Oleh: Tuti Awaliyah, S.sos
Fenomena generasi muda yang enggan menikah karena alasan ekonomi menjadi sorotan tajam dalam diskusi sosial. Banyak anak muda menilai kestabilan ekonomi lebih penting daripada segera menikah. Hal ini tidak terlepas dari tekanan biaya hidup yang semakin tinggi, biaya hunian yang mahal, dan ketatnya persaingan kerja. Maka, tak sedikit yang berkata bahwa menikah itu menakutkan. Bukan karena takut pada komitmen, bukan pula semata trauma hubungan, tetapi karena alasan yang jauh lebih kompleks: biaya hidup yang semakin tidak manusiawi.
Dilansir dari Kompas.id- hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas mengenai pernikahan pada 10-13 November lalu. Sebanyak 73,5 persen responden mengungkapkan fokus pada pekerjaan dan mapan secara ekonomi menjadi alasan utama mereka belum atau menunda pernikahan.
BPS juga mencatat, dalam lima tahun terakhir persentase pemuda yang belum kawin menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Antara tahun 2020 dan 2024, persentasenya meningkat hampir mencapai 10 persen (kompas.id/27/11/2025). Artinya, kondisi perekonomian memberikan pengaruh besar terhadap keputusan terutama generasi muda untuk membangun keluarga.
Faktor Penyebab
Sistem Kapitalisme yang diterapkan saat ini menjadi penyebab utama ketakutan ini. Dalam sistem ini, negara sebagai regulator saja yang cenderung berlepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Kebutuhan dasar masyarakat tidak dijamin oleh negara, sehingga beban hidup dipikul oleh individu. Sulitnya mendapat pekerjaan, upah yang minim, hingga biaya hidup yang tinggi memberikan kecemasan akan kemiskinan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, penduduk berusia 15-24 tahun mendominasi tingkat pengangguran terbuka di Indonesia dengan persentase sebesar 16,89 persen. Di sisi lain, tingkat upah yang mereka terima tergolong paling rendah, yakni upah penduduk berusia 20-24 rata-rata hanya Rp 2,6 juta per bulan. Nilai nominal tersebut jauh dari rata-rata upah nasional yang ssbesar Rp 3,33 juta per bulan pada Agustus 2025
Gaya hidup yang materialistis dan hedonis yang dipromosikan oleh media juga turut memperkuat narasi " marriage is scary" dikalangan generasi muda. Gaya hidup materialistis dan hedonis ini lahir dari pendidikan yang menjauhkan agama dalam kehidupan. Sehingga pernikahan dipandang sebagai beban, bukan sebagai ladang kebaikan dan jalan untuk melanjutkan keturunan.
Pandangan Islam
Dalam sistem islam, negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat individu per individu, dan membuka lapangan kerja yang luas dan memudahkannya. Negara menerapkan sistem ekonomi islam yang berpijak pada ekonomi riil sehingga mampu menciptakan lapangan kerja sekaligus antikrisis. Negara melakukan industrialisasi sehingga menyerap banyak tenaga kerja. Sektor pertanian akan diberi dukungan fasilitas dan subsidi sehingga produktif. Rakyat yang butuh lahan pertanian akan diberi secara cuma-cuma oleh negara, baik tanah produktif maupun tanah mati (telantar selama tiga tahun berturut-turut).
Negara mengelola kekayaan alam yang terkategori milik umum, seperti tambang, dan mengalokasikan hasilnya untuk kemakmuran rakyat. Dari hasil pengelolaan SDA, negara bisa memberikan layanan pendidikan dan kesehatan yang murah dan berkualitas, bahkan gratis. Selain itu, negara juga membantu dalam penyediaan fasilitas publik seperti: sekolah, rumah sakit, transportasi umum, taman bermain, dll.
Kurikulum pendidikan berbasis aqidah sehingga mampu melahirkan generasi yang bertakwa. Generasi yang tidak akan terjebak dalam gaya hidup liberal, dan hedonis. Mereka juga memiliki pemahaman yang benar tentang konsep rezeki dan pernikahan.
Media sosial akan menjadi corong dakwah, dan hanya berisi kebaikan dan konten produktif. Negara dalam sistem islam akan melarang konten-konten negatif yang akan merusak generasi dan masyarakat. Pasangan suami istri didorong untuk memiliki keturunan dan mendidiknya dengan baik.
Dengan demikian generasi muda akan mantap melangkah untuk membangun keluarga yang menjadi bagian dari bangunan peradaban islam. Wallahu'alam bisshawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar