Oleh : Herliana Tri M
Dilansir detik.com, 09/10/2025 menyampaikan bahwa Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Prof Abdul Kadir mengungkapkan adanya risiko defisit anggaran di tahun depan. Salah satu faktor penyebab defisit adalah tidak adanya kenaikan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Diperkirakan berdasarkan perhitungan aktual, kemampuan bertahan (hanya) sampai bulan Juni 2026," kata Abdul kepada awakmedia di Jakarta Pusat.
"Bulan Juni 2026, kami masih mampu, tapi setelahnya, mungkin kami akan defisit anggaran," sambungnya. Dan salah satu skenario yang dibahas, antara lain terkait penyesuaian tarif iuran atau kenaikan premi.
Defisit Anggaran, Haruskah Menaikkan Premi?
Presiden Prabowo Subianto, menugaskan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) membereskan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurutnya, pengelolaan BUMN saat ini banyak yang tidak masuk akal, dari jumlah komisaris yang terlalu banyak sampai besaran tantiem yang diterima.
Apa yang disampaikan oleh Presiden RI ini setidaknya juga memberikan gambaran apa yang terjadi pada BPJS. Pada laporan bulanan BPJS Kesehatan, beban insentif direksi kesehatan dalam setahun dianggaran Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) sebesar Rp32,9 miliar dibagi untuk 8 orang direksi BPJS Kesehatan tahun 2019. Artinya dari jumlah 8 direksi, mendapatkan Rp 4,11 miliar per tahun per orang atau sekitar Rp342,6 juta per bulan/per orang (merdeka.com, 21/01/2025)
Sementara pada periode yang sama beban insentif dewan pengawas BPJS Kesehatan untuk 7 orang pengawas rata-rata Rp2,55 miliar. Namun untuk data terbaru di tahun 2025 belum ada informasi lanjutan terkait RKAT yang baru. Tentu gaji sebesar ini sangatlah fantastis di tengah kondisi masyarakat yang sulit. Lebih- lebih lagi dinyatakan kondisi BPJS sedang defisit dan solusi yang diambil adalah dengan membebankan kekurangan biaya pada rakyat.
Mendudukkan Posisi BPJS
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sering di anggap sebagai kepedulian negara terhadap pelayanan kebutuhan vital masyarakat. Salah satunya adalah kesehatan. Benarkah demikian? Jaminan pelayanan kesehatan idealnya menjadi tanggung jawab negara. Namun kini dialihkan ke tangan rakyat melalui penetapan premi kesehatan. Rakyat tetap harus membayar premi walaupun tidak sedang mendapatkan layanan kesehatan.
Secara idealnya, pelayanan kesehatan yang didapat rakyat harusnya diterima secara gratis, atau murah. Namun, kini harus dibisniskan ala “asuransi”. Tanpa mengindahkan penderitaan rakyat.
Pada bulan September 2019, pemerintah telah menaikkan iuran (premi) BPJS Kesehatan sebesar 100%. Kebijakan ini ditetapkan setelah sebelumnya BPJS mengalami defisit yang cukup parah, diperkirakan hingga Rp 32,89 triliun. Meskipun premi naik, nyatanya persoalan ini belumlah usai hingga kini.
Permasalahan BPJS sebagai pemegang pelayanan kesehatan masyarakat tak hanya masalah kenaikan premi saja, namun di lapang, ditemukan banyak sekali permalahan yang tak terselesaikan.
Keluhan atas buruknya penanganan BPJS Kesehatan tidak hanya berasal dari peserta BPJS semata, tetapi juga datang dari rumah sakit, dokter dan rekanan-rekanan rumah sakit. Banyak rumah sakit yang harus nalangi dan utang ke apotik maupun perusahaan-perusahaan alat kedokteran. Dokter dipaksa bekerja keras dengan imbalan “ala kadarnya”. Dengan alasan mengatasi defisit yang terus membengkak.
Disisi lain rakyat harus pasrah menerima pelayanan kesehatan ala kadarnya, juga perlu bersabar dengan birokrasi yang rumit ditengah pasien yang perlu segera mendapatkan penanganan medis.
Ironisnya, Pemerintah bukannya mengevaluasi dan memperbaiki kinerja BPJS, melainkan justru menyiapkan aturan yang secara otomatis bisa memberi sanksi bagi para penunggak premi BPJS, seperti saat mengurus perpanjangan SIM, IMB, dan lain sebagainya.
Artinya, keberadaan BPJS membebani rakyat dengan syarat- syarat mengikat dan memaksanya, bukan memberi solusi atas problem kesehatan masyarakat.
Kesalahan Mendasar
Kisruh BPJS Kesehatan tentu tidak bisa dipisahkan dari paradigma negara dalam menyelenggarakan urusan masyarakat dan negara. Kebutuhan vital rakyat, semacam kesehatan, seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Negara berkewajiban menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas secara gratis hingga setiap individu rakyat mampu mengaksesnya dengan mudah.
Pelayanan kesehatan tidak boleh dipandang sebagai jasa yang mewajibkan kompensasi. Jaminan pelayanan kesehatan masyarakat ditanggung sepenuhnya oleh negara. Jaminan negara atas kesehatan tidak boleh diwujudkan melalui mekanisme asuransi. Tak boleh rakyat diperlakukan layaknya nasabah perusahaan asuransi, seperti yang dilakukan Pemerintah melalui BPJS. Inilah pentingnya negara hadir dengan mengelola kekayaan alam untuk memberikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Salah satunya digunakan untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi rakyatnya.
Apabila kondisi BPJS ini terus berlanjut, maka keberadaan BPJS bukanlah menyelesaikan masalah kesehatan, tetapi memperumit alur masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap kesehatan. Masyarakat tak diberi pilihan untuk ikut serta sebagai peserta BPJS atau tidak. Memaksa rakyat untuk menjadi anggota, menerima setiap saat jika premi naik bahkan sanksi administratif saat rakyat tak mampu bayar karena kondisi ekonomi.yang semakin sulit.
Sudah waktunya negara hadir sebagai pelayan rakyat yang mengurus kehidupan bernegara layaknya interaksi ibu dengan anaknya, bukan memperlakukan rakyat layaknya pedagang dengan konsumennya.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar