Bencana Sumatra Dan Dampak Kerusakan Lingkungan


Oleh : Ummu Aulia (Muslimah Pejuang Peradaban)

Duka mendalam masih dirasakan warga Indonesia, Bencana banjir bandang menerjang sebagian wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh dan beberapa daerah lainnya. 

Data korban meninggal dunia akibat bencana banjir dan longsor di Sumatera per senin (1/12) petang menjadi 604 korban jiwa, 464 korban hilang, 2.600 korban luka, 1,5 juta warga terdampak, serta 570 ribu jumlah pengungsi. 

Kepala Pusat Data, informasi, dan komunikasi kebencanaan BNPB Abdul Muhari menyampaikan jumlah korban yang ditampilkan merupakan data terbaru. (CNN.Indonesia). 

Sejumlah pihak sudah mendesak pemerintah untuk menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional, bahkan Bupati Aceh utara sudah menyatakan daerah tidak sanggup mengatasi bencana ini, kendati sudah banyak korban berjatuhan pemerintah enggan menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional. 

Pemerintah mengungkap alasan tidak menetapkan status banjir di sejumlah wilayah di Sumatera sebagai bencana nasional. Menurutnya, sejauh ini penanganan yang diberikan bertaraf nasional. Hal ini diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno dalam Konferensi pers di Posko Terpadu TNI, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (3/12/2025). (Kompas.com). 

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan kesiapan anggaran untuk penanganan bencana Sumatera, meskipun terjadi penurunan alokasi dari 2 triliun menjadi 491 miliar. 

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, realisasi anggaran sepenuhnya menyesuaikan dengan permintaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal tersebut disampaikan dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kadin di Park Hyat Jakarta, senin (1/12/2025). (Beritasatu.com). 

Penyebab banjir yang terjadi tidak hanya faktor curah hujan yang sampai pada puncaknya, banjir bandang terlihat sangat parah karena diiringi oleh saya tampung wilayah. 

Bencana yang terjadi saat ini bukan karena faktor alam atau ujian semata, tapi dampak kejahatan lingkungan yang sudah berlangsung lama dan didukung kebijakan penguasa. 

Penguasa memberikan hak konsesi lahan kepada swasta, izin pendirian perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk Ormas, UU minerba, uu Ciptaker. 

Penggundulan hutan yang dilakukan secara sistemis oleh korporat menyebabkan lahan kehilangan fungsinya, hutan yang seharusnya berfungsi menjadi tempat penyerapan air hilang karena keserakahan segelintir orang. Air hujan yang tak punya penyerapan akhirnya menyebabkan banjir di mana-mana. 

Dalam Sistem demokrasi kapitalisme sikap penguasa yang seperti ini sangat mudah dijumpai, dalam sistem ini penguasa hanya peduli kepada diri sendiri dan orang-orang nya. Guna melanggengkan kekuasaannya, tidak peduli rakyat sengsara serta menjadi korban yang terpenting sendirinya sudah mendapat bagian. 

Penguasa dan pengusaha kerap bekerjasama untuk menjarah hak rakyat atas nama pembangunan. Pemimpin dalam sistem ini tidak memperdulikan halal dan haram, sistem sekuler yakni pemisahan agama dari kehidupan terbukti melahirkan penguasa dzalim.

Pemimpin dalam sistem ini tidak melihat jabatan sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di yaumil hizab. Yang mereka fikirkan hanya kekuasaan dan keuntungan meskipun harus mengorbankan banyak orang. 

Musibah banjir dan longsor di Sumatera memperlihatkan bahaya nyata akibat kerusakan lingkungan, terlebih dengan pembukaan hutan besar-besaran tanpa memperhitungkan dampak keburukan yang terjadi kedepannya. 

Inilah efek dari negara meninggalkan hukum Allah atau sistem islam dalam pengelolaan lingkungan. Masyarakat yang menderita, sedangkan penguasa dan pengusaha yang menikmati hasilnya. 

Berbeda dengan sistem islam Al-Qur'an telah mengingatkan bahwa kerusakan di bumi akibat ulah tangan manusia sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata'ala, "Telah nampak kerusakan di darat dan lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) " ( Qs Ar- Ruum 41).

Dari ayat ini, sebagai wujud keimanan, umat islam harus menjaga kelestarian lingkungan. Menjaga hutan agar sesuai dengan fungsinya yakni sebagai paru-paru dunia juga sebagai penyerap air sehingga dapat diminimalisir. 

Negara melarang alih fungsi hutan menjadi lahan oleh swasta, kekayaan alam dikelola oleh negara tentu dengan mempertimbangkan dampak ke depannya, serta digunakan untuk kemaslahatan umat. Berbeda dengan saat ini swasta berebut mengeruk hasil bumi tak peduli dampak ke depannya. 

Negara siap mengeluarkan biaya untuk antisipasi pencegahan banjir dan longsor, melalui pendapat para ahli lingkungan. 

Hanya dengan hukum Allah, negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus dalam kebijakannya yakni mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari perbuatan yang merugikan. 

Khalifah dalam sistem ini beriman dan mempunyai rasa takut terhadap Allah, sebab mereka menganggap jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Jadi mereka bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanahnya.

Khalifah akan merancang blue print tata ruang secara menyeluruh, dengan menggandeng ahli yang berkompeten di bidangnya serta melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, tempat tinggal untuk masyarakat yang aman dengan semua daya dukungnya, industri, tambang, dan himmah sesuai tempatnya serta tidak menyebabkan kerusakan. 

Wallahu alam bissawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar