Remaja, Narkoba, dan Krisis Keimanan: Sebuah Seruan Menyelamatkan Generasi


Oleh: Chaleedarifa (Pegiat Literasi)

Kasus penyalahgunaan narkoba kembali menjadi alarm keras bagi kita semua. Penggerebekan aparat di Jalan Kunti, Surabaya, belum lama ini mengungkap fakta mencengangkan: 15 siswa SMP positif menggunakan narkoba.

Temuan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan bukti nyata bahwa generasi muda Indonesia tengah menghadapi ancaman serius pada usia di mana seharusnya mereka belajar, berkarya, dan membangun karakter untuk masa depan.

Lebih memilukan lagi, kawasan Jalan Kunti sudah lama dikenal sebagai “kampung narkoba”. Bedeng-bedeng kecil yang berdiri seadanya, beratap terpal, menjadi saksi transaksi barang haram itu berlangsung tanpa rasa dosa. Kita disuguhi informasi yang jauh lebih memilukan hati daripada peredaran zat terlarang itu sendiri, yakni pembiaran sosial dan ketidakpedulian atas adanya kemaksiatan.

Sikap abai dan pembiaran atas terjadinya kemaksiatan akan membawa konsekuensi logis, jika tidak hari ini, maka akan datang waktu terjadinya bencana yang lebih besar, ketika remaja kehilangan arah hidup, nilai keimanan yang terabrasi oleh gaya hidup hedon, serta pijakan moral yang rapuh, maka narkoba sebagai tempat pelariannya. Inilah pangkal persoalan yang sudah seharusnya menjadi fokus perhatian yang tidak dapat dipandang sepele.


Krisis Keimanan dan Hilangnya Makna Kebahagiaan

Dalam perspektif Islam, manusia memperoleh ketenteraman bukan melalui zat adiktif atau kesenangan instan, tetapi melalui kedekatan kepada Allah.

Firman-Nya dalam surah Ar-Ra’d ayat 28 menegaskan:
 Ø£َÙ„َا بِذِÙƒْرِ اللَّÙ‡ِ تَØ·ْÙ…َئِÙ†ُّ الْÙ‚ُÙ„ُوب
"Ketahuilah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenang."

Remaja yang mengonsumsi narkoba sesungguhnya sedang mencari ketenangan tetapi salah arah. Mereka mengira narkoba dapat memberikan kebahagiaan, padahal kesenangan itu hanya singkat dan menghancurkan masa depan. Jiwa yang jauh dari nilai keimanan akan mudah tergelincir dalam lembah dosa. Ketika keluarga dan sekolah gagal menjadi tempat strategis pembinaan mental dan spiritual, remaja akan mencari pelarian. Di sisi lain, ketika narkoba, peredarannya dan para sindikatnya merajalela tanpa adanya rasa takut dengan jerat hukum yang ada, maka inilah gerbang yang terbuka bagi mereka yang kehilangan arah, tujuan, dan pegangan hidup. 


Peredaran Narkoba yang Sistemik, Tanggung Jawab Negara

Fenomena kampung narkoba yang dibiarkan hidup bertahun-tahun menunjukkan rapuhnya sistem pengawasan negara dan lemahnya kontrol masyarakat. Sulit membayangkan remaja SMP dapat mengakses sabu atau obat terlarang jika distribusinya tidak berjalan masif dan terstruktur.

Islam menempatkan negara sebagai pelindung generasi. Allah mengingatkan dalam surah Al-Baqarah ayat 195:
 ÙˆَÙ„َا تُÙ„ْÙ‚ُوا بِØ£َÙŠْدِيكُÙ…ْ Ø¥ِÙ„َÙ‰ التَّÙ‡ْÙ„ُÙƒَØ©
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan."

Peredaran narkoba yang merasuk hingga ke bangku SMP jelas adalah bentuk kebinasaan. Negara tidak boleh hanya sibuk menindak pengguna kecil, tetapi harus memutus mata rantai distribusi, menghancurkan sarang narkoba, dan memastikan lingkungan sosial yang aman. Generasi muda adalah aset bangsa, bukan korban eksperimen kriminal.


Kemungkaran yang Dibiarkan Akan Menjadi Bencana

Yang lebih mengkhawatirkan dari narkoba adalah normalisasi kemaksiatan. Ketika masyarakat diam, ketika aparat ragu, ketika tokoh agama tidak bersuara, maka kejahatan akan beranak pinak.

Rasulullah ï·º bersabda "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu maka dengan lisannya; jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim)

Jalan Kunti adalah cermin dari kemungkaran yang tidak ditolak secara kolektif. Jika pembiaran ini berlanjut, bukan hanya 15 siswa yang menjadi korban, tetapi generasi demi generasi akan tenggelam dalam gelombang kehancuran moral.

Untuk mencegah malapetaka yang lebih luas, setidaknya ada tiga langkah strategis yang perlu ditempuh:

1. Penguatan nilai keimanan dalam keluarga dan sekolah
Nilai-nilai tauhid harus ditanamkan sejak dini. Pendidikan agama tidak sekadar formalitas, tetapi menjadi proses pembiasaan yang menumbuhkan kedekatan dan kecintaan kepada Allah. Dengan demikian, terjalinlah rasa keterhubungan dengan Allah Swt. yang menjadikan seseorang merasa selalu dibersamai sehingga menumbuhkan sikap berani berbuat benar dan takut berbuat salah. 

2. Negara wajib hadir sebagai pelindung generasi
Negara wajib bertindak solutif menutup kampung narkoba, memperkuat regulasi, serta memprioritaskan rehabilitasi berbasis pendekatan psikologis dan agama. Perlindungan ini bukan sekadar program, tetapi merupakan mandat syariat Islam, mengingat mayoritas masyarakat di Indonesia memeluk agama Islam.

3. Masyarakat wajib mencegah kemungkaran
Diam berarti ikut merusak. Orang tua, pendidik, tokoh agama, dan perangkat desa harus bersinergi melakukan pengawasan, penyuluhan, dan pembinaan akhlak remaja.

Kasus narkoba yang melibatkan siswa SMP bukan hanya tragedi kriminal, tetapi menjadi indikator robohnya benteng moral bangsa. Masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh sumber daya alam saja, melainkan oleh kualitas manusianya. Jika generasi muda hancur, maka masa depan negeri ini tinggal menunggu waktu pula menuju kehancuran nyata.

Menyelamatkan remaja dari narkoba bukan sekadar tugas hukum, bukan pula sekadar proyek sosial. Ia adalah tanggung jawab semua elemen mulai dari ranah kekuarga, masyarakat, hingga negara. 

Kita sebagai bagian dari elemen keluarga, maupun masyarakat sudah semestinya memiliki rasa kepedulian dan tanggung jawab dalam persoalan krusial ini dengan menjaga keluarga kita, mendidik siswa kita agar menjauh dan tak perlu kenal narkoba. Selebihnya, negara sebagai pemilik kekuasaan yang memiliki kewenangan dan tanggung mutlak dalam mengurus umat, yang di tangannya mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan dengan ditegakkannya aturan dan diterapkannya sanksi tegas yang menjerakan, darurat wajib bertindak sebelum semuanya terlambat. 

Biodata Penulis:
Chaleedarifa adalah seorang pegiat literasi dan pemerhati persoalan pendidikan dan kemasyarakatan.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar