Oleh: Indha Tri Permatasari, S. Keb. Bd. (Aktifis Muslimah)
Fenomena makin banyaknya generasi muda yang takut menikah bukan lagi isu kecil. Ungkapan “marriage is scary” menjadi tren yang menembus ruang digital mereka. Ini bukan semata ketakutan emosional, tetapi cermin dari kondisi sosial-ekonomi yang menghimpit. Di balik kecemasan itu, ada sistem yang membentuk cara pandang, menekan keputusan, dan merusak kepercayaan generasi terhadap masa depan mereka sendiri.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar anak muda kini meyakini bahwa kestabilan ekonomi adalah syarat nomor satu untuk menikah. Banyak dari mereka bahkan berpendapat bahwa cinta dan kesiapan emosional saja tidak cukup. Lonjakan harga kebutuhan pokok, naiknya biaya hunian, dan persaingan kerja yang semakin brutal membuat mereka ragu mengambil langkah besar dalam hidup. Bukan hanya itu, narasi populer seperti “nikah itu mahal” atau “hidup setelah nikah makin susah” ikut memperkuat stigma bahwa pernikahan adalah beban berat yang harus ditunda selama mungkin. Maka tidak heran, ketakutan ini berubah menjadi tren yang dipahami sebagai pilihan rasional oleh banyak anak muda.
Namun jika ditelusuri lebih dalam, ketakutan ini bukanlah sifat generasi. Ini adalah trauma ekonomi yang lahir dari ketidakstabilan yang diciptakan oleh sistem kapitalisme. Sistem inilah yang membuat biaya hidup terus meroket tanpa pertumbuhan pendapatan yang sepadan. Anak muda tumbuh dalam kondisi di mana mereka harus berjuang ekstra untuk sekadar bertahan hidup. Bukan karena mereka malas atau tidak mau berusaha, tetapi karena lapangan kerja tidak seimbang dengan jumlah pencari kerja, sementara harga kebutuhan terus melaju naik.
Peran negara pun menyimpang. Dalam sistem kapitalisme, negara tidak hadir sebagai penanggung kesejahteraan, tetapi hanya sebagai regulator yang mengatur pasar. Rakyat dipaksa mengurus kehidupannya sendiri, seolah kesejahteraan adalah urusan personal, bukan tanggung jawab negara. Kondisi ini membuat generasi muda memikul beban yang seharusnya bukan milik mereka: mulai dari biaya pendidikan yang mahal, biaya kesehatan yang tidak terjangkau, hingga harga rumah yang hanya bisa dibayangkan tetapi sulit dimiliki.
Di sisi lain, pendidikan sekuler dan media liberal menanamkan standar hidup materialistik. Generasi muda dibombardir dengan gaya hidup hedon yang menjadikan kebahagiaan identik dengan kemewahan. Akibatnya, pernikahan dipandang bukan sebagai jalan ibadah dan ketenangan, tetapi sebagai risiko finansial yang bisa merusak “kualitas hidup”. Cara pikir seperti ini merupakan konstruksi budaya kapitalistik yang menjauhkan generasi dari nilai-nilai Islam.
Islam menawarkan konstruksi solusi yang berbeda secara mendasar. Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Rakyat tidak dibiarkan menghadapi hidup sendiri, karena negara memikul amanah besar dalam mengatur kekayaan umum dan memastikan distribusi yang adil. Lapangan kerja dibuka lebar melalui tata kelola ekonomi yang mandiri dan tidak bergantung pada kepemilikan swasta atau asing.
Dalam pengelolaan milkiyyah ‘ammah, seperti energi, air, dan sumber tambang, Islam menetapkan bahwa semuanya harus dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Ini memberikan efek langsung berupa harga kebutuhan yang stabil dan terjangkau. Ketika biaya hidup tak lagi menghimpit, kecemasan menikah pun surut.
Pendidikan berbasis akidah juga membentuk generasi yang tidak diukur dengan materi, tetapi dengan kepribadian Islam. Mereka memahami bahwa pernikahan adalah ibadah, penjagaan keturunan, dan bagian penting dari keberlangsungan umat. Keluarga bukan beban; ia adalah fondasi peradaban.
Dengan dukungan negara, pendidikan, dan masyarakat, generasi muda akan melihat pernikahan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai jalan keberkahan. Ketakutan menikah bukanlah karakter mereka—itu adalah gejala dari sistem yang rusak. Dan luka itu hanya bisa disembuhkan dengan kembali kepada Islam sebagai sistem hidup yang menenteramkan dan memuliakan manusia.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar