Bencana Sumatra: Akibat Kerusakan Alam Dalam Sistem Kapitalisme


Oleh : Hanum Hanindita, S.Si (Penulis Artikel Islami)

Bencana longsor hingga banjir bandang menerjang sebagian wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, dan beberapa lainnya. Penyebabnya tidak hanya karena faktor curah hujan yang sampai pada puncaknya, banjir bandang terlihat sangat parah karena diiringi oleh menurunnya daya tampung wilayah. 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat kenaikan jumlah korban meninggal dalam banjir Sumatra pada Rabu, 10 Desember 2025. Dalam dashboard geoportal penanganan darurat banjir dan tanah longsor di Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, BNPB mencatat jumlah korban meninggal sebanyak 969 orang. Rinciannya, korban meninggal di Aceh mencapai 391 orang. Kemudian Sumatera Barat 238 jiwa dan 340 di Sumatera Utara. (tempo.co, 10-12-25)

Isu deforestasi dan pembalakan liar menjadi penyebab banjir bandang dan longsor di sejumlah wilayah di Pulau Sumatra mencuat. Hal ini muncul karena viralnya di medsos video gelondongan kayu yang terseret arus banjir.


Bukan Sekadar Faktor Alam

Dilansir dari cnnindonesia.com (08-12-25), Kementerian Kehutanan sendiri menemukan lima lokasi penebangan hutan yang tidak sesuai aturan. Kelimanya diduga jadi pemicu banjir Sumatra. Dirjen Penegakan Hukum Kehutanan Dwi Januanto Nugroho mengatakan dari hasil analisis awal, selain curah hujan ekstrem ada indikasi kerusakan lingkungan di hulu daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru dan Sibuluan. Ia menyebut hilangnya tutupan hutan di lereng dan hulu DAS diduga menurunkan kemampuan tanah menyerap air, sehingga hujan ekstrem lebih cepat berubah menjadi aliran permukaan (run-off) yang kuat dan memicu banjir dan longsor. 

Sementara itu, terkait kayu-kayu gelondongan yang terbawa arus juga menunjukkan dugaan adanya aktivitas pembukaan lahan dan penebangan yang tidak sesuai ketentuan.

Dari temuan yang telah dipaparkan pihak berwenang, menunjukkan bahwa bencana yg terjadi saat ini bukan sebatas faktor alam atau sekadar ujian semata. Namun merupakan dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan dilegitimasi kebijakan penguasa (pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, uu minerba, uu ciptaker, dan lain sebagainya).
 
Semua kebijakan ini mengantarkan pada pembukaan hutan secara besar-besaran tanpa memperhitungkan efek buruk yang ditinggalkan. Musibah banjir dan longsor di Sumatra memperlihatkan akibat dari pilihan pengambilan kebijakan yang menimbulkan bahaya lingkungan yang amat parah. 


Penguasa Abai Akibat Kapitalisme

Sikap penguasa seperti ini sangat niscaya dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Penguasa dan pengusaha kerap berkonspirasi utk menjarah hak milik rakyat dengan dalih pembangunan. Padahal, hasil nyata tak pernah langsung dirasakan oleh rakyat biasa. Malahan selalu efek kerusakan dari perbuatan merekalah yang ditanggung oleh rakyat. Negara dengan sistem yang rusak akan melahirkan pemimpin-pemimpin zalim dan pebisnis serakah.

Inilah efek dari negara meninggalkan hukum Allah atau sistem Islam dalam pengelolaan lingkungan. Masyarakat yang menderita, sedangkan pengusaha dan penguasa yang menikmati hasil hutannya. Deforestasi dan ekspansi industri nyatanya hanya memperkaya segelintir pebisnis sementara rakyat tetap terjebak di kelas ekonomi bawah. 


Islam Menjaga Alam
 
Islam dalam Al-Qur'an telah mengingatkan bahwa kerusakan di bumi akibat ulah manusia. Allah Swt. berfirman yang artinya, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41)

Maka dari itu, setelah manusia merasakan akibat dari kerusakan yang mereka timbulkan, Allah Swt. memerintahkan agar manusia kembali (bertaubat) dan taat kepada Allah Swt. sehingga kerusakan tak semakin parah. Dari sini, sebagai wujud keimanan, umat Islam harus menjaga kelestarian lingkungan agar tidak menimbulkan kerusakan dan penderitaan.

Perintah ini berlaku bukan hanya pada skala individu dan masyarakat, tetapi juga sampai dengan penguasa yang mengatur negara. Sebab, Islam hadir sebagai paradigma yang menjadi tuntunan hidup manusia sekaligus pemecah seluruh problematika kehidupan. 

Dengan demikian, penguasa dalam negara wajib menerapkan sistem Islam serta menggunakan hukum Allah dalam mengurusi semua urusannya, termasuk tanggung jawab menjaga kelestarian alam dengan menata hutan dalam pengelolaan yang benar. Sebab, Islam memandang, agar menyikapi bencana alam dengan tepat. Selain bersabar, tentu harus dibarengi dengan ikhtiar merancang mitigasi bencana.

Negara Islam bertanggung jawab mempersiapkan sejumlah langkah mitigasi bencana dan alokasi biaya yang memadai untuk antisipasi pencegahan banjir dan longsor, dengan melibatkan pendapat para ahli lingkungan. Pemasukan negara untuk pembiayaan pencegahan dan penanganan bencana diperoleh dari pos-pos seperti ghanimah, fa'i, kharaj, ataupun pengelolaan kekayaan alam milik publik.

Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus memastikan setiap kebijakannya mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari segala bahaya. Khalifah akan merancang pengelolaan tata ruang secara komprehensif, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, mengatur sejumlah industri dan pertambangan. Khalifah tak akan pernah kongkalikong dengan pengusaha dan melahirkan kebijakan untuk memenuhi nafsu kapitalis serakah yang proyeknya selalu berakhir dengan penderitaan rakyat. 

Demikanlah solusi Islam dalam menjaga kelestarian alam dan keberlangsungan hidup umat manusia. Hanya dengan hukum Allah, negara dapat meminimalisasi terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Semua akan terwujud di bawah penguasa yang menerapkan Islam secara total di seluruh aspek kehidupan. Wallahu'alam bishowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar