Oleh : Sylvi Raini
Pernikahan yang dulu dianggap sebagai “tanda kedewasaan” kini menjadi suatu hal yang banyak ditunda oleh anak muda. Fenomena ini terlihat jelas ketika sebuah postingan viral di media sosial menyebut bahwa generasi muda lebih takut miskin daripada takut belum menikah, menarik puluhan ribu respons dari warganet. Data BPS juga mencatat bahwa angka pernikahan menunjukkan penurunan dari sekitar dua juta pernikahan pada 2018 menjadi 1,5 juta pada 2023 (lifestyle.kompas.com)
Salah satu alasan utamanya adalah tekanan ekonomi yang berat. Tingginya biaya hidup, harga kebutuhan yang terus meningkat, serta harga hunian yang tidak terjangkau membuat banyak anak muda merasa belum siap secara finansial untuk membangun keluarga. Selain itu dapat dibaca sebagai bentuk penyesuaian terhadap kondisi struktural, yaitu regulasi yang lebih ketat serta nilai-nilai keluarga yang bergeser menuju orientasi individual. Ketidakpastian pekerjaan dan pasar kerja yang kompetitif membuat fokus mereka lebih banyak tertuju pada stabilitas ekonomi dibandingkan pernikahan.
Selain faktor ekonomi, muncul pula sebuah tren narasi di media social yang dikenal dengan istilah “Marriage is Scary” yang menggambarkan pernikahan sebagai sesuatu yang menakutkan dan penuh risiko. Riset dalam Jurnal Sosial dan Budaya menunjukkan bahwa konten semacam ini memperkuat kekhawatiran generasi muda terhadap aspek emosional, finansial, dan tekanan sosial dari pernikahan, seperti rasa kehilangan kebebasan, konflik rumah tangga, atau potensi kegagalan.
Dalam laporan lifestyle.kompas.com mengungkapkan bahwa fenomena ini bukan sekadar cerita individual. Banyak penelitian sosial menyatakan bahwa ketika tekanan ekonomi meningkat, pernikahan sering dipandang sebagai komitmen finansial tambahan yang berisiko, sehingga membuat banyak anak muda memilih menunda atau bahkan mempertimbangkan kembali nilai pernikahan dalam hidup mereka.
Hasilnya, generasi muda saat ini semakin mengutamakan stabilitas ekonomi, kesiapan mental, dan kualitas hubungan sebelum membuat keputusan besar seperti menikah. Pada akhirnya, pernikahan tidak lagi dipandang hanya sebagai formalitas atau tekanan sosial, melainkan sebuah pilihan yang harus dipertimbangkan secara matang dalam konteks realitas hidup yang semakin kompleks.
Cinta ditengah Kehidupan yang Mahal
Ketakutan generasi muda terhadap kemiskinan dan pernikahan tidak bisa dilepaskan dari cara kerja sistem kapitalisme yang membuat hidup semakin mahal dan tidak pasti. Dalam sistem ini, kebutuhan dasar seperti pekerjaan, rumah, dan pendidikan diperlakukan sebagai komoditas pasar dan mereka semua yang harus menanggungnya sendiri tidak ada peran negara. Akibatnya, biaya hidup terus naik, sementara upah dan jaminan kerja tidak ikut menguat. Kondisi ini sejalan dengan analisis Guy Standing dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011), yang menjelaskan munculnya kelas pekerja baru dengan ciri pekerjaan tidak tetap, upah rendah, dan masa depan yang rapuh.
Analisis Standing tersebut tidak berdiri sendiri. Sejumlah jurnal dan penelitian di Indonesia juga menguatkan temuan ini. Penelitian tentang tenaga kerja muda di Indonesia menunjukkan bahwa sistem kerja kontrak dan informal semakin mendominasi, sehingga generasi muda sulit mencapai kestabilan ekonomi jangka panjang. Dalam beberapa artikel di jurnal ketenagakerjaan dan sosiologi Indonesia, kondisi ini secara eksplisit disebut sebagai bentuk precariat yang dialami anak muda perkotaan. Ketidakpastian kerja akan membuat perencanaan hidup termasuk pernikahan menjadi sesuatu yang penuh risiko.
Dalam situasi seperti ini, pernikahan tidak lagi dipahami sebagai proses membangun kehidupan bersama, melainkan sebagai beban ekonomi tambahan. Kapitalisme mendorong cara pandang rasional-ekonomis terhadap semua aspek kehidupan. Hubungan manusia, termasuk pernikahan, dinilai berdasarkan kemampuan finansial dan kalkulasi biaya. Ketika sistem tidak menjamin pekerjaan layak dan upah yang cukup, wajar jika generasi muda merasa takut menikah karena takut jatuh miskin.
Narasi “marriage is scary” kemudian tumbuh subur di tengah kondisi struktural ini. Ketakutan tersebut bukan sekadar persoalan mental individu, tetapi refleksi dari sistem ekonomi yang tidak memberi rasa aman. Pernikahan akhirnya dipersepsikan sebagai ancaman terhadap stabilitas hidup, bukan sebagai ladang kebaikan, ketenteraman, dan keberlanjutan generasi.
Dengan demikian, akar persoalan ketakutan menikah pada generasi muda bukan terletak pada penolakan terhadap nilai pernikahan, melainkan pada sistem kapitalisme yang membuat hidup tidak stabil dan penuh ketidakpastian.
Hanya Islam yang Mampu Menjawab Kerasnya Hidup
Ketakutan generasi muda terhadap kemiskinan dan pernikahan tidak akan selesai jika hanya diarahkan pada perubahan sikap individu. Masalah ini lahir dari sistem yang gagal menjamin kehidupan layak. Karena itu, solusi yang ditawarkan harus bersifat menyeluruh dan menyentuh akar persoalan.
Pertama, Islam meletakkan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyat di pundak negara. Negara wajib menjamin terpenuhinya sandang, pangan, papan, keamanan, pendidikan, dan kesehatan setiap individu. Hal ini ditegaskan Syaikh Taqiyuddin bahwa negara tidak boleh membiarkan rakyat bertahan hidup sendiri dalam kerasnya persaingan ekonomi. Negara juga berkewajiban membuka lapangan kerja yang luas agar laki-laki mampu menunaikan tanggung jawab nafkah.
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dengan jaminan ini, pernikahan tidak lagi menjadi momok karena negara hadir sebagai penopang kehidupan, bukan sekadar penonton.
Kedua, Islam mengatur secara tegas pengelolaan milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Dijelaskan lebih lanjut bahwa sumber daya vital seperti air, energi, tambang besar, dan fasilitas publik haram dikuasai individu, swasta, atau asing. Negara wajib mengelolanya dan mengembalikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Ketika kekayaan umum dikelola negara, biaya hidup dapat ditekan dan kebutuhan dasar menjadi terjangkau. Dalam kondisi seperti ini, ketakutan miskin yang membuat generasi muda enggan menikah dapat dihilangkan secara nyata, bukan sekadar dinasihati.
Ketiga, Islam membangun sistem pendidikan berbasis aqidah Islam, bukan pendidikan sekuler yang netral nilai. Syaikh Taqiyuddin menegaskan bahwa pendidikan Islam bertujuan membentuk syakhshiyyah Islamiyyah yaitu membentuk pola pikir dan pola sikap yang terikat pada hukum Allah. Pendidikan semacam ini tidak melahirkan generasi hedonis dan materialistis, tetapi generasi yang menjadikan hidup sebagai ladang amal dan tanggung jawab. Allah SWT berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Generasi yang dibentuk dengan aqidah tidak menjadikan kekayaan sebagai syarat utama kebahagiaan, sehingga tidak terjebak ketakutan berlebihan terhadap kemiskinan atau pernikahan.
Keempat, Islam menguatkan institusi keluarga dengan memandang pernikahan sebagai ibadah dan penjagaan keturunan, bukan sekadar kontrak sosial. Dalam Ijtimā‘ī fī al-Islām, keluarga disebut sebagai fondasi masyarakat. Negara dan masyarakat wajib menciptakan iklim yang memudahkan pernikahan, bukan mempersulitnya dengan standar hidup yang mahal. Rasulullah bersabda : “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu, maka menikahlah.”(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Pernikahan dalam Islam bukan dibangun di atas kemewahan, tetapi pada tanggung jawab, ketakwaan, dan jaminan sistem yang adil. Dengan demikian, solusi Islam atas fenomena “marriage is scary” bukanlah sekadar ajakan mental atau kampanye moral, melainkan perubahan sistemik: negara yang bertanggung jawab, pengelolaan kekayaan yang adil, pendidikan berbasis aqidah, dan penguatan keluarga. Ketika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh, pernikahan tidak lagi dipandang sebagai beban hidup, melainkan sebagai jalan kebaikan dan keberlanjutan umat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar