Kapitalisme Digital: Mesin Perusak Mental Generasi Indonesia


Oleh : Sophia Halima Ismi

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi fenomena yang semakin mengkhawatirkan: meningkatnya gangguan kesehatan mental di kalangan generasi muda akibat penggunaan gadget dan media digital yang berlebihan. Fakta ini bukan lagi isu teoretis atau sekadar kekhawatiran orang tua, tetapi sudah menjadi realitas yang dibuktikan oleh data nasional dan internasional.

Menurut laporan CNBC Indonesia, warga Indonesia kini menjadi pengguna gadget paling kecanduan di dunia, bahkan disebut berada dalam kategori kecanduan akut. Waktu penggunaan layar (screen time) masyarakat Indonesia, terutama remaja, mencapai angka ekstrem hingga belasan jam per hari. Sementara itu, berbagai penelitian yang dikutip media seperti Kompas, Kumparan, dan CNN Indonesia mengungkapkan dampak negatif yang sangat serius dari penggunaan gadget berlebih: digital dementia, penyusutan kemampuan berpikir, menurunnya kapasitas konsentrasi, meningkatnya kecemasan, kesepian, hingga gejala depresi.

Yang lebih memprihatinkan, Indonesia adalah salah satu negara yang tidak memiliki aturan usia minimum penggunaan media sosial. Negara-negara lain, seperti Prancis, Irlandia, Amerika Serikat, dan Korea Selatan, sudah menerapkan batas usia 13–16 tahun, bahkan beberapa melarang total penggunaan media sosial bagi anak-anak. Namun di Indonesia, anak usia 5–7 tahun pun bisa dengan mudah memiliki TikTok, Instagram, bahkan mengakses konten-konten yang berbahaya secara mental. Indonesia pada akhirnya menjadi pasar bebas bagi korporasi digital global, sementara generasi mudanya menjadi korban.

Fenomena ini menandakan bahwa apa yang sedang terjadi lebih dari sekadar persoalan gaya hidup atau pengawasan orang tua. Ada masalah struktural yang jauh lebih besar di baliknya.


Ledakan Gangguan Mental di Kalangan Generasi Muda

Artikel Kompas yang berjudul “Remaja Jompo dan Bahaya Digital Dementia” mengungkap data mencengangkan: banyak anak muda Indonesia kini mengalami gejala digital dementia, yaitu penurunan kemampuan kognitif akibat paparan digital berlebih. Gejala ini sebelumnya hanya ditemukan pada lansia, tetapi kini justru dialami remaja dan anak-anak.

Digital dementia membuat anak muda sulit menghafal, malas berpikir, mudah terdistraksi, sulit fokus, dan kehilangan kemampuan analisis mendalam. Ini sejalan dengan laporan lain tentang meningkatnya kesepian di kalangan remaja. Ironisnya, media sosial yang seharusnya mendekatkan orang justru menjauhkan manusia dari interaksi nyata, membuat mereka kesepian di tengah keramaian digital.
Dampak mental lainnya juga sudah terbukti secara ilmiah. Menurut laporan Kumparan, perusahaan besar seperti Meta pernah menemukan bukti internal bahwa platform mereka membahayakan kesehatan mental pengguna—terutama remaja perempuan—tetapi mereka menghentikan riset tersebut karena dianggap mengancam keuntungan perusahaan.

Artinya, penderitaan mental anak muda bukan lagi sekadar akibat sampingan, tetapi merupakan bagian dari struktur industri digital itu sendiri.


Kapitalisme Digital : Mesin Pembentuk Krisis Mental Generasi

Untuk memahami akar persoalan, kita perlu melihat hubungan antara teknologi, media sosial, dan sistem ideologi yang menaunginya—yaitu Kapitalisme.
Dalam sistem Kapitalisme, perusahaan digital beroperasi dengan tujuan utama: memaksimalkan keuntungan. Artinya:
> semakin lama seseorang berada di depan layar, semakin besar keuntungan iklan masuk,
> semakin sering remaja scroll, semakin sering platform memanen data pribadi mereka,
> semakin terpaku remaja pada aplikasi, semakin besar peluang monetisasi.

Platform digital didesain bukan untuk membuat manusia sehat, tetapi untuk membuat manusia ketagihan. Inilah mengapa fitur-fitur seperti infinite scroll, autoplay, push notification, dan algoritma yang memanipulasi emosi digunakan.

Bahkan, menurut berbagai laporan internasional, perusahaan-perusahaan digital besar secara sadar menciptakan sistem yang membuat pengguna rentan mengalami kecemasan dan ketagihan. Mereka tahu, tetapi tidak peduli—selama keuntungan terus mengalir.

1. Dalam Kapitalisme, Remaja Hanyalah “Produk”
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk muda terbesar, menjadi target empuk. Remaja Indonesia adalah:
> pasar raksasa,
> sumber data besar,
> konsumen potensial iklan.
Mereka bukan dipandang sebagai generasi masa depan yang harus dijaga, tetapi sebagai objek ekonomi yang harus dieksploitasi.

2. Negara Tidak Melindungi Generasi, Hanya Melindungi Pasar
Berbeda dengan negara-negara lain yang mulai membatasi usia penggunaan media sosial, memberlakukan regulasi ketat, bahkan menutup akses platform tertentu demi melindungi anak muda, Indonesia justru terlambat, longgar, bahkan abai.
Hingga kini:
> tidak ada batas usia penggunaan media sosial,
> tidak ada filter nasional terhadap konten berbahaya,
> tidak ada pengawasan algoritma,
> tidak ada regulasi AI yang tegas,
> tidak ada program nasional perlindungan kesehatan mental remaja yang memadai.
Indonesia dijadikan pasar oleh Big Tech global. Negara tidak hadir sebagai pelindung generasi, melainkan hanya sebagai regulator pasif yang memberi akses seluas-luasnya bagi perusahaan digital meraup keuntungan. Ini sejalan dengan karakter Kapitalisme yang memposisikan negara sebagai “penjaga pasar”, bukan penjaga rakyat.

3. Generasi yang Rusak Bukan Kecelakaan, Tetapi Konsekuensi Sistem
Dalam sistem yang orientasinya adalah profit, bukan kemaslahatan, remaja akan terus menjadi korban. Gangguan mental mereka dianggap biaya sampingan, bukan masalah. Implementasi teknologi yang merusak dianggap normal selama menguntungkan.
Karena itulah, krisis mental generasi muda tidak bisa diselesaikan hanya dengan:
> himbauan orang tua,
> ceramah motivasi,
> konten tips digital detox,
> pelatihan literasi digital.
Masalahnya bersifat struktural, sehingga solusinya pun harus bersifat struktural.


Solusi Islam melalui Institusi Negara (Khilafah)

Dalam Islam, negara bukan sekadar pengatur administrasi, tetapi penanggung jawab utama kesejahteraan dan kualitas generasi. Khilafah memiliki visi besar: membentuk generasi kuat yang mampu memimpin peradaban. Karena itu, proteksi terhadap anak dan remaja bukan kebijakan tambahan, tetapi pilar utama pembangunan masyarakat.

Berbeda dengan Kapitalisme, Islam memandang generasi sebagai amanah, bukan pasar. Karena itulah kebijakan Khilafah untuk menjaga remaja mencakup langkah preventif, kuratif, dan struktural.
1. Pendidikan Islam sebagai Benteng Utama
Pendidikan berbasis aqidah Islam menghasilkan generasi yang:
> mampu mengendalikan diri,
> memiliki orientasi hidup yang benar,
> tidak mudah terjebak hedonisme,
> tidak menjadikan gadget sebagai pusat kehidupan,
> memiliki karakter kuat dan mandiri berpikir,
> memahami peran besar mereka sebagai pembangun peradaban.

Dalam sistem pendidikan Islam:
> guru adalah murabbi karakter, bukan sekadar penyampai materi,
> kurikulum membentuk pola pikir dan pola sikap islami,
> adab dan akhlak menjadi pilar utama,
> teknologi hanya menjadi alat, bukan pusat hidup.
Model pendidikan seperti ini melahirkan generasi yang tidak rapuh secara mental.

2. Optimalisasi Peran Orang Tua
Islam menempatkan orang tua sebagai madrasah ula (sekolah pertama). Negara mendorong orang tua:
> mengenalkan adab sebelum ilmu,
> mendidik anak mencintai Al-Qur’an,
> membiasakan aktivitas produktif,
> menanamkan pondasi iman,
> memberikan keteladanan dalam penggunaan teknologi secara sehat.
Dengan dukungan sistemik dari negara, orang tua tidak dibiarkan berjuang sendirian.

3. Peran Masyarakat untuk Amar Makruf Nahi Munkar
Dalam Khilafah, masyarakat juga memiliki tanggung jawab menjaga lingkungan sosial agar tetap sehat:
> saling menegur ketika ada perilaku merusak,
> mendorong kebaikan,
> membangun budaya ilmu,
> mengawasi interaksi sosial remaja,
> menciptakan lingkungan yang aman dan beradab.
Masyarakat bukan kumpulan individu yang acuh, tetapi komunitas yang saling melindungi.


Langkah Khusus Negara untuk Melindungi Generasi dari Bahaya Digital

Karena media digital memiliki dampak signifikan terhadap mental remaja, negara perlu melakukan langkah khusus dan tegas.
1. Pengawasan Konten
Khilafah akan:
> menyaring seluruh konten agar sesuai syariat,
> memblokir konten yang merusak akidah, akhlak, atau moral,
> memberikan sanksi keras bagi pembuat konten tidak islami,
> membatasi akses pada jam atau kategori tertentu.
Konten tidak bebas seperti dalam sistem Kapitalisme.

2. Pembatasan Media Sosial
Tidak semua aplikasi medsos boleh beroperasi dalam negara Islam. Hanya platform yang:
> tidak merusak,
> tidak mencuri data,
> tidak mendorong hedonisme dan pornografi,
> tidak mengandung algoritma manipulatif,
> yang diizinkan masuk.

3. Pembatasan Usia Pengguna
Anak kecil tidak dibiarkan bermain medsos. Negara menetapkan usia minimal yang aman berdasarkan syariat dan riset kesehatan mental.

4. Pengaturan Artificial Intelligence (AI)
AI hanya boleh dikembangkan dan digunakan dalam koridor syariat:
> tidak boleh merusak akhlak,
> tidak boleh menggantikan fungsi manusia secara tidak proporsional,
> tidak boleh mengontrol perilaku manusia,
> tidak boleh menghasilkan manipulasi psikologis.
AI diarahkan untuk kemaslahatan umat, bukan keuntungan perusahaan raksasa.

Generasi muda Indonesia saat ini berada di titik kritis. Mereka menghadapi tekanan mental yang belum pernah terjadi sebelumnya. Krisis ini tidak terjadi karena mereka lemah, tetapi karena mereka hidup dalam sistem yang membiarkan kerusakan itu tumbuh.

Kapitalisme menjadikan mereka pasar, bukan amanah. Negara dalam sistem ini tidak melindungi mereka. Sementara perusahaan digital tidak peduli dengan kesehatan mental mereka.

Islam, melalui institusi Khilafah, menawarkan solusi menyeluruh: pendidikan yang benar, pengawasan konten, pembatasan media sosial, regulasi AI, serta penguatan peran keluarga dan masyarakat. Semua dilakukan dalam satu tujuan besar: mewujudkan generasi terbaik, generasi pemimpin peradaban, generasi yang kuat secara iman, akal, dan mental.

Jika kita ingin generasi muda kembali sehat dan kuat, maka perubahan sistemik adalah satu-satunya jalan. Dan Islam telah menyiapkan sistem itu secara lengkap.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar