Ketika Jalan Rusak Menyadarkan Kita : Solidaritas Warga vs Tanggung Jawab Negara


Oleh : Ratu Azmaira Khalisah

Ketika pemerintah daerah terus berbicara tentang pembangunan, modernisasi kota, dan percepatan pelayanan publik, realitas di lapangan sering kali menunjukkan kontras yang menyakitkan. Salah satu gambaran paling jelas muncul dari Perumahan Puri Cendana, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Di tempat ini, bukan pemerintah yang bergerak cepat memperbaiki jalan utama yang rusak, melainkan empat pemuda yang resah melihat jalan itu semakin membahayakan pengendara dan menghambat mobilitas warga. Dari keresahan kecil itulah lahir gerakan besar: urunan warga yang berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp189.296.500, cukup untuk memulai pengecoran jalan yang menghubungkan tujuh RW dan menjadi akses vital bagi ribuan penduduk. Perbaikan mulai dilakukan pada 21 November 2025, sebagaimana diberitakan Radar Bekasi.

Inisiatif ini memang mengharukan. Ia menunjukkan betapa kuatnya solidaritas warga ketika berhadapan dengan masalah nyata yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Namun pada saat yang sama, gerakan ini seperti cermin besar yang memantulkan wajah pemerintah daerah—lembaga yang seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap infrastruktur publik—namun justru tertinggal jauh di belakang partisipasi masyarakat. Ketika warga harus swadaya untuk memperbaiki jalan utama, pertanyaan besar pun muncul: Di mana negara?

Tulisan ini mengupas fakta, analisis akar persoalan, serta solusi komprehensif menurut Islam dalam pengelolaan infrastruktur publik.


Fakta : Gotong Royong Rp189 Juta untuk Menambal Kewajiban Negara

Jalan utama Puri Cendana merupakan jalur penghubung penting. Kerusakan jalan telah dirasakan warga dalam waktu lama—mulai dari retakan besar, lubang-lubang berbahaya, hingga genangan air yang sering menutupi jalan ketika hujan. Dalam kondisi normal, ini seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah karena jalan adalah fasilitas publik yang sangat fundamental, memengaruhi mobilitas, produktivitas, hingga keselamatan warga.

Namun alih-alih perbaikan cepat dari pemerintah, empat pemuda justru menjadi motor penggerak. Mereka mengetuk pintu warga, melakukan sosialisasi, membuat proposal swadaya, hingga akhirnya terkumpul dana hampir Rp200 juta—angka yang sangat besar untuk ukuran sebuah perumahan.

Besarnya respons warga menunjukkan dua hal:
1. Masyarakat melihat kebutuhan nyata yang harus segera ditangani.
Jalan rusak menghambat semua aktivitas: kerja, sekolah, kesehatan, bahkan ekonomi lingkungan.
2. Ada kepercayaan sosial (social trust) horizontal antarwarga.
Ketimbang menunggu pemerintah yang belum tentu bergerak, warga percaya bahwa gotong royong adalah solusi tercepat.

Namun, dua hal itu pula yang menguak sisi suram dari keadaan: mengapa justru masyarakat harus menggalang dana untuk infrastruktur dasar yang seharusnya ditanggung pemerintah?


Analisis : Swadaya Warga adalah Bukti Solidaritas, tetapi Juga Bukti Kegagalan Negara

1. Solidaritas yang lahir dari keputusasaan terhadap pemerintah
Inisiatif warga memang patut diapresiasi. Gotong royong sudah menjadi tradisi panjang dalam masyarakat Indonesia. Namun ketika solidaritas warga menggantikan fungsi dasar negara, itu adalah tanda adanya kelalaian struktural. Dana Rp189 juta yang dikumpulkan bukan angka kecil. Ini membuktikan dua hal:
> Warga bersedia berkorban demi lingkungan mereka.
> Pemerintah daerah tidak hadir tepat waktu dalam memenuhi kewajibannya.
Dengan kata lain, gerakan swadaya adalah reaksi, bukan solusi jangka panjang.
Jika gerakan seperti ini terus dibiarkan menjadi norma, maka negara semakin dimanjakan untuk terus abai. Pemerintah dapat berdalih, “Warga bisa mengurus sendiri.” Padahal, hak rakyat atas infrastruktur adalah kewajiban negara yang tidak boleh dialihkan.

2. Beban swadaya tidak merata dan berisiko menimbulkan ketidaksetaraan
Swadaya selalu tampak indah dari jauh, tetapi dari dekat ia menyimpan risiko:
> Kemampuan warga berbeda-beda.
Ada yang mampu menyumbang ratusan ribu, jutaan, bahkan puluhan juta. Tetapi ada juga keluarga yang kesulitan menambah pengeluaran bulanan.
> Potensi elite capture.
Dalam kegiatan swadaya, suara mereka yang menyumbang besar cenderung lebih dominan dalam pengambilan keputusan—sebuah ketimpangan yang tidak sehat.
> Tidak adanya standar akuntabilitas formal.
Pengelolaan dana warga sangat bergantung pada integritas panitia. Tanpa mekanisme baku ala pemerintahan, selalu ada risiko salah kelola atau kecurigaan.
Hal-hal ini membuat swadaya bukan solusi yang ideal. Ia baik sebagai bentuk kepedulian, tetapi buruk jika terus dipaksa menggantikan peran negara.

3. Kegagalan administratif pemerintah daerah
Kerusakan jalan seharusnya cepat teridentifikasi melalui:
> Musrenbang,
> reses anggota dewan,
> laporan perangkat RT/RW,
> dan monitoring rutin dinas terkait.
Ketika warga lebih cepat dari pemerintah, itu menunjukkan:
> tata kelola yang lamban,
> birokrasi yang berbelit,
> minimnya anggaran infrastruktur,
> atau tidak adanya political will.
Ini adalah problem struktural, bukan insidental.


Akar Masalah : Paradigma Negara yang Tidak Ri’ayah

Masalah ini tidak berdiri sendiri. Ia terkait dengan paradigma negara modern hari ini yang memandang rakyat sebagai “objek pembangunan”, bukan “pihak yang harus diurus secara hakiki”.

Dalam sistem sekuler-kapitalistik, pemerintah daerah sering terjebak pada orientasi anggaran, tender proyek, atau relasi politik dengan kontraktor. Infrastruktur menjadi komoditas proyek, bukan layanan publik. Akibatnya:
> pengerjaan sering tertunda,
> prioritas mengikuti kepentingan politik,
> dan warga menjadi pihak yang “mengerti sendiri” kebutuhan lingkungan mereka.
Ketika negara abai, swadaya muncul sebagai jalan darurat.

Namun model ini tidak adil karena:
> Negara memiliki pendapatan dari pajak, retribusi, dan transfer anggaran.
> Infrastruktur publik adalah hak rakyat, bukan belas kasihan pemerintah.
> Warga sudah membayar pajak, sehingga tidak semestinya membayar lagi untuk perbaikan fasilitas umum.

Dengan demikian, akar persoalan bukan sekadar kerusakan jalan, melainkan paradigma sistemik bahwa negara boleh lepas tangan selama masyarakat bisa mengurus diri sendiri.


Solusi Islam : Infrastruktur Publik adalah Hak Rakyat, Kewajiban Negara

Islam memiliki konsep yang sangat jelas terkait pengelolaan fasilitas publik. Dalam sistem Khilafah, infrastruktur seperti jalan termasuk kategori milkiyah ‘ammah (kepemilikan umum). Konsekuensinya:

1. Pendanaannya berasal dari Baitul Mal, bukan swadaya warga
Baitul Mal memiliki pos-pos keuangan yang secara khusus digunakan untuk:
> kepemilikan umum (air, energi, tambang),
> fai dan kharaj,
> jizyah (untuk non-Muslim yang tinggal dalam negara Islam),
> serta pemasukan lain yang diatur syariah.

Dari pos inilah:
> pembangunan jalan,
> perbaikan trotoar,
> jembatan,
> saluran air,
> penerangan jalan,
> dan fasilitas publik lain dibiayai secara penuh oleh negara.

Tidak ada istilah “swadaya wajib” atau “gotong royong untuk tutup kekurangan anggaran”. Swadaya hanya berlaku dalam hal-hal sosial, bukan dalam memenuhi kebutuhan dasar infrastruktur publik.

2. Penguasa adalah ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung)
Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (khalifah) itu adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas mereka." (HR. al-Bukhari)

Artinya, pemimpin bertanggung jawab total atas kesejahteraan material rakyat, termasuk layanan publik. Ketika jalan rusak, ia harus:
> merespons cepat,
> menggerakkan perangkat administratif,
> mengalokasikan anggaran,
> dan memastikan kualitas pengerjaan terbaik.
Tidak boleh ada birokrasi bertele-tele yang menghambat pelayanan.

3. Masyarakat tetap berperan aktif, tetapi sebagai pengawas
Islam sangat mendorong muhasabah lil hukam—pengawasan terhadap penguasa. Fungsinya:
> memastikan negara tidak lalai,
> mencegah korupsi,
> menuntut keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Ini adalah peran yang benar, bukan memberatkan rakyat menjadi pendana layanan publik. Dengan demikian, gotong royong dalam Islam tetap hidup, tetapi bentuknya berubah:
> bukan urunan uang,
> melainkan urunan suara untuk menegakkan keadilan.

4. Infrastruktur dibangun dengan standar terbaik, bukan murah-meriah
Khilafah tidak mengenal mental proyek. Tujuan pembangunan adalah:
> kemaslahatan rakyat,
> keberlanjutan,
> dan pelayanan optimal.
Karena itu, kualitas material, teknik pengerjaan, dan pengawasan harus mengacu pada standar paling tinggi, bukan sekadar efisiensi anggaran.

Swadaya warga Puri Cendana adalah kisah inspiratif, tetapi sekaligus tamparan keras bagi pemerintah. Inisiatif empat pemuda yang berbuah gerakan besar membuktikan bahwa masyarakat mampu bersatu untuk kepentingan bersama. Namun pada saat yang sama, keadaan ini menunjukkan betapa jauhnya negara dari fungsi utamanya sebagai pengurus rakyat.

Selama paradigma kapitalistik terus menganggap layanan publik sebagai beban anggaran, bukan amanah, kasus seperti ini akan terus berulang: di Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor, Jakarta, dan daerah-daerah lainnya.

Islam menawarkan solusi struktural: negara yang menanggung penuh infrastruktur publik, didanai dari sistem keuangan syariah yang mandiri, serta dipimpin oleh pemimpin yang sadar bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas setiap kerikil yang menyakiti kaki rakyatnya.

Inilah yang harus menjadi renungan. Bahwa gotong royong adalah kekuatan kita, tetapi negara yang amanah adalah kebutuhan kita. Dan tanpa sistem yang benar, solidaritas warga hanya akan menjadi penambal dari lubang-lubang besar kegagalan negara.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar