Krisis Kesehatan Mental Anak di Tengah Kapitalisme dan Lemahnya Perlindungan Negara


Oleh : Najwa Aliyyatul Muttaqin

Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan keprihatinannya atas hasil program pemeriksaan kesehatan jiwa gratis yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan. ”Dari laporan yang kami terima dalam pemeriksaan kesehatan jiwa gratis dan telah menjangkau sekitar 20 juta jiwa, terdapat lebih dari dua juta anak yang mengalami gangguan kesehatan mental,” kata Wamenkes, Kamis (30-10-2025).

Pemerhati kebijakan kesehatan dr. Arum Harjanti menilai, terjadinya gangguan mental pada anak-anak sangat memprihatinkan dan merupakan kelalaian negara. ”Sungguh miris hasil temuan ini. Jumlah penderita gangguan mental pada anak-anak ini sangat dimungkinkan jauh lebih besar, mengingat masih banyak yang belum ikut skrining,” ungkapnya 

Ia memaparkan, kejadian ini tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor. ”Menurut WHO, faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor genetika, ekonomi, fisik, dan sosial. Faktor- faktor tersebut saling memengaruhi, dan sulit untuk menunjuk salah satu faktor sebagai penyebab utama,” jelasnya.

Namun, menurutnya, faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya gangguan mental mayoritas adalah faktor dari luar yang merupakan faktor nonklinis yang sering disebut dengan istilah faktor determinan sosial terhadap kesehatan. ”Memang benar, faktor genetik memiliki kontribusi untuk terjadinya gangguan mental, tetapi jarang menjadi penyebab tunggal,” tandasnya.

Ia meyakini, kondisi hari ini menguatkan hal tersebut. ”Banyak persoalan yang menjadi faktor risiko munculnya gangguan mental terjadi di tengah kehidupan anak-anak hari ini. Anak-anak hidup di tengah kemiskinan struktural yang merupakan problem kronis negeri ini. Pada realitanya, kemiskinan juga berdampak pada berbagai masalah sosial, seperti kurangnya perhatian orang tua pada anak karena sibuk bekerja, konflik keluarga dalam berbagai bentuk, berbagai konflik di masyarakat, termasuk dalam keluarga, mulai dari pertengkaran, kekerasan hingga perceraian, bahkan pembunuhan,” bebernya.

Arum melanjutkan, generasi juga tumbuh dalam lingkungan yang membiarkan kebebasan perilaku yang memunculkan persaingan tidak sehat dan konflik antarteman, termasuk tuntutan gaya hidup. ”Mirisnya, negara juga menerapkan sistem pendidikan sekuler yang jauh dari nilai-nilai agama dan lebih berorientasi pada materi. Sistem pendidikan ini secara sistematis membuat mental generasi rapuh,” imbuhnya

Banyak yang depresi akibat prestasi atau nilai-nilai sekolah, tidak sedikit juga yang terganggu mental nya akibat ekonomi. Orang tua yang terlalu sibuk pada pekerjaannya membuat si anak kurang kasih sayang. 

Salah satu fakta yang masuk dalam pembahasan ini yaitu adalah Bilqis balita yang harus mengalami trauma dalam hidupnya karena menjadi korban penjualan. Yang mana si pelaku tidak sedikit mendapatkan uang hasil dari menjual belikan anak sekecil itu. Walau disini orang tua bukan lah pelaku, namun orang-orang yang menjadi tersangka melakukan hal miris seperti itu tak lain dan tak bukan adalah akibat ekonomi yang kian mencekik. 

Dalam sistem kapitalisme, anak-anak sering dipandang bukan sebagai amanah yang harus dijaga, tetapi sebagai bagian dari “sumber daya manusia” yang harus dikembangkan demi kepentingan ekonomi. Kapitalisme menanamkan nilai-nilai materialistik sejak dini, di mana ukuran keberhasilan anak diukur dari prestasi akademik, status sosial, atau potensi ekonominya. Akibatnya, pendidikan anak lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja daripada membentuk akhlak dan kepribadian Islam. Anak tumbuh dalam lingkungan yang sarat kompetisi, individualisme, serta terpapar budaya konsumtif yang jauh dari nilai spiritual. Akar masalahnya adalah paradigma kapitalisme yang menjadikan keuntungan dan kebebasan individu sebagai tujuan hidup, bukan ketaatan kepada Allah. Sistem ini gagal melindungi anak dari kerusakan moral, eksploitasi digital, dan degradasi nilai keluarga karena negara berperan sebatas regulator ekonomi, bukan penjaga akidah dan moral masyarakat.

Sebaliknya, Islam memandang anak sebagai amanah Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Islam menempatkan pendidikan anak sebagai sarana untuk membentuk generasi beriman dan bertakwa, bukan sekadar produktif secara ekonomi. Dalam sistem Islam, seluruh aspek kehidupan—termasuk pendidikan, media, dan lingkungan sosial—berlandaskan pada akidah Islam. Negara dalam sistem Islam (khilafah) memiliki peran sentral dalam menjaga moral publik, menyediakan pendidikan gratis berbasis tauhid, serta mengontrol konten dan budaya yang berpotensi merusak fitrah anak. Dengan demikian, solusi Islam terhadap problem anak dalam sistem kapitalisme bukan hanya memperbaiki individu atau keluarga, tetapi mengganti sistem yang rusak dengan sistem Islam yang menyeluruh. Hanya dengan penerapan syariat secara total, anak-anak dapat tumbuh sebagai generasi berkepribadian Islam yang siap menjadi pemimpin peradaban.

Wallahualam...




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar