Luka Ekonomi Pemicu Marriage is Scary


Oleh : Ummu Aulia (Muslimah Pejuang Peradaban)

Beda generasi beda pula cara pandang dalam berfikir, jika dulu di penghujung usia 30 tahun belum menikah disebut keterlambatan melepas masa lajang. Terlebih bagi perempuan yang tak kunjung mendapatkan jodoh disebut perawan tua. 

Anak muda kini, terutama Gen Z lebih takut miskin dari pada menikah. Akhir Oktober lalu media sosial Threads mengunggah pembahasan terkait anak-anak zaman sekarang yang lebih takut miskin daripada takut tidak menikah. 

Unggahan itu viral hingga disukai lebih dari 12.500 kali dan ditayangkan ulang oleh lebih dari 207.000 pengguna lainnya. Dengan kata lain mereka setuju dengan pendapat si pemilik akun. Banyak anak muda menilai kestabilan ekonomi lebih penting daripada segera menikah. 

Pakar Psikologi Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Psikologi Unair, Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog pada 2024 lalu menuturkan menurunnya angka pernikahan disebabkan faktor yang pertama yakni meningkatnya pemberdayaan perempuan. Faktor kedua ialah kemiskinan dan finansial. 

"Faktor kemiskinan juga menjadi penghalang, sebab banyak pasangan menunda pernikahan karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, " tuturnya, dikutip dari situs Unair. 

Lebih lanjut, Faktor ketiga menurut Dr Ike adalah ketidaksiapan fisik, mental dan finansial, Ia mengatakan, generasi muda saat ini cenderung g ingin mencapai stabilitas finansial dan kematangan emosional sebelum memutuskan menikah. (Kompas.com). 

Lonjakan harga kebutuhan, mahalnya biayanya hunian, dan ketatnya persaingan kerja menjadi alasan utama ketakutan akan pernikahan. Ditambah dengan narasi "marriage is scary" memperkuat ketakutan generasi muda menuju jenjang pernikahan. 

Ketakutan akan miskin muncul dari sistem kapitalisme yang membuat biaya hidup tinggi, sulitnya lapangan pekerjaan, serta upah yang rendah semakin memperparah keadaan. 

Negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator saja. Negara cenderung lepas tangan dan abai dalam menjamin kebutuhan rakyatnya sehingga rakyat terpaksa memikul beban hidup secara individu. 

Sistem pendidikan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan memperparah keadaan, dimana dalam dunia pendidikan tidak ditanamkan aqidah yang kuat sehingga mudah terpengaruh oleh media sosial yang menampilkan gaya hidup hedon dan glamour. 

Pernikahan dianggap beban, bukan sebagai ladang kebaikan dan jalan melanjutkan keturunan. Mereka berfikir mau menghidupi diri sendiri saja susah bagaimana menghidupi anak orang. 

Berbeda dengan sistem islam dimana negara hadir dengan menciptakan lapangan kerja melalui sistem ekonomi islam. 

Pengelolaan Milkiyah ammah oleh negara guna kemaslahatan umat, bukan diserahkan kepada swasta apalagi asing. Dalam islam sumber daya alam tidak boleh dikuasai oleh individu sebagaimana sabda nabi Shallallahu Alaihi wasalam: "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram." (HR. Ibnu Majah). 

Hadis ini menjelaskan bahwa air, padang rumput, dan api adalah milik umum dan tidak boleh dimiliki oleh individu. Rosulullah Sallalahu alaihi wasalam juga melarang seseorang untuk menguasai atau memiliki sumber air, padang rumput, dan api, karena ketiganya sangat dibutuhkan masyarakat. 

Hasil dari pengelolaan sumber daya alam digunakan untuk kemaslahatan umat, seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis serta kebutuhan dasar terjangkau sehingga masyarakat mampu menekan biaya hidup. 

Pendidikan berbasis aqidah dapat membentuk generasi yang tangguh, berkarakter, beraqidah islam tidak mudah terjebak hedonisme dan materialisme. Mereka justru menjadi penyelamat umat. 

Penguatan institusi keluarga, dengan mendorong pernikahan sebagai ibadah dan penjagaan keturunan. 

Imam al-Ghazali dalam ihya' Ulumuddin mengidentifikasika tiga tujuan utama pernikahan. Pertama, pernikahan bertujuan untuk melestarikan keturunan sebagai upaya melanjutkan kehidupan manusia di bumi, yang disebut prokreasi. Kedua, pernikahan adalah cara untuk menyalurkan hasrat biologis dan menjaga alat reproduksi,. Ketiga, melalui pernikahan, diharapkan kedua belah pihak dapat menemukan ketenangan jiwa, sehingga pernikahan menjadi sumber kebahagiaan dan kedamaian.

Wallahu alam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar