Ratusan Keluarga Ditarget Lulus Miskin, Mampukah?


Oleh : Haima Adelia

Di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat, pemerintah kembali menegaskan bahwa bantuan sosial (bansos) bukanlah hak seumur hidup. Masyarakat miskin, khususnya yang berada pada usia produktif, diberikan batas waktu maksimal lima tahun untuk “mandiri” dan wajib keluar dari daftar penerima bantuan. Penegasan ini disampaikan melalui kebijakan graduasi Program Keluarga Harapan (PKH) dan program bansos lain yang berjalan secara nasional. Para pendamping PKH ditargetkan untuk meluluskan minimal sepuluh keluarga penerima manfaat (KPM) setiap tahun. Mengacu pada jumlah pendamping di Kota Bekasi, target ini berarti sedikitnya 640 keluarga miskin harus graduasi setiap tahun, terlepas dari apakah kondisi ekonomi mereka benar-benar membaik atau tidak.

Pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini diperlukan agar warga miskin dapat “bertumbuh” dan tidak bergantung pada bantuan. Selain itu, graduasi dianggap sebagai mekanisme untuk membuka ruang bagi keluarga lain yang belum pernah menerima bantuan. Pada satu sisi, gagasan ini tampak ideal. Namun pada kenyataannya, apakah benar masyarakat miskin dapat mandiri dalam lima tahun, di tengah sistem ekonomi yang terus menciptakan PHK, pengangguran, dan biaya hidup yang terus meroket?


Bansos : Tempelan Luka di Atas Sistem yang Melahirkan Kemiskinan

Secara faktual, sulit untuk mengatakan bahwa masyarakat miskin dapat keluar dari kondisi kemiskinan hanya melalui instrumen bansos sementara sistem ekonomi yang menaungi kehidupan mereka justru selalu melahirkan kemiskinan struktural. Kapitalisme meniscayakan distribusi kekayaan yang timpang. Segelintir elit menguasai sumber daya, sementara kelompok masyarakat terbawah harus bertahan dengan upah yang tidak sebanding dengan harga kebutuhan hidup.

Indonesia bukan hanya menghadapi masalah pengangguran terbuka, tetapi juga gelombang PHK massal yang terjadi sejak 2023 hingga 2025 akibat perlambatan ekonomi global dan otomatisasi industri. Di Bekasi sendiri, sebagai kawasan industri besar, ribuan pekerja telah kehilangan pekerjaan. Sementara itu, harga kebutuhan pokok terus merangkak naik akibat dikuasainya sumber daya strategis oleh swasta dan asing—mulai dari energi, air, pangan, hingga sektor pertambangan yang menjadi penentu harga barang di pasaran.

Dalam kondisi ini, bansos sebenarnya tidak lebih dari pereda nyeri sementara bagi luka yang dalam. Ia mungkin meredam kemiskinan untuk sesaat, tetapi tidak menyentuh akar masalah. Selama energi dikuasai korporasi, selama air diprivatisasi, selama tanah dan tambang dikelola untuk keuntungan swasta, dan selama sistem produksi berorientasi akumulasi modal, kemiskinan akan terus tercipta walaupun setiap tahun pemerintah “meng-graduasi” 640 keluarga miskin.

Lalu bagaimana mungkin pemerintah menuntut keluarga miskin untuk mandiri dalam lima tahun, sementara mereka terjebak dalam sistem yang membuat mereka miskin sejak awal?


Graduasi Bansos : Pemberdayaan atau Pemutusan Bantuan?

Dalam banyak testimoni di lapangan, keluarga miskin justru melihat kebijakan graduasi lima tahun ini sebagai pemutusan bantuan, bukan pemberdayaan. Ada beberapa alasan:
1. Tidak ada transformasi struktural yang memungkinkan mereka naik kelas.
Pelatihan kerja yang diberikan tidak sebanding dengan kebutuhan pasar. Akses modal sulit. Sementara peluang usaha terganjal mahalnya perizinan dan dominasi korporasi besar.
2. Mobilitas sosial dalam kapitalisme sangat rendah.
Data global menunjukkan bahwa untuk naik kelas ekonomi, keluarga miskin membutuhkan setidaknya tiga generasi, bukan lima tahun. Artinya, target graduasi cepat lebih merupakan angka statistik ketimbang realitas sosial.
3. Bansos sering menjadi alat pencitraan, bukan instrumen keadilan.
Banyak kebijakan bantuan dikemas dan dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga meningkatkan popularitas penguasa, terutama menjelang kontestasi politik. Akhirnya, graduasi lebih dipandang sebagai bagian dari pengelolaan data daripada keberhasilan pemberdayaan.

Dalam sistem kepemimpinan hari ini, negara tidak bertindak sebagai ra’in (pengurus urusan rakyat), tetapi sebagai administrator bantuan yang sibuk menjaga neraca anggaran. Alih-alih memastikan kesejahteraan merata, kebijakan bansos justru melahirkan ketakutan baru: bila mereka tidak cukup “sukses”, mereka akan kehilangan bantuan, padahal peluang mandiri sangat kecil.


Masalah Teknis Bansos : Dari Penerima Fiktif hingga Pungli

Selain masalah struktural, berbagai laporan menunjukkan bahwa bansos sering bermasalah pada level teknis. Mulai dari data penerima yang tidak tepat sasaran, penerima fiktif yang tidak dapat dilacak, oknum pendata yang melakukan pungutan liar, hingga warga mampu yang berpura-pura miskin agar masuk ke daftar penerima.

Kasus-kasus seperti ini terjadi karena sistem pendataan masih sangat manual, rentan manipulasi, dan tidak diawasi oleh mekanisme yang bersih dan amanah. Korupsi dalam sektor bansos tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menjatuhkan hak orang-orang miskin yang seharusnya mendapatkan bantuan. Pada akhirnya, bansos bukan hanya tidak efektif, tetapi juga memperkuat ketidakadilan sosial yang sudah berlangsung lama.

Jika negara tidak memiliki visi riayah dan hanya bergerak berdasarkan orientasi politik jangka pendek, maka masalah seperti penerima fiktif, pungli, dan salah sasaran akan menjadi bagian permanen dari pengelolaan bantuan sosial.


Mandiri Versi Negara atau Mandiri Versi Sistem?

Jika mandiri berarti sekadar tidak lagi menerima bantuan, maka itu mudah: tinggal hentikan bantuannya. Namun jika mandiri berarti stabil secara ekonomi, terpenuhi kebutuhan hidupnya, dan memiliki penghasilan layak, maka itu tidak mungkin terjadi tanpa perubahan sistem.

Dalam sistem kapitalisme:
  • Upah murah menjadi syarat daya saing industri.
  • Harga pokok dipengaruhi pasar global.
  • Akses pekerjaan terbatas.
  • Sumber daya dikuasai swasta dan asing.
  • Program pelatihan lebih bersifat seremonial.
  • Biaya pendidikan dan kesehatan tinggi.
Bagaimana mungkin keluarga miskin mandiri dalam kerangka sistem yang menempatkan mereka pada posisi rentan sejak murah? Graduasi bansos dalam sistem kapitalisme tidak berbeda dengan mewajibkan seseorang berlari kencang sementara kakinya terikat.


Islam : Solusi Struktural untuk Menghapus Kemiskinan Tanpa Bansos

Berbeda dengan kapitalisme yang membiarkan distribusi kekayaan mengikuti mekanisme pasar, Islam menegaskan bahwa negara wajib memastikan terpenuhinya kebutuhan primer setiap warga negara—baik berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, maupun kesehatan.

Bagaimana caranya?
1. Pengelolaan Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah)
Islam menetapkan bahwa sumber-sumber vital seperti:
  • energi,
  • air,
  • hutan,
  • tambang besar,
  • infrastruktur strategis,
adalah kepemilikan umum, bukan milik swasta. Negara bertugas mengelolanya dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Jika energi, air, dan tambang tidak dikuasai korporasi, maka harga listrik, BBM, transportasi, dan pangan otomatis turun. Ketika harga kebutuhan pokok turun, daya beli rakyat naik. Kemiskinan berkurang secara struktural, bukan melalui bansos.

2. Negara Wajib Menyediakan Lapangan Kerja
Negara dalam sistem Khilafah memiliki kewajiban syar’i:
  • menciptakan lapangan kerja,
  • membuka sektor produksi,
  • mengelola tanah mati,
  • mengembangkan industri,
  • menghidupkan pertanian dan peternakan,
  • memberi modal bagi yang tidak mampu.
Dengan demikian, warga usia produktif tidak perlu hidup dari bantuan, karena mereka disediakan peluang nyata untuk bekerja. Jika setelah bekerja penghasilan mereka belum mencukupi kebutuhan pokok, negara tetap wajib memenuhinya melalui Baitul Mal—bukan melalui bansos bersyarat seperti saat ini.

3. Kepemimpinan sebagai Junnah dan Ra’in
Islam menempatkan pemimpin sebagai:
  • junnah: pelindung rakyat,
  • ra’in: pengurus setiap urusan rakyat, tanpa terkecuali.
Khalifah tidak boleh menjadikan kesejahteraan sebagai janji politik, tetapi sebagai amanah yang harus ditunaikan setiap hari. Ia adalah pihak pertama yang dimintai pertanggungjawaban jika ada rakyat yang kelaparan. Kepemimpinan seperti ini mustahil lahir dari demokrasi, karena demokrasi membentuk pemimpin berdasarkan kompromi politik dan kepentingan modal.


Menghapus Kemiskinan Tanpa Bansos : Bukan Utopia, Tetapi Produk Syariah

Dalam sejarah Islam, solusi struktural ini nyata:
  • Masa Umar bin Abdul Aziz, zakat tidak lagi memiliki mustahiq di Afrika Utara karena seluruh rakyat makmur.
  • Negara menjamin kebutuhan hidup fakir miskin secara langsung.
  • Harga barang stabil karena negara mengendalikan sumber daya strategis.
  • Tenaga kerja diberikan akses luas terhadap lahan dan modal.
Dengan demikian, sistem Islam tidak memerlukan program bansos jangka panjang, karena kesejahteraan rakyat terbangun dari struktur ekonomi yang adil dan kepemilikan umum yang dikelola negara.

Graduasi bansos dalam lima tahun mungkin terlihat sebagai kebijakan yang mendorong kemandirian, tetapi pada hakikatnya adalah bentuk pelepasan tanggung jawab negara di bawah sistem kapitalisme. Ketika sistem ekonomi terus menciptakan jurang kaya–miskin, ketika sumber daya dikuasai swasta, ketika PHK terus terjadi, dan ketika upah tidak bergerak seiring kenaikan biaya hidup, mustahil keluarga miskin bisa mandiri dalam waktu sesingkat itu.

Solusi sesungguhnya bukan memperketat bansos, tetapi mengganti sistem yang melahirkan kemiskinan. Islam menawarkan formula yang tidak hanya mengobati gejala, tetapi menyentuh akar struktural persoalan, sehingga kesejahteraan tidak bergantung pada bantuan, melainkan menjadi buah dari keadilan ekonomi yang dikelola oleh negara sesuai syariah.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar