Oleh : Ibu Arum
Derasnya arus digitalisasi yang menjalar ke seluruh aspek kehidupan hari ini telah membuka sebuah realitas pahit: generasi muda kita berada di tepi jurang kerentanan yang semakin menganga. Ruang digital yang pada awalnya diproyeksikan sebagai medium kemajuan, pendidikan, dan keterhubungan global, justru menjadi kanal yang membanjiri generasi dengan konten-konten merusak. Di balik layar gawai yang tak pernah lepas dari tangan mereka, tersembunyi ancaman yang menggerogoti akal, memudarkan akhlak, dan mengaburkan nilai keimanan.
Fakta lapangan sulit dibantah. Konten-konten digital hari ini tidak hanya mempengaruhi cara berpikir anak muda, tetapi juga membentuk cara mereka memandang hidup, bersikap, dan memaknai agama. Paparan ide-ide liberal, hedonisme, pornografi, perjudian digital, hingga normalisasi gaya hidup permisif telah mengukuhkan lahirnya generasi yang terbelah secara kepribadian (split personality): tampak saleh di ruang publik, namun rapuh di ruang privat; mengenal agama sebatas simbol, namun gaya hidupnya diatur oleh ritme sekularisme yang tak mereka sadari.
Kemajuan teknologi sesungguhnya bersifat netral. Ia bisa menjadi sarana dakwah dan kemajuan, tetapi juga bisa menjelma menjadi bencana yang menghancurkan fondasi moral masyarakat. Ketika akses terhadap konten merusak terbuka 24 jam, ketika algoritma bekerja tanpa nilai, dan ketika anak-anak dibiarkan berhadapan dengan dunia yang jauh lebih besar daripada kemampuan berpikir mereka, maka kehancuran generasi hanyalah soal waktu. Inilah realitas yang sedang kita saksikan, bahkan dengan mata telanjang.
Paradigma Sekuler Modern dalam Memandang Ruang Digital
Akar persoalan sebenarnya lahir dari sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Selama sekularisme menjadi dasar pengaturan masyarakat, kerusakan akan terus muncul dalam bentuk baru.
Permasalahan semakin pelik ketika negara, dalam paradigma sekuler modern, tidak benar-benar hadir sebagai pelindung generasi. Negara yang mengadopsi prinsip pemisahan agama dari kebijakan, pada akhirnya memandang ruang digital bukan sebagai amanah moral, melainkan sekadar sektor ekonomi dan kebebasan pasar. Regulasi dibuat tidak berdasarkan benar-salah menurut nilai ilahiah (syarak), tetapi berdasarkan untung-rugi dan tuntutan industri. Alhasil, konten berbahaya tetap mengalir deras; sementara edukasi moral hanya menjadi slogan seremonial tanpa daya paksa.
Ketiadaan visi perlindungan generasi dalam tata kelola negara membuat para orang tua dan pendidik seolah berperang sendirian melawan gelombang besar yang tidak mungkin dihentikan hanya dengan nasihat dan larangan. Di titik inilah pentingnya kita kembali pada prinsip Islam tentang peran otoritas publik sebagai rā‘in (pengurus) dan junnah (pelindung). Islam meletakkan kewajiban menjaga masyarakat bukan hanya dari ancaman fisik, tetapi juga dari kerusakan moral dan intelektual. Melindungi akal, menjaga kehormatan, mengamankan generasi, ini semua merupakan bagian dari tujuan syarak yang tidak boleh dinegosiasikan.
Jika prinsip syarak diterapkan secara menyeluruh dalam pengelolaan ruang digital, maka penyaringan konten tidak hanya bersifat administratif, tetapi berbasis pada standar halal-haram yang jelas. Konten yang merusak akal, moral, dan tatanan sosial dicegah bukan karena alasan ekonomi, melainkan karena ia bertentangan dengan syariat Islam. Teknologi yang canggih dapat diarahkan menjadi alat pemurni ruang publik, bukan sekadar mesin hiburan. Ruang digital harus difungsikan sebagai wadah penyebaran ilmu, pendidikan karakter, dan penguatan dakwah; bukan sebagai pasar bebas bagi kerusakan.
Islam Menyelamatkan Generasi dari Kerusakan Ruang Digital
Dalam pandangan Islam, penyelamatan generasi dari kerusakan ruang digital bukan sekadar seruan moral, tetapi kewajiban negara sebagai râ‘in dan junnah. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas urusan mereka.” Karena itu, negara tidak boleh absen ketika konten digital merusak akidah, akhlak, dan pola pikir generasi muda. Syariat justru memerintahkan negara menutup semua pintu kerusakan (dar’ul mafsadah), menggunakan teknologi terbaik untuk memblokir pornografi, judi online, eksploitasi, dan seluruh bentuk konten yang mengikis moral serta identitas keislaman. Kebijakan ini bukan sensor sempit, tetapi langkah wajib untuk menjaga kehormatan dan keselamatan masyarakat.
Islam juga tidak hanya mencegah keburukan, tetapi mengarahkan ruang digital menjadi sarana pendidikan dan pembinaan umat. Negara memastikan ruang maya dipenuhi konten edukatif yang sahih, memperkuat akidah, tsaqafah Islam, dan identitas generasi Muslim. Prinsip ini selaras dengan firman Allah Swt., “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6). Maka ruang digital, dalam sistem Islam, bukan lahan bebas nilai, tetapi wahana dakwah dan penguatan karakter.
Islam menawarkan solusi yang menyeluruh melalui penerapan syariat secara kaffah, yang menghapus sumber-sumber kerusakan sekaligus menegakkan sistem sosial yang dibangun di atas takwa. Sebagaimana firman Allah Swt., “Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul…”(QS. An-Nisa: 59), seluruh kebijakan digital pun harus tunduk pada syariat. Dengan itu, ruang digital menjadi terjaga dan generasi kembali kuat.
Pada akhirnya, penyelamatan generasi tidak cukup dengan literasi digital atau imbauan moral; ia membutuhkan sistem yang benar. Islam menawarkan sistem tersebut secara menyeluruh. Karena itu, memperjuangkan tegaknya syariat Islam menjadi kebutuhan mendesak untuk melindungi generasi Muslim dari degradasi moral di era digital.
Wallahu A'lam Bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar