Kaya SDA, Rakyat Tetap Tertinggal: Ironi Pengelolaan Tambang Kapitalisme


Oleh : Elma

Provinsi Kalimantan Barat dikenal sebagai salah satu daerah dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Mulai dari bauksit, emas, hingga silika, potensi tersebut sejatinya mampu menjadi motor penggerak kesejahteraan masyarakat. Namun realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Kekayaan alam yang besar belum sepenuhnya berdampak signifikan terhadap kehidupan rakyat Kalbar.

Hal ini disampaikan Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, saat menghadiri Pelantikan Pengurus BPD HIPMI Kalbar periode 2025–2028 di Aula Makodam XII Tanjungpura, Minggu, 23 November 2025. Dengan nada kritis, Krisantus menyebut Kalbar “seperti tikus mati di lumbung padi”—kaya potensi, tetapi masyarakatnya belum menikmati hasilnya secara maksimal. Menurutnya, tantangan terbesar terletak pada aspek regulasi, sehingga diperlukan kontribusi berbagai pihak, termasuk pengusaha muda yang tergabung dalam HIPMI, untuk mencari solusi nyata (kumparan.com 24/11/2025).

Pernyataan tersebut diamini Ketua Umum BPD HIPMI Kalbar, Gulam Mohamad Sharon. Ia menegaskan bahwa sektor pertambangan merupakan kekayaan strategis daerah yang semestinya dikelola oleh putra daerah sendiri. Sharon mendorong agar HIPMI tidak sekadar menjadi pelengkap, tetapi tampil sebagai pemain utama dalam pengelolaan tambang di Kalimantan Barat. Namun, ia juga mengakui bahwa jalan menuju ke sana tidak mudah, mengingat perizinan tambang masih terpusat di pemerintah pusat dan prosesnya kerap berbelit.

Dorongan agar pengusaha lokal menjadi tuan rumah di daerah sendiri memang patut diapresiasi. Namun persoalannya tidak berhenti pada siapa yang mengelola tambang. Realitas yang lebih dalam menunjukkan adanya ironi struktural: sumber daya alam dieksploitasi, tetapi nilai tambah dan manfaat ekonominya justru lebih banyak mengalir ke luar daerah, bahkan ke segelintir pemilik modal besar. Hambatan regulasi, akses izin yang sulit, serta dominasi korporasi bermodal kuat membuat masyarakat lokal—termasuk pengusaha daerah—sering kali hanya menjadi penonton di tanah sendiri.

Dalam konteks ini, ajakan agar HIPMI menjadi pemain utama harus dibarengi dengan komitmen serius pemerintah untuk membenahi tata kelola pertambangan. Penyederhanaan perizinan, transparansi birokrasi, serta kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat menjadi prasyarat mutlak. Tanpa itu, perubahan hanya akan bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar persoalan ketimpangan.

Dari perspektif politik Islam, kekayaan alam merupakan amanah dari Allah SWT yang wajib dikelola untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Negara tidak boleh membiarkan sumber daya strategis hanya berputar di kalangan elite ekonomi dan politik. Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur’an agar harta tidak beredar di antara orang-orang kaya saja, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hasyr ayat 7. Ayat ini menjadi peringatan keras terhadap sistem ekonomi yang melanggengkan ketimpangan dan menyingkirkan kepentingan masyarakat luas.

Islam juga menempatkan negara sebagai ra‘in—pengurus dan pelindung urusan rakyat. Dalam konteks pertambangan, negara berkewajiban memastikan pengelolaan SDA dilakukan secara adil, berkelanjutan, serta bebas dari praktik kezaliman dan kerusakan lingkungan. Kekayaan tambang bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan milik umat yang hasilnya harus kembali kepada kesejahteraan publik, baik melalui pelayanan dasar, pembangunan infrastruktur, maupun peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Ironi “tikus mati di lumbung padi” sejatinya adalah kritik tajam terhadap sistem pengelolaan sumber daya alam yang masih bercorak kapitalistik. Selama paradigma pembangunan masih menempatkan SDA sebagai ladang akumulasi keuntungan segelintir pihak, kesejahteraan rakyat hanya akan menjadi slogan. Kalimantan Barat akan terus kaya di atas kertas, tetapi miskin dalam realitas sosial.

Oleh karena itu, pengelolaan pertambangan di Kalbar membutuhkan lebih dari sekadar semangat kewirausahaan lokal. Ia menuntut perubahan paradigma kebijakan, keberpihakan nyata negara kepada rakyat, serta penerapan nilai keadilan sebagaimana diajarkan Islam. Hanya dengan itulah kekayaan alam Kalimantan Barat dapat benar-benar menjadi jalan menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakatnya.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar