Oleh : Herliana Tri M
Pelayanan kesehatan yang baik, cepat, administrasi sederhana dan mudah masih menjadi cita-cita dan impian bangsa ini. Pelayanan kesehatan dengan kwalitas terbaik belum dirasakan masyarakat meski mereka harus membayar sendiri pelayanan tersebut melalui BPJS dengan premi yang harus dibayar.
Fakta- fakta buruk pelayanan kesehatan masih mewarnai hilir mudiknya berita di media. Beberapa fakta yang terjadi menunjukkan kebijakan yang masih jauh dari kata bagus dalam realita.
Gubernur Papua Matius Derek Fakhiri menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga Irene Sokoy, ibu hamil yang meninggal bersama bayi dalam kandungnya setelah ditolak empat rumah sakit di Kabupaten dan Kota Jayapura (kompas.com, 22/11/2025)
Dari data yang dihimpun Kompas.com, Irene Sokoy meninggal pada Senin, 17/11/2025 pukul 05.00 WIT setelah melalui perjalanan panjang dari RSUD Yowari, RS Dian Harapan, RSUD Abepura hingga RS Bhayangkara tanpa mendapatkan penanganan memadai.
Fakta meninggalnya pasien karena tak segera mendapatkan penanganan yang memadai tak hanya terjadi kali ini saja. Kasus yang terus berulang dan mengancam nyawa. Beberapa berita yang sempat viral menunjukkan kasus keterlambatan penanganan medis terjadi di beberapa daerah.
Pasien di Sumenep diduga meninggal karena Puskesmas terlambat memberi rujukan. Seorang pasien lanjut usia dalam kondisi kritis di RSUP Padang, Sumatera Barat, meninggal diduga akibat lambat ditangani petugas saat pergantian sif. Bayi berusia 11 bulan di Pangkal Pinang meninggal setelah ditolak oleh beberapa rumah sakit, yang memicu investigasi oleh Kemenkes.
Berbagai kisah pilu terkait rendahnya pelayanan kesehatan harusnya menjadi perhatian khusus bagi pemangku kebijakan di negeri ini. Agar nyawa tak menjadi taruhan dari buruknya pelayanan kesehatan.
Pemicu Rendahnya Pelayanan Kesehatan
Lagi- lagi terkait pendanaan. Ada korelasi signifikan antara rendahnya pelayanan kesehatan dengan besaran anggaran yang dibutuhkan. Sejak 2023, keuangan BPJS Kesehatan terus mengalami defisit karena pengeluaran untuk layanan kesehatan lebih besar daripada uang iuran yang masuk, bahkan sudah diprediksii akan terus mengalami defisit.
Tahun 2023, BPJS Kesehatan mengumpulkan iuran sebesar Rp 151,7 triliun, namun harus membayar klaim JKN sebesar Rp 158,9 triliun. Defisit ini semakin terasa pada 2024. Pengeluaran melonjak jadi Rp 175,1 triliun, sementara pendapatan dari iuran hanya Rp 165,3 triliun. Pada 2025, pengeluaran untuk layanan kesehatan diperkirakan mencapai Rp 217,3 triliun, sementara pendapatan dari iuran hanya Rp 172,5 triliun. Akhirnya, kondisi ini berpeluang semakin berat pada 2026, dengan beban layanan melonjak ke Rp 235,6 triliun, sedangkan penerimaan iuran diperkirakan hanya Rp 176,8 triliun.
Adanya defisit anggaran ini, menjadikan pelayanan yang tersedia banyak mengalami pemangkasan. Pada praktiknya di lapangan, kita temukan pelayanan pasien BPJS Kesehatan berbeda dibandingkan dengan layanan yang berbayar secara mandiri. Padahal, peserta BPJS Kesehatan juga membayar premi. Pelayanan BPJS melewati jalur administrasi panjang dan antrian lama serta cukup melelahkan, apalagi bagi pasien yang perlu segera mendapatkan pelayanan. Kondisi ini berpeluang membahayakan nyawa pasien karena tak segera mendapatkan bantuan medis atas sakit yang dideritanya.
Ketergantungan pemasukan keuangan kesehatan pada iuran yang dibayarkan masyarakat sebagai kunci masalah kesehatan. Akhirnya mau tidak mau, bagi masyarakat yang mampu membayar biaya kesehatan secara mandiri lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan cepat tanggap.
Meskipun ada upaya pembenahan kebijakan dan strategi layanan, namun tidak mengubah fakta bahwa penerapan sistem BPJS Kesehatan telah menjadikan layanan kesehatan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Masyarakat harus membayar sejumlah premi/iuran agar mereka bisa mendapatkan layanan. "Ono rego ono rupo “ menjadi hal yang seolah wajar agar mendapatkan pelayanan terbaik.
Mirisnya lagi, sudahlah berbayar, layanan pun tidak optimal. Keluhan utama peserta BPJS adalah sulitnya mendapatkan layanan rawat inap di RS rujukan, baik RSUD maupun RS bertaraf nasional, karena akses yang terbatas dan antrean yang sangat panjang.
Tentu saja Kelompok yang paling terdampak akibat sulitnya akses rawat inap adalah masyarakat miskin. Di antaranya termasuk 96,7 juta peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang tidak memiliki opsi untuk naik kelas untuk mendapatkan pelayanan lebih baik.
JKN, Asuransi Atas Nama Jaminan Kesehatan
Sistem kesehatan sekarang dengan paradigma kapitalisme berbeda dengan cara pandang Islam dalam melihat persoalan dan cara menyelesaikan masalah kesehatan. Kondisi saat ini, pemenuhan layanan dan fasilitas kesehatan bukanlah kewajiban negara yang harus ditunaikan kepada rakyatnya. Yang terjadi sebaliknya, negara hanya memutar uang iuran rakyat agar mereka dapat membiayai secara mandiri kebutuhan atas layanan kesehatan.
Sehingga kita jumpai, jika penerimaan iuran dari masyarakat defisit, kekurangan ditanggung rakyat dengan kenaikan iuran. Tetapi jika surplus, masyarakat tetap dituntut membayar iuran, padahal layanan kesehatan tidak banyak mengalami perubahan signifikan.
Sedangkan Islam memandang layanan kesehatan adalah hak rakyat yang seharusnya dijamin oleh negara, sehingga tidak layak dikomersialisasi atas nama jaminan kesehatan. Jika disebut jaminan, seharusnya benar-benar menjamin pelayanan kesehatan, bukan sekedar manis pada kata.
Islam meletakkan persoalan kesehatan sebagai hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi negara tanpa kompensasi.
Wujud Jaminan dan Layanan Kesehatan dalam Islam
Dalam Islam, negara memegang peran utama sebagai penyelenggara sistem kesehatan karena kesehatan termasuk kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi dengan memperhatikan pemenuhannya sebagai berikut:
Pertama, kesehatan dipandang sebagai kebutuhan pokok publik. Sehingga negara tidak boleh menjadikannya sebagai komoditas atau dikomersialisasi dalam bentuk apa pun.
Kedua, negara bertanggung jawab penuh atas jaminan kesehatan setiap individu. Tanggung jawab ini mencakup pembiayaan, penyediaan layanan, pendidikan tenaga kesehatan, serta penyediaan fasilitas seperti alat medis, obat-obatan, teknologi, listrik, air bersih, transportasi, dan infrastruktur pendukung lainnya untuk mendapatkan layanan
Ketiga, seluruh biaya sektor kesehatan ditanggung negara dan bersumber dari pos-pos pendapatan baitulmal seperti pengelolaan harta milik umum (SDA, tambang, dll.). Kepala negara sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatan harta milik umum sesuai dengan ijtihadnya yang dijamin hukum syara, akan mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat.
Keempat, negara Islam menjalankan sistem layanan kesehatan dengan prinsip kendali mutu yang sederhana, cepat, dan ditangani oleh tenaga kompeten.
Kelima, pelayanan kesehatan dalam Islam memiliki empat ciri utama, universal, mudah diakses, gratis/tidak dipungut biaya dan responsif.
Dikenallah dalam penerapan Islam pada masanya dulu para dokter memperlakukan pasien dengan penuh kasih sayang dan tanpa diskriminasi. Siapa pun yang sakit, tanpa memandang agama atau latar belakang, mendapatkan pelayanan yang baik dan manusiawi.
Sungguh, selama prinsip bernegara masih mengikuti pola kapitalisme, "wani piro" perbaikan layanan kesehatan hanyalah ilusi. Tanpa perubahan sistemis, problem pembiayaan kesehatan akan terus terjadi. Sehingga dibutuhkan perubahan paradigma berfikir dari kapitalis menuju Islam agar layanan kesehatan terjamin, sederhana, mudah, cepat, gratis dan layanan manusiawi dapat dinkmati masyarakat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar