendidikan dan perumahan membuat ayah bekerja ganda, bahkan sampai kehilangan waktu untuk mendampingi anak-anaknya.

Sistem kapitalisme juga menghapus makna kepemimpinan keluarga (qawwamah) yang diatur Islam. Laki-laki seharusnya menjadi qawwam—pemimpin, pelindung, dan pengarah spiritual bagi keluarganya. Namun, dalam sistem sekuler, konsep qawwamah digantikan dengan “peran ekonom utama” semata. Akibatnya, ketika seorang ayah gagal memenuhi ekspektasi ekonomi, ia kehilangan rasa percaya diri dan otoritas moral di rumah.

Selain itu, sistem sosial kapitalistik yang menonjolkan individualisme menjauhkan anggota keluarga dari nilai kebersamaan. Televisi, gawai, dan media sosial menggantikan komunikasi tatap muka. Maka, ayah tidak hanya absen secara fisik, tapi juga secara emosional dan spiritual.


Dampak Generasi Fatherless terhadap Masa Depan Bangsa

Generasi fatherless menimbulkan krisis multi-dimensi. Secara psikologis, anak-anak fatherless cenderung mengalami kecemasan sosial, kehilangan arah, dan krisis identitas gender. Mereka kesulitan memahami peran maskulinitas positif karena tidak memiliki model langsung di rumah.

Penelitian The Fatherhood Institute (2024) menunjukkan bahwa anak laki-laki tanpa figur ayah lebih berisiko melakukan kenakalan remaja, terlibat penyalahgunaan narkoba, dan memiliki tingkat putus sekolah yang lebih tinggi. Sementara anak perempuan fatherless lebih rentan terhadap kekerasan dalam pacaran dan gangguan emosional.

Di Indonesia, berbagai lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti keterkaitan antara ketiadaan figur ayah dan meningkatnya kasus kenakalan remaja serta depresi di kalangan anak muda.

Dalam jangka panjang, fenomena ini bisa memicu degradasi kualitas generasi bangsa. Sebab, peran ayah tidak tergantikan oleh lembaga pendidikan atau ibu semata. Ayah adalah figur kepemimpinan pertama yang memperkenalkan nilai tanggung jawab, disiplin, dan arah moral.


Konstruksi Islam: Ayah Sebagai Qawwam dan Teladan Pendidikan

Islam memiliki pandangan yang komprehensif terhadap peran ayah. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah qawwam atas kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa [4]: 34)

Ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi qawwam — penjaga, pelindung, dan pemimpin keluarga yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan material dan spiritual keluarganya.

Teladan terbaik dapat kita temukan pada kisah Luqman al-Hakim. Dalam surah Luqman ayat 13–19, diceritakan bagaimana Luqman mendidik anaknya dengan penuh hikmah, kasih sayang, dan ketegasan moral. Ia mengajarkan tauhid, adab, dan tanggung jawab sosial. Ini menunjukkan bahwa ayah dalam Islam adalah pendidik utama karakter anak, bukan sekadar pemberi uang.

Islam juga menegaskan bahwa ibu dan ayah memiliki peran saling melengkapi. Ibu berperan besar dalam pengasuhan dan kelembutan emosional, sementara ayah mengajarkan struktur, disiplin, dan arah hidup. Ketika salah satu peran ini hilang, keseimbangan pendidikan anak terganggu.


Peran Negara dalam Sistem Islam: Menopang Fungsi Ayah

Dalam sistem Islam, tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak tidak semata dibebankan pada keluarga, tetapi negara memiliki peran besar dalam menopang fungsi ayah.

Negara wajib:
1. Menjamin lapangan kerja yang layak dan gaji mencukupi agar ayah tidak harus bekerja berlebihan.
2. Menstabilkan harga kebutuhan pokok dan memberikan jaminan sosial sehingga keluarga tidak tertekan secara ekonomi.
3. Menyediakan waktu kerja manusiawi, agar para ayah memiliki waktu cukup untuk mendampingi anak-anak mereka.

Dengan demikian, sistem Islam menghapus akar penyebab fatherless, yaitu tekanan ekonomi dan disfungsi sosial akibat kapitalisme.

Selain itu, dalam Islam, sistem perwalian (wilayah) menjamin setiap anak yang kehilangan ayah akan memiliki figur wali laki-laki yang menggantikan perannya dalam bimbingan dan perlindungan. Rasulullah ï·º bersabda: “Aku dan orang yang menanggung anak yatim akan berada di surga seperti ini.” (HR. Bukhari)

Artinya, tidak ada anak yang kehilangan figur ayah secara total dalam masyarakat Islam. Sistem sosial Islam akan memastikan setiap anak memiliki pelindung dan panutan moral.


Sistem Islam Menjawab Krisis Fatherless

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menyerahkan nasib keluarga pada pasar, Islam membangun masyarakat berbasis akidah dan tanggung jawab kolektif.

Dalam sistem Khilafah, negara mengatur ekonomi agar tidak menindas kepala keluarga. Upah diatur adil, pajak tidak memberatkan, dan kebutuhan pokok rakyat dijamin. Negara juga menyediakan pendidikan berbasis akhlak dan iman, yang menanamkan peran ayah sejak dini sebagai pemimpin keluarga.

Dengan sistem ini, ayah tidak perlu menjadi “robot ekonomi” yang kehilangan makna hidup. Ia bisa menjalankan fungsi spiritual, sosial, dan emosional secara seimbang.

Ketika sistem Islam ditegakkan, keluarga menjadi unit pendidikan utama, bukan korban tekanan ekonomi. Ayah hadir, ibu tenang, anak bahagia. Inilah fondasi kokoh peradaban Islam yang melahirkan generasi tangguh seperti Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid, dan Abdullah bin Umar—anak-anak yang tumbuh dalam bimbingan ayah beriman dan negara yang menegakkan syariat.

Fenomena fatherless adalah potret kegagalan peradaban kapitalistik dalam menjaga nilai keluarga. Sistem ini menjadikan ayah sekadar pencari nafkah, bukan pemimpin spiritual dan pendidik utama. Akibatnya, jutaan anak tumbuh kehilangan arah, kehilangan kasih sayang, dan kehilangan figur teladan.

Islam menawarkan solusi yang bukan tambal sulam, tetapi solusi sistemik dan ideologis. Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, peran ayah dipulihkan sebagai qawwam, negara hadir sebagai penopang keluarga, dan masyarakat bergerak sebagai pelindung anak-anaknya.

Hanya dalam naungan sistem Islam, tidak akan ada generasi fatherless, karena setiap anak akan memiliki figur ayah, baik biologis maupun sosial, yang menuntun mereka menuju keimanan, akhlak, dan kemuliaan hidup.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar