Bencana Sumatera : Riuh Suara Netizen dan Gagap Penguasa


Oleh : Desti Ritdamaya (Praktisi Pendidikan)

Tak ada takdir yang tak berhikmah. Karena Allah SW mendesainnya secara sempurna. Termasuk takdir bencana Sumatera. Dengannya menyingkap siapa dalang di balik bencana, siapa peduli dengan korban bencana.

Pilu dan duka masih mendalam di tanah Sumatrera (Aceh, Sumut dan Sumbar). Jumlah koban terdampak banjir bandang dan tanah longsor terus meningkat. Penderitaan korban pasca bencana belum usai. Namun penanganan dan bantuan bencana berjalan lamban.  

Bencana ini menghentakkan asa kemanusiaan, memantik kemarahan. Kemanusiaan jelas tertuju pada para korban. Tapi kemarahan tertuju pada pemerintah. Membaca berita baik dari media mainstream maupun media sosial, netizen beramai-ramai ‘merujak’ pemerintah dalam menyikapi bencana. Bahkan netizen berani mempertanyakan “sebenarnya apakah ada negara untuk rakyat?”

Dalam bencana Sumatera ini mengemuka sikap para netizen beberapa hal, yaitu : 

Sadar. Bencana ini membuka akal netizen. Bahwa klaim pemerintah penyebab banjir atau tanah longsor yang kerap menerpa negeri karena intensitas curah hujan ekstrem adalah dalih. Klaim tersebut hakikatnya bentuk lepas tangan pemerintah. Ya gelondongan kayu yang hanyut bersama air adalah bukti bahwa bencana ini bukan salah alam. Tapi kerusakan lingkungan parah akibat kerakusan pejabat yang memperkaya diri dan pro kapitalis. Mereka sembarang membuat kebijakan. Mereka yang menikmati cuan, tapi rakyat yang terimbas getahnya.
 
Muak. Netizen yang masih punya akal dan hati, pasti tak tahan melihat sikap pemerintah yang nirempati. Ada pejabat setempat menyerah menghadapi bencana dan kabur dengan berumrah. Ada wakil rakyat daerah setempat malah studi banding penanganan bencana ke luar kota. Ada pejabat yang menganggap bencananya tak mencekam seperti visualisasi di media sosial. Ada ajudan presiden yang ‘menikmati’ perjalanan kunjungan ke tempat bencana seraya aktualisasi kenyamanan diri. 

Ada pejabat yang terus dan terus membantah penyebab banjir bukan aktivitas penambangan ugal-ugalan. Ada pejabat pencitraan dengan panggul beras padahal dirinya terduga sindikat perusak alam. Ada pejabat yang meninjau lokasi bencana dengan pakaian rompi seakan berbahaya, selanjutnya safari ke tempat wisata. Ada pejabat setempat yang membagi-bagi bantuan tapi dengan lempar sana sini. Bahkan pucuk pejabat negeri ini lebih memiliih kunjungan ke Pakistan di saat Sumatera belum pulih. Ya semua kemuakan ini tetap saja menjadikan pejabat terhormat duduk manis dalam jabatannya tanpa ada rasa malu dan berdosa.  

Warga bantu warga. Tagar ini mencuat di ruang publik. Bentuk protes netizen pada pemerintah yang berat hati menangani bencana Sumatera. Yang gercep membantu malahan sesama warga dan korban sendiri. Wajar netizen menilai pemerintah dalam menyikapi bencana amat gelagapan. Yang menyesakkan para netizen diaspora yang ingin mengirimkan bantuan dikenakan pajak oleh pemerintah. Kekecewaan netizen semakin bertambah saat pucuk pejabat negeri ini malah menyumbang Rp 16,7 triliun untuk hutan hujan tropis Brazil. Tapi bantuan untuk Sumatera tersendat dan terbelit administrasi dan kurang koordinasi. Pun bantuan pemerintah diklaim sebagai bantuan pribadi pejabat.

Sampai detik ini status bencana Sumatera sebagai bencana nasional belum ditetapkan. Suara-suara kritis netizen mengungkap dibalik hal tersebut. Bahwa perusahaan milik pejabat terhormat menjadi dalang kerusakan hutan. Ketakutan borok mereka semakin nampak, sehingga ditutupi dengan sejuta alasan. 


Pemerintah Kapitalis : Nihil Tanggung Jawab dalam Bencana

Nirempati dan ketakpedulian pemerintah terhadap bencana menimpa rakyat menunjukkan bahwa pemerintah belum merasakan penderitaan rakyat. Tampak ada jurang antara pemerintah dengan rakyat, seakan-akan rakyat bukan bagian dari urusan dan tanggung jawab pemerintah. Rakyat diminta untuk mengatasi sendiri permasalahannya. Jelas hal ini tak mencerminkan sikap kepemimpinan sejati.
Keberpihakan pemerintah bukan pada rakyat. Keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha swasta atau asing pembabat hutan untuk perkebunan kelapa sawit tampak gamblang. Pengusaha mengendalikan kebijakan pemerintah. Tentu saja kebijakan yang berorientasi pada keuntungan dan jauh dari kepentingan rakyat. Bahkan harus diakui pejabat pemerintah hari ini adalah pengusaha itu sendiri. Sistem ekonomi kapitalis meniscayakan pengusaha menjadi pejabat pemerintah. Apalagi kalau bukan untuk gunung ‘emas’ yang tak pernah mereka puas menambah dan menambahnya.  

Pemerintah lalai dalam urusan dan kemashlahatan rakyat. Padahal setiap ajang pesta demokrasi mereka kerap berjanji melayani rakyat sepenuh hati. Realitanya mereka absen saat ditagih “political comitment” nya. Benarlah ungkapan ada dan tiadanya negara sama saja. Hal ini wajar terjadi karena sistem kapitalisme meniscayakan pemerintah ‘berdagang’ dengan rakyat. Pemerintah dilayani rakyat bukan pelayan rakyat. 


Sistem Islam Tanggap Bencana

“Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Ta’ala”. 
“Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan”

Ucapan mashyur dari pemimpin terkenal ketika melihat jalan berlubang di Iraq dan menghadapi bencana paceklik. Dialah khalifah Islam kedua, Umar bin Khattab. Tak hanya sekadar ucapan tapi Beliau buktikan dengan perbuatan. Beliau rela tak makan daging dan susu, hanya makan sedikit roti dan minyak, karena ingin merasakan penderitaan rakyatnya saat itu. Beliau memandang kepemimpinan bukan sarana memperkaya diri dan popularitas tapi amanah. Kepemimpinan yang hanya lahir dari keimanan dan penerapan Islam kaffah. 

Dalam sistem Islam, amanah kepemimpinan berarti menjalankan tugas sebagai ulil amri dan khadimul ummah. Ulil amri mengurus kemashlahatan rakyat, dan khadimul ummah melayani rakyat. Kepastian amanah ini diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Inilah yang berat bagi seseorang yang bertaqwa dalam memikul amanah kepemimpinan umat. 


Allah SWT berfirman :
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ۝٥٦
Artinya : "Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al A'raf ayat 56). 

Rasulullah SAW bersabda :
فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya : "Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat." (HR. Muslim).

اتَّقُوا اللَّاعِنَيْنِ. قَالُوا: وَمَا اللَّاعِنَانِ؟ قَالَ: الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Artinya : "Hindarilah dua perkara yang menyebabkan laknat (didoakan jelek).” Mereka bertanya: “Apa dua perkara itu?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang buang air di jalan yang dilalui manusia atau di tempat mereka berteduh." (HR. Muslim).

Firman Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW di atas memberikan tuntunan menjaga lingkungan dan larangan merusaknya. Sistem Islam mengatur pembangunan sesuai syari’at Islam yang tak merusak lingkungan. Pembabatan hutan untuk kepentingan individu maupun perusahaan swasta dan asing tak diperbolehkan. Karena hutan termasuk kepemilikan umum. Pengelolaannya harus diserahkan pada negara untuk kemashlahatan rakyat. Rasulullah SAW bersabda : 
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Artinya : "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Dalam sistem Islam ada baitu mal seksi diwaanu ath-thawaari (urusan darurat/bencana alam) dalam baitul mal. Seksi ini mengurusi bantuan negara kepada rakyat khusus kondisi darurat/bencana alam mendadak. Seperti gempa bumi, banjir, angin topan, tsunami, wabah penyakit menular. Karena dalam kondisi darurat/bencana alam yang diperhatikan adalah keselamatan jiwa rakyat. Bantuan ini tak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat selama bencana tapi juga untuk rekonstruksi pasca bencana.

Sistem Islam dalam kondsi siap mencegah dan mengatasi bencana sesuai hukum syara’. Kepemimpinan dalam sistem Islam pro dan peduli rakyat. Jelas yang merusak Sumatera bukanlah bencana tapi kebijakan dan sikap pemerintah yang tak sesuai syari’at Islam. Wallahu a’lam bish-shawabi.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar