Bukan Cuaca, Tapi Salah Tata Kota: Islam Punya Solusinya


Oleh: Eka Sulistya

Pemerintah Kota Bekasi menetapkan status siaga darurat banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor sejak 3 Oktober 2025 hingga 30 April 2026 berdasarkan Keputusan Wali Kota Nomor 300.2.1/Kep.627-BPBD/X/2025. Wali Kota Tri Adhianto menyebut bahwa proses normalisasi Kali Bekasi belum optimal, sehingga potensi banjir masih tinggi di sejumlah wilayah rawan. Sebagai langkah mitigasi, BNPB mengaktifkan sistem peringatan dini (Early Warning System/EWS) untuk memantau tinggi muka air secara real-time. Sementara warga diimbau tetap waspada dan mengikuti arahan resmi dari BPBD dan BMKG.


Analisa Akar Masalah

Akar utama bencana banjir di Kota Bekasi bukan semata hujan lebat, melainkan kombinasi tata ruang yang lemah dan mitigasi yang tidak optimal. Banyak pembangunan di zona rawan — misalnya bantaran sungai, saluran air, atau lahan semula terbuka — yang melanggar regulasi tata ruang (zona banjir, sempadan sungai) untuk mengejar keuntungan lahan.

Upaya seperti revitalisasi sungai atau normalisasi sering bersifat simbolis. Hal ini terlihat dari pengumuman besar-besaran, tetapi kapasitas sungai, saluran air, dan sistem drainase belum dipulihkan secara nyata ataupun diawasi berkelanjutan. Hal ini menghasilkan kondisi di mana ketika hujan besar datang, sistem drainase tidak siap menangani limpasan air dari wilayah terbangun. Alih fungsi lahan terbuka menjadi bangunan mempercepat aliran permukaan, mengurangi kapasitas resapan dan ruang. 


Solusi Islam terhadap Banjir dan Tata Ruang yang Rusak

Dalam pandangan Islam, negara memiliki peran sebagai Raa’in wa Junnan, pengurus dan pelindung bagi rakyatnya. Negara wajib melindungi umat dari segala bentuk bahaya, termasuk bencana alam. Hal ini dilakukan melalui kebijakan mitigasi yang terencana, adil, dan berpijak pada syariat. Bukan pada kepentingan proyek atau pencitraan politik.

1. Negara sebagai Pengurus dan Pelindung Rakyat
Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab memastikan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks bencana, negara tidak hanya bergerak saat musibah datang, tetapi membangun sistem pencegahan sejak awal. Memperkuat drainase, menjaga daerah resapan air, serta memastikan wilayah rawan banjir tidak dieksploitasi. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Pembangunan Tunduk pada Syariat
Dalam Islam, pembangunan tidak boleh lepas dari hukum syariah. Daerah resapan air, hutan lindung, dan bantaran sungai termasuk kepemilikan umum yang haram dijadikan objek bisnis atau hunian pribadi. Negara wajib menata ruang dan kota demi kemaslahatan umat, bukan untuk keuntungan segelintir pihak. Rasulullah ï·º bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Artinya, sumber daya alam dan lingkungan hidup harus dijaga sebagai milik bersama, bukan dikuasai oleh individu atau korporasi.

3. Penegakan Hukum dan Kesadaran Taqwa
Islam menegakkan hukum secara adil dan tegas, tanpa pandang bulu. Siapa pun yang merusak tata ruang, menutup saluran air, atau membangun di lahan publik akan dikenai sanksi syariah yang menjerakan, karena perbuatannya tergolong fasad fil ardh (merusak bumi). Negara juga menanamkan kesadaran taqwa kepada masyarakat bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ketaatan kepada Allah. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)

4. Mitigasi yang Terencana, Bukan Seremonial
Negara Islam menyusun kebijakan mitigasi dengan prinsip pencegahan sebelum bencana (dar’ul mafsadah). Sistem drainase, sungai, dan daerah aliran air dipelihara dengan dana dari Baitul Mal, bukan dari proyek pinjaman atau agenda politik. Revitalisasi dilakukan dengan tujuan meningkatkan kapasitas air dan melindungi nyawa rakyat, bukan sekadar formalitas atau pencitraan.

5. Kemaslahatan dan Keberlanjutan
Islam menempatkan kemaslahatan umat dan kelestarian bumi di atas kepentingan ekonomi sesaat. Tata kota, pembangunan, dan pengelolaan sumber daya alam diarahkan agar manusia hidup harmonis dengan alam, sesuai fitrah yang Allah ciptakan. Dengan sistem ini, bencana bukan lagi menjadi “langganan tahunan”, melainkan sesuatu yang bisa dicegah melalui pengelolaan amanah secara syar’i dan penuh tanggung jawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar