Oleh : Ibu Arum
Hujan yang turun di Sumatra beberapa pekan terakhir seakan hanya menjadi pemantik dari sebuah tragedi yang telah lama dipersiapkan. Longsor dan banjir bandang yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara, hingga Aceh bukan sekadar “musibah alam”, ia lebih mirip lembar laporan kerusakan yang ditulis ulang setiap tahun, hanya dengan daftar korban yang makin panjang.
Sejatinya, bencana adalah cermin. Seorang pakar lingkungan pernah mengatakan bahwa bencana adalah “laporan kejujuran alam”, cara bumi menunjukkan luka yang selama ini kita abaikan. Hujan hanya pemicu; kelalaian kitalah yang menyiapkan panggungnya. Cermin itu kini memantulkan wajah kita sendiri. Pepohonan yang ditebang. Sungai yang dipersempit. Tanah yang dipaksa berubah fungsi. Dan kebijakan yang mengalir lebih cepat daripada kemampuan bumi untuk pulih.
Ketika Perizinan Lebih Laju dari Logika Alam
Dalam banyak kajian, para ahli sepakat bahwa yang menewaskan daya dukung Sumatra bukan sekadar hujan ekstrem, melainkan ekspansi masif perkebunan dan tambang yang menggerus resapan air. Kerusakan ekologis di Sumatra sudah mencapai titik yang harus disebut serius. Izin yang tumpang tindih menciptakan efek domino: deforestasi, sedimentasi sungai, dan hilangnya penyangga bencana.
Kita tahu: perusakan seluas itu tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia lahir dari proses legal, sah, dan bertanda tangan. Perizinan yang longgar. Audit lingkungan yang tak pernah benar-benar menggigit. Pengawasan yang bisa dinegosiasikan. Alam dirusak bukan melalui kriminal murni, tetapi melalui prosedur resmi yang rapi.
Alam Menagih Janji Moral yang Kita Ingkari
Di titik ini, kritik tidak lagi berhenti pada kebijakan, melainkan menyentuh ranah keimanan. Al-Qur’an telah mengingatkan jauh sebelum konsep ekologi modern lahir: “Telah tampak kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan tangan manusia.” (QS Ar-Rum: 41).
Ayat itu bukan sekadar peringatan spiritual, tetapi kalimat ekologis yang mendalam: kerusakan tidak jatuh dari langit; ia lahir dari pilihan manusia. Dari rakusnya penguasaan, dari abainya pengelolaan, dari lemahnya penataan. Bencana ekologis adalah puncak dari kesombongan manusia yang menganggap alam bisa terus ditaklukkan. Kita, tampaknya, sedang mengulang kesombongan itu.
Krisis lingkungan yang terus berulang sejatinya bukan hanya masalah teknis atau meteorologis, melainkan cermin dari hubungan manusia yang kian kehilangan kesadaran spiritual terhadap alam. Seperti diingatkan Seyyed Hossein Nasr, “The environmental crisis is fundamentally a spiritual crisis,” sebuah teguran bahwa eksploitasi alam lahir dari cara pandang yang menanggalkan kesucian ciptaan Allah Sang Pemilik Alam. Selama alam diperlakukan sebatas komoditas, bukan amanah Allah, bencana akan terus menjadi bahasa paling jujur dari bumi yang tersakiti.
Solusi dalam Islam: Hima, Amanah, dan Negara yang Mengelola Bukan Menjual
Dalam khazanah Islam, tata kelola lingkungan bukan sekadar isu teknis, tetapi bagian dari tanggung jawab moral. Ada tiga prinsip utama yang relevan untuk dibaca ulang.
1. Konsep Hima: Ruang Alam yang Tidak Boleh Dikomersialisasi
Konsep hima diperkenalkan pertama kali sebagai nalar ekologis dalam peradaban Islam, jauh sebelum dunia modern mengenal istilah konservasi. Nabi Muhammad Saw. menetapkan Hima ar-Rabadhah sebagai kawasan lindung, padang rumput yang tak boleh dieksploitasi kecuali untuk kepentingan umat: hewan zakat, kuda perjuangan, dan kebutuhan publik. Kebijakan itu bukan sekadar keputusan administratif; ia adalah isyarat bahwa kekuasaan harus tahu batas ketika berhadapan dengan alam.
Umar bin Khattab tetap berpegang teguh pada hukum syarak dengan Hima as-Surrah, kawasan yang ia jaga ketat demi keberlangsungan padang penggembalaan negara. Ketika sebagian sahabat menggugat, Umar menjawab dengan tegas: hima bukan pagar untuk elit, melainkan perlindungan bagi hajat bersama. Dua jejak sejarah ini menegaskan bahwa dalam Islam, lingkungan bukan objek kerakusan, melainkan amanah; dan kekuasaan, bila ingin disebut adil, harus sanggup menahan tangan manusia bahkan dari tanah yang paling hijau sekalipun.Intinya: ada ruang yang tidak boleh diambil oleh siapa pun, bahkan oleh negara, jika itu merusak keseimbangan alam. Konsep ini secara filosofis menolak paradigma “apa pun bisa diekstraksi selama mendatangkan keuntungan.”
2. Tanah, Hutan, dan Sumber Daya adalah Amanah, Bukan Komoditas yang Bebas Dilepas Izin
Dalam fikih siyasah, sumber daya vital seperti air, padang, dan api dinyatakan sebagai kepemilikan umum. Negara tidak boleh menyerahkannya kepada korporasi untuk eksploitasi eksklusif. Prinsip ini menjaga agar: hutan tidak habis karena logika profit, sungai tidak dipindahkan alurnya demi tambang, dan kawasan resapan tidak berubah menjadi kawasan industri. Negara, dalam kerangka ini, adalah penjaga, bukan penjual. Mengambil hasil hutan boleh, merusaknya tidak boleh.
3. Negara Wajib Melakukan Pencegahan, Bukan Sekadar Penanggulangan
Dalam kaidah fikih, "Ma La Yatimmu al-Wajib illa Bih Fahuwa Wajib" artinya "Sesuatu yang tidak sempurna kewajiban tanpanya, maka sesuatu itu hukumnya wajib" Artinya: restorasi hulu wajib, audit izin harus menyeluruh, zonasi harus berbasis ilmu geologi dan hidrologi, dan mitigasi harus menjadi belanja rutin negara, bukan respons darurat.
Bahkan dalam sejarah, para khalifah mengutus ahli-ahli geologi sederhana untuk memetakan kawasan rawan banjir dan longsor. Negara kala itu tidak menunggu bencana; ia menghalangi jalan agar bencana tidak membesar.
Kita Kehilangan Batas, dan Alam Mengingatkan Kita
Bencana Sumatra bukan hanya kerusakan ekologis. Ia adalah krisis ingatan. Kita lupa bahwa hutan menjaga kita. Kita lupa bahwa sungai butuh ruang. Kita lupa bahwa gunung tidak boleh dilukai sembarangan. Kita lupa bahwa bumi bukan lembar kosong tempat kita menulis ambisi.
Maka, jika ingin jujur, pertanyaan yang harus diajukan bukan “mengapa bencana ini terjadi?” tetapi “mengapa kita terus mengizinkannya terjadi?” Dalam setiap bencana, alam seakan membuat catatan terbuka tentang kelalaian manusia. Ia tidak menciptakan kerusakan baru; ia hanya mengungkap apa yang sudah lama rapuh akibat ulah kita sendiri.”
Pada akhirnya, rangkaian bencana yang menimpa kita seolah mengingatkan bahwa alam tidak pernah berkhianat; manusialah yang terlalu sering melampaui batasnya. Ketika sistem yang berjalan hari ini gagal menahan laju perusakan, barangkali sudah waktunya menengok kembali tatanan yang pernah menempatkan alam sebagai amanah, bukan komoditas. Islam dengan prinsip penjagaan, larangan menzalimi makhluk hidup, hingga konsep hima menawarkan kerangka yang lebih jernih: kekuasaan harus berpihak pada keberlanjutan, bukan pada keuntungan sesaat. Bila aturan itu kembali ditegakkan, kita bukan hanya sedang merawat bumi, tetapi juga memuliakan diri kita sendiri sebagai khalifah yang bertanggung jawab, dan berkah akan Allah keluarkan dari langit dan bumi. Wallahu a'lam bishawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar