Oleh : Wahyuni Mu (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Dalam beberapa pekan terakhir, berbagai daerah di Indonesia kembali dilanda bencana, mulai dari banjir, longsor, hingga puting beliung. Hujan deras berhari-hari memicu tanah longsor di Cilacap dan Banjarnegara, sementara gelombang banjir besar menerjang wilayah pesisir dan pedalaman. Di beberapa titik, rumah warga hanyut dan akses jalan terputus. Situasinya bukan hanya darurat, tapi memprihatinkan.
Di wilayah terdampak, banyak warga menjadi korban. Ada yang tertimbun longsor, terjebak dalam rumah yang terendam air setinggi dada, dan tidak sedikit yang terpaksa mengungsi tanpa sempat membawa apa pun kecuali pakaian di badan. Sejumlah area bahkan belum terjangkau tim penyelamat karena kondisi medan yang buruk.
BNPB dan BPBD di berbagai daerah berupaya keras melakukan evakuasi, tetapi situasinya tidak mudah. Cuaca ekstrem, curah hujan tinggi, lumpur tebal, medan curam, hingga minimnya alat berat membuat pencarian korban berjalan lambat. Beberapa lokasi yang terisolasi baru bisa dijangkau setelah berhari-hari, itupun dengan risiko besar. Hingga kini, sejumlah korban masih belum ditemukan.
Kondisi bencana yang bersamaan di berbagai provinsi membuat respons darurat tersebar tipis. Banyak warga menunggu di titik evakuasi seadanya, berharap bantuan, namun yang datang terlambat atau tidak cukup. Ini menjadi potret berulang: negeri yang selalu gelagapan ketika bencana datang.
Sumatera Utara menjadi salah satu daerah dengan kondisi paling parah. Banjir besar merendam sejumlah kabupaten mulai dari Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, hingga beberapa wilayah lain di Sumut bagian selatan. Di Mandailing Natal saja, lebih dari 500 keluarga harus mengungsi karena air mencapai 1–2,5 meter. Desa-desa terisolasi, listrik padam, dan akses jalan tertutup lumpur.
Di Tapanuli Tengah, banjir bandang disertai longsor menelan korban jiwa. Puluhan rumah rusak berat, dua jembatan putus, dan jalan lintas utama lumpuh total. Suasana malam semakin menegangkan ketika air naik tiba-tiba, membuat warga lari terbirit-birit menyelamatkan diri.
Warga di Sumut rata-rata menyampaikan satu keluhan serupa: “Kami seperti sendirian.” Evakuasi lambat, bantuan minim, dan kondisi pascabencana belum tertangani. Dalam surat pembaca, mungkin kita akan menuliskannya seperti curahan hati: banjir boleh surut, tapi ketakutan itu masih tinggal lama.
Tata Kelola Lingkungan yang Gagal dan Mitigasi yang Lemah
Jika kita jujur, sebagian besar bencana ini bukan hanya “karena alam.” Banyak di antaranya lahir dari kesalahan tata kelola ruang hidup. Hutan gundul, pembangunan di lereng curam tanpa kajian risiko, bantaran sungai yang dipadati permukiman, hingga drainase kota yang tak pernah benar-benar diperbaiki. Kita seperti membangun masalah sendiri, lalu menyalahkan hujan ketika bencana datang.
Keterlambatan penanganan bencana kembali menunjukkan bahwa mitigasi kita masih sangat lemah. Edukasi kebencanaan tidak merata, peringatan dini sering diabaikan, dan koordinasi antarinstansi masih seperti mesin tua yang harus dipukul dulu baru bergerak. Di tingkat masyarakat, kesadaran meminimalisasi risiko juga masih rendah, bukan karena warga tidak peduli, tetapi karena negara tidak menyediakan sistem yang mendidik dan mendukung.
Pemerintah sebagai penanggung jawab utama penanganan kebencanaan terlihat tidak serius menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif. Kebijakan tata ruang sering tumpul, penegakan hukum terhadap perusak lingkungan lemah, dan infrastruktur mitigasi tak pernah diprioritaskan. Padahal dari tahun ke tahun, pola bencana kita selalu sama: musim hujan datang, korban berjatuhan, lalu semua dibahas sejenak, dan dilupakan ketika cuaca kembali cerah.
Dimensi Ruhiyah & Siyasiyah dalam Memahami Bencana
Islam memandang bencana melalui dua dimensi: ruhiyah dan siyasiyah. Pada dimensi ruhiyah, bencana dipahami sebagai tanda kekuasaan Allah dan momen refleksi bagi manusia, bahwa kehidupan dunia bersifat sementara dan penuh ujian. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits mengingatkan bahwa kerusakan alam seringkali terjadi “akibat ulah tangan manusia.” Artinya, ketika alam rusak dan bencana datang, itu bukan sekadar musibah alami, tetapi juga peringatan moral.
Namun, Islam tidak berhenti pada dimensi spiritual. Ada dimensi siyasiyah, dimensi pengelolaan negara dan tanggung jawab publik. Dalam kerangka Islam, negara wajib menata ruang, menjaga ekologi, memastikan keamanan warganya, dan menyiapkan mitigasi yang matang. Tidak boleh ada pembiaran terhadap perusakan lingkungan, penambangan liar, atau alih fungsi lahan yang mengancam keselamatan warga.
Dalam pandangan Islam, pembangunan bukan sekadar mengejar pertumbuhan fisik atau kepentingan ekonomi, tetapi membangun peradaban yang harmonis dengan alam dan memuliakan manusia. Setiap kebijakan harus berlandaskan ketaatan kepada Allah sehingga praktik yang merusak lingkungan atau merugikan rakyat tidak boleh dibiarkan, meski terlihat menguntungkan.
Negara bertugas mengelola sumber daya dengan aturan syariat dan memastikan tata ruang tertib, memisahkan kawasan hunian, industri, pertanian, hutan, dan aliran sungai secara jelas agar risiko bencana dapat dicegah. Fasilitas publik pun dibangun sedekat mungkin dengan masyarakat, sementara aktivitas industri ditempatkan jauh dari pemukiman, disertai analisis lingkungan yang ketat agar alam tetap terjaga.
Sejak masa Khilafah, konsep kawasan lindung (hima) dan infrastruktur seperti bendungan, kanal, serta sistem drainase menjadi bagian dari tanggung jawab negara untuk menjaga keseimbangan ekologi. Bila bencana terjadi, negara wajib cepat bertindak, memenuhi kebutuhan penyintas, serta mengevaluasi pengelolaan lingkungan agar kelalaian tidak terulang. Islam juga menanamkan ketakwaan individu agar setiap orang berhati-hati menjaga alam, sementara pemimpinnya dituntut amanah dan benar-benar melindungi rakyat. Karena itu, sudah saatnya arah pembangunan kembali pada paradigma Islam, yang melihat pelestarian alam sebagai ibadah dan amana. Sehingga bumi kembali stabil dan hujan menjadi rahmat, bukan ancaman.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar