Meningkatnya Angka Perceraian, Kemana Lagi Mencari Kedamaian?


Oleh : Zulfiqi Hikma

Zaman semakin modern, teknologi terus berkembang, komunikasi semakin mudah, mencari berita dan ilmu pengetahuan tinggal scroll dilayar handphone tanpa perlu bersusah payah. Namun, kemajuan yang terus melesat ini, tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan dan kedamaian dalam berumah tangga. Terbukti dari meningkatnya angka perceraian baik di daerah maupun di tingkat nasional, sementara angka pernikahan justru menurun ( www.Kompas.id, 7/11/ 2025 )


Padahal, keluarga merupakan kerabat terdekat, ruang perlindungan pertama, tempat istirahat, berkeluh kesah, serta melepas penat dari rutinitas dan tekanan pekerjaan. Keluarga juga merupakan sekolah pertama yang membangun karakter dan kemampuan anak sebagai penerus generasi. 

Namun, jika kita cermati keluarga saat ini kebanyakan kurang peduli pada nilai-nilai dalam keluarga maupun pendidikan generasi. Paham memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari-lah yang membuat keluarga tidak lagi memiliki visi-misi Islami. Pemenuhan hak dan kewajiban dalam keluarga hanya pada sebatas materi. Tujuan berkeluarga menjadi semu tak lagi kokoh akibat berpegang pada nilai yang salah. Hal ini yang membuat ketahanan keluarga menjadi rapuh. Tak ayal, rapuhnya ketahanan keluarga menjadi faktor utama penyebab rapuhnya generasi.

Belum lagi, banyaknya tindak kriminal yang terjadi ditengah keluarga saat ini membuat hilangnya kepercayaan terhadap orang lain termasuk pada keluarga terdekat sendiri. Bahkan hal ini membuat banyak dari individu tak lagi bisa membedakan kebaikan dan keburukan. Akhirnya bermunculanlah manusia-manusia hampir tak berhati nurani, produk rusaknya nilai keluarga. Kriminalitas ditengah keluarga muncul dengan kekejian diluar batas. 

Dewasa ini, pernikahan hanya dipahami sebagai status. Sehingga, muncullah pemahaman pernikahan hanya menjadi beban kewajiban, tekanan emosi dan keuangan. Maka dapat dimengerti mengapa angka perceraian meningkat, dan angka pernikahan menurun. Hal ini terjadi akibat salahnya individu dalam memaknai nilai pernikahan. Dan lagi gaya hidup dalam sistem kapitalisme saat ini membuat semakin banyaknya tekanan dalam berkeluarga.

Pernikahan yang diharapkan sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani dan rohani, malah menjadi beban dan tekanan. Sejatinya, pernikahan bukanlah sekedar mempersatukan dua insan dengan latar belakang, watak dan karakter yang berbeda. Bukan juga sekedar disebabkan adanya cinta yang berdasar nafsu seksual. Tetapi, dalam pernikahan ada nilai ibadah terpanjang yang akan mendapat kebaikan jika dijalani sesuai nilai-nilai agama.

Rusaknya bangunan pernikahan juga bisa disebabkan kebebasan pergaulan sejak dini. Seperti yang pernah diungkap Ibu Elly Risman, Psikolog Spesialis Pengasuhan Anak dalam salah satu tayangan podcast. Beliau menyampaikan, bahkan anak usia TK kini, sudah memiliki pacar. Anak-anak yang masih butuh bimbingan untuk mengenal benar-salah, malah diberi kebebasan tanpa pagar. 

Generasi yang tangguh, tidak tercipta dalam semalam. Butuh kerjasama berbagai pihak, sepanjang kehidupannya, bahkan dimulai sejak pemilihan calon ibu dan bapak. Lingkungan tempat ia lahir, dan tumbuh, pola pengasuhan, kata-kata yang ia dengar sejak dalam kandungan, tekanan emosi yang dirasakan ibu ketika mengandung. Semua itu bisa mempengaruhi pembentukan karakter seorang anak.


Islam Pengokoh Tiang Keluarga

Sebagai ideologi yang memiliki pengaturan berbagai permasalahan dalam kehidupan, Islam tentu memiliki sistem yang bisa diterapkan dan menjadi jalan keluar. Hal yang wajib dimiliki setiap individu dalam Islam adalah penanaman Aqidah. Yakni, keyakinan identitas diri sebagai makhluk Allah yang diciptakan semata untuk beribadah, sehingga tidak memiliki tujuan utama lain yang diupayakan dalam hidupnya. Bukan kekayaan, ketenaran, kepemilikan barang mewah maupun jabatan yang menjadi tujuan. Jika pun semua itu dimiliki, maka kebermanfaatan untuk orang banyak akan diutamakan, karena semata berharap pada keridhoan dan keberkahan dari Sang Maha Pemberi. 

Keyakinan adanya hari pertanggung jawaban menjadikan siapapun akan berfikir berkali lipat sebelum melakukan sebuah kejahatan. Senantiasa diawasi malaikat, tidak ada satupun yang terlewat dan tersembunyi bahkan ditempat yang tiada siapapun, layaknya diintai cctv, pastinya membuat orang yang meyakininya akan sangat berhati-hati.
 
Dalam kehidupan sosial pun, seseorang dengan keyakinan adanya surga dan neraka tidak akan menganiaya dan berbuat semaunya. Setiap individu harus menjaga pandangan, memastikan diri maupun orang lain tidak melakukan penyimpangan dan kerusakan. Pun berusaha membersihkan hati dari sifat iri dengki kepada sesama.
 
Sistem pendidikan yang dibangun pun, tetap menjaga batasan dan dengan kurikulum membangun karakter manusia seutuhnya. Menjaga pergaulan sehingga tidak ada celah untuk menyakiti hati maupun fisik. Serta menjaga akal dengan menyibukkan diri dengan ilmu dan karya. 

Dalam Islam negara pun hadir melayani rakyat. Bukan hanya melayani pedagang, layaknya pada masa kini dimana sistem kapitalisme yang digunakan.
 
Maka jika semua aturan diterapkan, tiap individu akan terjaga dalam kebaikan, memahami peran, hak dan kewajibannya di dalam rumah tangga serta kehidupan bermasyarakat. Anak-anak akan lahir di keluarga penuh kasih sayang, belajar menilai dengan benar dibawah bimbingan wahyu Sang Maha Pencipta.

Setiap individu akan dibimbing dan diawasi masyarakat serta negara sebagai penjamin hak tiap individu.

Inilah gambaran kesempurnaan penerapan Islam sebagai ideologi dalam semua sistemnya. Tidak akan membawa manusia kepada kehancuran seperti saat ini, dimana aturan Tuhan disingkirkan dan manusia kehilangan jati dirinya sebagai hamba.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar