Oleh: Noura (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Peringatan BMKG mengenai potensi banjir rob di pesisir Kalimantan Timur pada 5–7 Desember 2025 kembali menjadi sorotan masyarakat yang tinggal di wilayah pantai dan tepian sungai. Prakiraan kenaikan muka air laut yang diperkirakan dapat mencapai titik kritis membuat sejumlah daerah bersiap menghadapi gangguan aktivitas harian, mulai dari pemukiman, tambak, hingga pusat ekonomi pesisir. Tidak hanya Balikpapan, tetapi juga Penajam Paser Utara, Kukar, Mahulu, Berau, dan sebagian kawasan Samarinda menerima pemberitahuan siaga banjir dari otoritas terkait. Rentetan peringatan ini menunjukkan bahwa ancaman banjir rob di Kaltim bukan fenomena lokal terbatas, melainkan risiko meluas yang kini mengintai hampir seluruh garis pesisir dan daerah rendah di provinsi tersebut.
Banjir rob terjadi ketika air laut naik hingga merendam wilayah pesisir pada saat pasang mencapai puncaknya. Fenomena ini memang dipengaruhi faktor alam, seperti gaya gravitasi bulan dan matahari, namun kerusakan lingkungan membuat dampaknya semakin parah. Kenaikan muka air laut akibat pemanasan iklim, penurunan tanah karena eksploitasi air tanah, hingga hilangnya mangrove yang dulu menjadi benteng alami pantai, semuanya mempercepat kerentanan pesisir. Di banyak kawasan, sistem drainase yang buruk dan pembangunan yang mengabaikan risiko perubahan iklim ikut memperbesar kemungkinan rob merembes jauh ke pemukiman. Dengan kombinasi faktor-faktor ini, rob bukan lagi peristiwa yang datang sesekali, tetapi ancaman rutin yang terus menghantui masyarakat pesisir.
Dalam keadaan seperti itu, peringatan dini dari BMKG menjadikan masyarakat lebih siaga namun ini jelas belum cukup. Para ahli telah lama mengingatkan perlunya upaya nyata: membangun tanggul pantai, memulihkan hutan mangrove, mengendalikan pengambilan air tanah, memperbaiki drainase, dan merancang ulang permukiman agar lebih adaptif terhadap pasang tinggi. Semua langkah ini terbukti dapat menekan risiko rob—asal dijalankan secara konsisten dan tidak hanya berhenti sebagai wacana.
Namun di lapangan, banyak wilayah pesisir—termasuk di Kaltim—masih mengandalkan peringatan tanpa diikuti kebijakan mitigasi yang memadai. Ketika anggaran penanggulangan bencana justru menurun dan restorasi lingkungan tidak diprioritaskan, masyarakat tetap berada pada posisi paling rentan. Setiap kali pasang tinggi datang, mereka kembali menghadapi genangan, kerusakan rumah, dan ketidakpastian. Tanpa perbaikan sistemik, rob akan terus menjadi siklus berulang yang menyisakan penderitaan, sementara solusi jangka panjang tak kunjung terwujud.
Harga Mahal dari Deforestasi dalam Sistem Kapitalisme
Bencana yang berulang ini tidak bisa lagi dianggap semata-mata sebagai fenomena alam atau ujian yang datang begitu saja. Ia merupakan jejak panjang dari kejahatan lingkungan yang dibiarkan berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan dilegitimasi oleh kebijakan penguasa yang lebih sering memihak kepentingan ekonomi daripada keselamatan ekosistem. Penebangan hutan secara liar dibiarkan berlarut tanpa penindakan tegas, sementara pembukaan lahan besar-besaran terus berjalan seolah tanpa batas. Akibatnya, penyangga alami yang seharusnya melindungi kawasan pesisir—seperti hutan mangrove dan tutupan hutan di hulu—hilang satu per satu. Ketika perlindungan alam dirusak, air laut hanya menunggu waktu untuk menerobos masuk. Rob, banjir, dan kerusakan lingkungan yang kita lihat hari ini adalah konsekuensi dari pilihan yang salah arah.
Sikap penguasa yang setengah hati menangani banjir—mulai dari korban yang tidak mendapatkan bantuan layak, ancaman banjir berulang tanpa solusi, hingga minimnya mitigasi bencana—bukanlah kejadian kebetulan. Kondisi ini justru sangat wajar dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme, tempat kekuasaan dan modal saling berkelindan.
Di bawah sistem seperti ini, kebijakan sering lahir bukan untuk melindungi rakyat, tetapi untuk mengamankan kepentingan segelintir elite. Tak jarang penguasa dan pengusaha saling menopang dalam proyek-proyek yang dinamai “pembangunan”, padahal hakikatnya menjarah hak rakyat dan merusak ruang hidup mereka.
Dari rahim sistem yang cacat inilah lahir penguasa yang abai, bahkan zalim—yang memandang ketidakadilan ekologis sebagai angka statistik, bukan sebagai jeritan manusia yang kehilangan rumah, penghidupan, dan masa depan.
Ancaman banjir dan longsor yang terus menghantui Kaltim dan berbagai daerah lain sebenarnya memperlihatkan betapa rapuhnya tanah setelah sekian lama dieksploitasi tanpa kendali. Pembukaan hutan dalam skala besar—entah untuk tambang, perkebunan, atau proyek ekonomi lainnya—dilakukan tanpa hitungan ekologis yang matang, seakan bumi ini bisa terus diperas. Ketika lingkungan kehilangan penyangganya, bencana pun tinggal menunggu waktu. Ironisnya, negara yang seharusnya menjadi pelindung justru meninggalkan tuntunan syariat dalam pengelolaan alam. Akibatnya, kekayaan SDAE jatuh ke tangan segelintir oligarki; pengusaha meraup keuntungan, penguasa menerima bagiannya, sementara masyarakatlah yang menanggung banjir, longsor, dan kehilangan ruang hidup. Ketimpangan yang lahir dari sistem ini bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi bukti nyata akibat berpaling dari aturan Allah dalam mengurus bumi dan manusia.
Kembali pada Solusi Hakiki
Islam sejak awal telah menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi bukan terjadi begitu saja, melainkan akibat ulah tangan manusia yang memperlakukan alam semaunya. Firman-Nya:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rūm: 41)
Ayat ini bukan sekadar peringatan, tetapi tuntunan agar manusia sadar bahwa menjaga kelestarian lingkungan adalah bagian dari iman. Dalam bingkai Islam, bumi ini adalah amanah; manusia diperintahkan memakmurkannya, bukan merusaknya. Karena itu, ketika alam dibiarkan rusak, hutan digunduli, sungai dicemari, dan pesisir tidak dilindungi, maka itu bukan hanya pelanggaran ekologis—tetapi juga pelanggaran terhadap perintah Allah. Umat Islam, sebagai pemegang amanah kekhalifahan di bumi, seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga, merawat, dan mengembalikan keseimbangan lingkungan sesuai tuntunan syariat.
Dalam pandangan Islam, negara memikul amanah besar untuk mengelola seluruh urusan masyarakat berdasarkan hukum Allah. Termasuk di dalamnya kewajiban menjaga kelestarian lingkungan dengan menata hutan, pesisir, dan sumber daya alam secara benar dan bertanggung jawab. Negara tidak boleh membiarkan eksploitasi tanpa batas, karena setiap kebijakan harus berpijak pada prinsip penjagaan (ḥifẓ) dan kemaslahatan.
Pengelolaan alam dalam sistem Islam bukan hanya urusan teknis, tetapi ibadah yang menuntut ketaatan pada syariat—mulai dari mencegah kerusakan hutan, memastikan pemanfaatan SDA tidak merugikan rakyat, hingga mengatur tata ruang agar selaras dengan kaidah penjagaan lingkungan. Dengan cara inilah negara menjaga bumi sebagai titipan Allah, bukan komoditas yang diperdagangkan oleh para pemilik modal.
Dalam sistem pemerintahan Islam, negara tidak pernah ragu mengalokasikan anggaran untuk mencegah bencana, termasuk banjir dan longsor. Setiap kebijakan dirumuskan dengan melibatkan para ahli lingkungan agar langkah-langkah yang diambil benar-benar efektif dan jauh dari kepentingan politik ataupun korporasi. Seorang khalifah akan menempatkan keselamatan manusia dan penjagaan lingkungan sebagai prioritas, karena syariat menegaskan larangan menimbulkan dharar (bahaya) bagi rakyat maupun alam.
Dengan prinsip ini, pencegahan dilakukan secara komprehensif—mulai dari penguatan sistem perlindungan lingkungan, pemulihan hutan, hingga pembangunan infrastruktur yang menjaga keseimbangan ekologi—sebagai bagian dari tanggung jawab negara menjaga amanah Allah atas bumi.
Wallahu'alam bishawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar